Keputusan kontroversial pemerintah untuk kembali mengizinkan ekspor pasir laut menuai banyak kecaman dan kritik. Mulai dari politisi hingga aktivis lingkungan mengecam keputusan ini, karena dinilai akan berdampak buruk pada lingkungan. Lantas, atas dasar apa kebijakan ini diambil oleh pemerintah? Dan dengan segala dampak buruknya, “hal baik” apa yang mendorong kebijakan ini untuk tetap diambil?
“Ambisi politik tentu wajar saja, selama pandai menginsyafi batas etika”Najwa Shihab
Kebijakan kontroversial pemerintah soal ekspor pasir laut mengundang banyak kecaman. Kecaman tersebut datang dari berbagai pihak, mulai dari tokoh politik, aktivis lingkungan, dan lainnya. Organisasi pemerhati lingkungan seperti Greenpeace dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menolak Peraturan Pemerintah (PP) soal hal tersebut dan siap menggugatnya.
Peraturan soal ekspor pasir sendiri tercantum dalam PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Dalam Pasal 6 beleid tersebut tertulis bahwa sejumlah pihak diizinkan untuk mengeruk pasir laut untuk mengendalikan hasil sedimentasi laut. Sementara dalam Pasal 8 beleid tersebut disebutkan bahwa hanya kapal isap yang dibolehkan menjadi sarana untuk kegiatan pembersihan tersebut, dan diutamakan yang berbendera Indonesia.
Berdasarkan sejarah, sebelum dilarang pada tahun 2003 oleh Presiden Megawati lewat Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Laut yang diatur oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan saat itu, yakni Rini Soemarno, Singapura adalah importir terbesar pasir laut dari Indonesia. Dari 1997 sampai 2002 rata-rata negara tersebut mengimpor 53 juta ton pasir laut per tahun.
Pemerintah sendiri mengklaim bahwa kebijakan ini diambil untuk mengendalikan sedimentasi laut dan diyakini tidak akan merusak lingkungan. Namun, apakah hal tersebut benar? Dan apakah ada motif tertentu dari keputusan pengambilan kebijakan ini?
Rekayasa Pemerintah?
Dari sisi ekonomi, sekilas keputusan ini akan sangat menguntungkan. Dengan kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak sekali pantai dan laut, tentunya akan sangat menggiurkan dan potensial untuk “dimanfaatkan” dan dieksplorasi. Stok yang begitu melimpah di dalam negeri tentu akan sangat menguntungkan untuk dijadikan komoditas ekspor.
Pemerintah sendiri menyatakan bahwa kebijakan ini diambil karena sedimentasi laut bisa membahayakan pelayaran. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan sendiri menyatakan bahwa kebijakan ini tidak merusak lingkungan. Karena menurutnya, dengan keberadaan teknologi seperti GPS, dapat dipastikan bahwa pekerjaan mengeruk pasir laut tidak akan merusak lingkungan.
Luhut juga menyatakan bahwa apabila harus diekspor, maka manfaatnya akan dirasakan oleh BUMN. Ia juga menyatakan bahwa hal ini dilakukan untuk kesehatan laut, dan menghindari pendangkalan pada alur laut Indonesia.
Sementara itu, organisasi lingkungan Greenpeace justru menyebut bahwa pemerintah sedang melakukan praktek Greenwashing. Greenwashing sendiri adalah sebuah istilah dan konsep yang menjelaskan tindakan dari suatu pihak yang yang secara publik menyatakan produk atau kegiatannya ramah lingkungan, namun sebenarnya tidak. Tujuan dari tindakan ini agar mereka mendapat kesan dan persepsi yang positif dari masyarakat soal penghijauan.
WALHI dan Greenpeace sendiri menolak PP ini karena beberapa alasan. Selain dampak buruk pada lingkungan berupa hilangnya pulau-pulau kecil, menurut mereka tidak ada alasan kuat dari pemerintah untuk mengizinkan kegiatan ekspor pasir laut. Mereka sendiri menolak klaim pemerintah bahwa sedimentasi laut berbahaya bagi pelayaran, karena tidak ada data dan fakta yang mendukungnya.
Kesan greenwashing ini semakin kuat apabila kita melihat fakta bahwa ketika masih dilarang sekalipun kegiatan ini sudah berlangsung secara terbatas. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi, yang menyebut bahwa sebelum peraturan soal izin ekspor pasir laut dikeluarkan oleh Presiden Jokowi, hal ini telah berlangsung sebelumnya dengan jumlah terbatas.
Menurutnya, kebijakan ini adalah langkah pemerintah yang mendengar aspirasi para pengusaha, yang telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), tapi aktivitas ekspornya dibatasi. Sejalan dengan itulah maka penolakan juga datang dari nelayan dan buruh. Ketua Umum (Ketum) Partai Buruh, Said Iqbal menilai kebijakan ini hanya menguntungkan para pengusaha dan pemilik modal, tanpa memberikan keuntungan kepada pendapatan negara.
Lalu, jika ekspor pasir laut sebenarnya tidak begitu signifikan dalam menambah pendapatan negara dan justru akan meningkatkan kerusakan lingkungan, kenapa Presiden Jokowi tetap mengizinkannya? Apakah sebenarnya tujuan utama dari kebijakan ini bukan atas dasar ekonomi?
Show of Power Jokowi?
Presiden Jokowi jelas merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Bukan karena dia seorang presiden, namun lebih ke bagaimana dirinya telah membentuk persona tersendiri yang identik dengan istilah pemimpin yang “merakyat” dan “sederhana”.
Bisa dibilang, terpilihnya Jokowi untuk periode kedua sebagai presiden lebih kepada value yang dia miliki, bukan karena PDIP sebagai kendaraan politiknya.
Jokowi lebih dikenal dengan sikap yang santun dan tidak “haus” kekuasaan, termasuk dalam lingkungan partainya sendiri. Popularitasnya tidak membuat ia otomatis menjadi sosok utama dalam PDIP. Bahkan, istilah kader dan petugas partai masih layak untuk disematkan padanya. Namun setelah periode jabatannya habis, apakah beliau akan benar-benar rehat dari politik?
Hal itulah yang menarik untuk diperhatikan dari kebijakan kontroversial Jokowi soal ekspor pasir ini. Aturan pelarangan ekspor pasir dibuat pada zaman Presiden Megawati, maka apakah langkah pembukaan kembali adalah upaya Jokowi untuk menghilangkan pengaruh Megawati? Atau sebagai sebuah sinyal yang menunjukkan perbedaan antara beliau dan Megawati?
Isu perbedaan antara keduanya bukanlah hal yang baru. Sejak Pemilu 2014 telah ada desas-desus atau saran soal Jokowi yang ingin keluar dari bayang-bayang Megawati. Dengan basis massa yang besar padanya, adalah hal yang sangat mungkin dan wajar jika nantinya Jokowi ingin melakukan takeover kekuasaan dari trah Soekarno di PDIP.
Apalagi, tampak pula terdapat beberapa perbedaan soal pandangan dan dukungan pada capres antara Jokowi dan Megawati. Megawati telah resmi menunjuk Ganjar sebagai bacapres yang akan diusung oleh PDIP. Sementara itu, meski Jokowi beberapa kali mendukung Ganjar, tapi di lain waktu ia juga memberikan gestur dan pernyataan soal dukungannya pada Prabowo. Bahkan, dalam satu kesempatan, Jokowi pernah menuturkan bahwa pasca dirinya lengser adalah giliran Prabowo untuk menjabat.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menyebut bahwa adanya perbedaan pandangan soal pilpres sesungguhnya termasuk sebagai upaya Jokowi untuk lepas dari bayangan Megawati dan menjadi king maker tersendiri.
Well, apapun alasan dan motivasinya, tidak ada yang bisa membenarkan kebijakan soal perizinan ekspor pasir laut ini. Pembangunan berkelanjutan harus dikedepankan dari maksud ekonomi atau politik apapun. Karena pada dasarnya, Indonesia bergantung pada alam dan harus bisa memanfaatkan secara proporsional dan menjaganya.
Oleh karena itu, kajian dan perencanaan ekonomi berbasis lingkungan harus dilakukan dengan lebih cermat. Pejabat politik adalah pejabat publik juga, sehingga sudah sepatutnya kebijakan yang dihasilkan adalah kebijakan yang pro-rakyat. (R87)