Site icon PinterPolitik.com

Ekonomi Ke-Indonesia-an Mati?

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa pada tahun 2016 angka pengangguran di Indonesia mencapi 5,6 %. Artinya masih terdapat sekitar 10 juta penganggur di Indonesia setiap tahunnya.


pinterpolitik.comRabu, 1 Februari 2017

Tahun 90-an adalah masa ketika peta politik dan ideologi mengalami pergeseran pengaruh di hampir seluruh kawasan. Hal ini secara khusus ditandai dengan kebangkitan kaum sosial demokrat di daratan Eropa. Keruntuhan tembok Berlin dan pecahnya Uni Soviet menandai awal menjamurnya demokrasi sosial di Eropa. Adapun demokrasi sosial itu sendiri bisa dipahami secara sederhana sebagai suatu ideologi yang menginginkan masyarakat dan ekonomi diatur secara demokratis demi tercapainya sebuah masyarakat dengan kesejahteraan yang merata, adil, dan makmur. Tujuannya adalah ‘to meet public needs, not to make profits for a few’, atau mencapai pemerataan kepentingan publik, bukan kekayaan segelintir orang.

Sementara itu, liberalisme pasar bebas dengan demokrasi – sebuah paham yang mendasarkan diri pada kebebasan individu dalam ekonomi dan politik – kembali menemukan kerangka baru di wilayah Amerika utara hingga Asia Pasifik. Krisis tahun 1998 yang menimpa negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara merupakan jalan masuk bagi liberlisme pasar bebas ke kawasan itu. Krisis ini kemudian diikuti oleh dotcom bubble crash atau fenomena jatuhnya harga saham komposit di bursa saham NASDAQ (National Association of Securities Dealers Automated Quotations) sebagai akibat meruginya perusahaan-perusahaan layanan internet dan diperparah oleh tragedi 11 September 2001.

Untuk Indonesia, krisis ini menjadi penanda awal masuknya liberalisme pasar bebas. Momentum kelahiran kembali demokrasi menandai banyak perubahan mendasar termasuk juga dalam bidang ekonomi. Industri kembali bergeliat karena ada kebebasan untuk melakukan usaha ekonomi yang berakibat pada ekonomi yang kembali memperbaiki dirinya sendiri. Namun, setelah hampir dua dekade, liberalisme pasar bebas yang ada di Indonesia mulai mununjukkan sisi gelapnya. Liberalisme yang kapitalistik ini ternyata inheren terhadap krisis – pasar bebas tidak bisa lepas dari krisis.

Ekonomi memang diserahkan kepada pasar – diatur oleh kekuatan yang disebut invisible hand atau tangan yang tak terlihat – , namun seturut peningkatan ekonomi, kesenjangan sosial pun terjadi di mana-mana. Pertumbuhan ekonomi memang menanjak, namun pada saat yang sama sebaran kekayaan semakin tidak merata. Jarak jumlah kekayaan dan penghasilan yang diperoleh antara orang kaya dan orang miskin membentang sangat lebar.

Hal ini bisa dilihat dari gini index yang tiap tahun terus naik angkanya. Untuk diketahui, indeks gini atau koefisien gini merupakan suatu besaran statistik untuk mengukur distribusi ekonomi dalam suatu masyarakat. Semakin besar indeks gini, maka semakin besar kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin. Indeks gini Indonesia mengalami trend peningkatan dalam bebarapa tahun terakhir.

Selain itu, tingkat kesenjangan sosial di Indonesia merupakan salah satu yang terburuk di dunia. Dikutip dari The Independent, Indonesia berada di urutan ke empat di dunia dalam hal buruknya tingkat kesenjangan tersebut.

Selain itu, angka pengangguran juga masih tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa pada tahun 2016 angka pengangguran di Indonesia mencapi 5,6 %. Artinya masih terdapat sekitar 10 juta penganggur di Indonesia setiap tahunnya.

Pertanyaan tersbesar yang mungkin muncul adalah apakah benar Indonesia adalah negara yang menganut paham liberalisme pasar bebas?  Hal ini tentu penting untuk melihat sejauh mana korelasi antara pasar bebas terhadap kesenjangan ekonomi yang makin melebar antara yang kaya dan miskin di negara ini.

Krisis Pasar Bebas

Pasar bebas adalah kondisi di mana ada kebebasan untuk berusaha dan mengupayakan kegiatan-kegiatan produksi. Namun demikian, pasar bebas bukanlah sekedar kegiatan saling bertukar atau berdagang. Dua orang yang saling bertukar produk tidak dapat dikatakan sebagai bentuk perdagangan bebas walaupun transaksi yang terjadi termoneterisasi. Pasar bebas menuntut satu hal lain lagi: kompetisi. Adam Smith (1723-1790) dalam tulisannya yang berjudul Wealth of Nations mengungkapkan bahwa kesejahteraan seorang individu akan sangat berdampak terhadap terciptanya kesejahteraan komunal. Oleh karena itu, setiap individu harus dibiarkan untuk bebas bersaing dan menjalankan usaha-usaha ekonominya. Persaingan justru akan memampukan individu untuk berupaya secara maksimal dan mengeluarkan segala kemampuannya.

Pasar bebas menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi. Itulah mengapa terminologi invisible hand dipakai oleh Adam Smith untuk menggambarkan bahwa ekonomi yang bebas akan mengatur dirinya sendiri. Kelas pekerja dan kelas pemilik modal akan secara bersama-sama mewujudkan kesejahteraan komunal jika mereka diberikan kebebasan tersebut. Tesis Smith ini memang pada satu sisi mampu mengondisikan individu dalam masyarakat untuk dapat mengeluarkan potensi terbaiknya dan meraih hasil ekonomi yang sebesar-besarnya. Harapannya akan ada spillover effect (efek seperti air yang terus dituang ke dalam gelas yang sudah penuh sehingga  meluap ke mana-mana) yang bisa ditimbulkan dari kemajuan ekonomi yang diraih oleh individu tersebut terhadap ekonomi masyarakat secara keseluruhan.

Pasar bebas setidaknya membutuhkan tiga komponen, yakni dua komponen produsen atau pedagang yang saling berkompetisi memperebutkan hati satu pembeli. Hasil dari penekanan harga yang terjadi antara dua pedagang, untuk mencapai harga murah dalam kompetisi, merupakan contoh sederhana kekuatan pasar. Kekuatan pasar adalah sebuah kekuatan yang menjelma tanpa disadari oleh ketiga komponen tersebut. Kepercayaan pada kekuatan pasar dalam bidang ekonomi, mungkin menjadi hal yang utama dari liberalisme pasar. Para penganut pasar bebas percaya bahwa transaksi ekonomi akan mengambil tempat di dalam bingkai yang memaksimalisasi pengaruh dari setiap transaksi untuk transaksi berikutnya. Ini merupakan sebuah definisi yang cukup abstrak dari pasar bebas. Kaum liberal ini melihat pasar sebagai sesuatu yang baik, bahkan menganggapnya sebagai semi-suci.

Namun demikian, kapitalisme dan pasar bebas pada dasarnya menghidupi krisis dalam dirinya. Peningkatan ekonomi dalam industri cenderung hanya akan semakin memperkaya para pemilik modal. Kompetisi hanya akan memaksa para pemilik modal untuk menuntut pekerja bekerja dengan semakin keras dan dengan jam kerja yang bertambah demi mengejar pendapatan. Tanpa adanya aturan dan regulasi terhadap kesejahteraan pekerja, maka kompetisi ekonomi hanya akan melahirkan ketimpangan ekonomi dan sosial. Pemilik modal hanya akan mengupayakan sebesar-besarnya pendapatan yang diperolehnya, tanpa peduli soal kesejahteraan dan nasib para pekerja – kondisi yang oleh Karl Marx dikritik habis-habisan. Hukum pasar juga adalah hukum yang kejam: seseorang bisa memperoleh semuanya sekaligus, namun juga bisa kehilangan semuanya secara sekaligus. Pada titik ini, pasar bebas memunculkan bayangan gelap yang menghantui perekonomian: ketimpangan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin. Hal inilah yang menyebabkan paham ini mendapatkan tantangan besar dari kaum demokrat sosial di Eropa.

Kesenjangan dan ketimpangan ekonomi inilah yang membuat beberapa pemikir mengemukakan ide tentang pentingnya keterlibatan negara (pemerintah) untuk berperan dalam ekonomi. Pasar bebas mendatangkan keuntungan ekonomis yang besar, namun perlu juga diimbangi dengan keberadaan regulasi pemerintah agar kesejahteraan kaum pekerja juga bisa terpenuhi. John Maynard Keynes (1883-1946) dikenal dengan sebagai ‘bapak ekonomi pembangunan’ dalam beberapa tulisannya semisal A Treatise on Probability (1921) dan The General Theory of Employment, Interest and Money (1936) menegaskan kembali pentingnya peran pemerintah itu dalam ekonomi.

Indonesia: sebuah pasar bebas?

Apakah Indonesia adalah sebuah pasar bebas? Dr. Emil Salim – seorang cendekiawan dan ekonom Indonesia – pada tahun 1979 menulis tentang sistem ekonomi yang disebutnya sebagai Ekonomi Pancasila. Sistem ekonomi ini disebutnya sebagai sistem ekonomi yang sesuai untuk Indonesia. Emil Salim menganalogikannya dengan bandul yang bergerak dari kiri ke kanan menuju sebuah keseimbangan. Di kanan ada pasar bebas, dan di kiri ada intervensi pemerintah. Emil Salim menganggap Ekonomi Pancasila sebagai kondisi terciptanya keseimbangan di antara kedua hal tersebut: istilah yang lebih sering disebut sebagai sistem ekonomi campuran (mixed economy).

Melihat istilah yang digunakan oleh Emil Salim ini dapat disimpulkan bahwa pasar bebas sesungguhnya sudah ada di Indonesia sejak  pemerintahan Orde Baru karena menjadi salah satu bagian dari sistem ekonomi yang dianut saat itu. Namun demikian, pemerintahan Soeharto masih menerapkan kontrol yang ketat terhadap ekonomi. Bahkan, jika ditarik lebih jauh ke belakang, liberalisme mungkin sudah ada di Indonesia sejak zaman kolonialisme lewat lembaga seperti Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Momentum krisis tahun 1998 menjadikan jalan masuk bagi pasar bebas yang sesungguhnya. Krisis menyebabkan Indonesia mengalami defisit neraca keuangan. Akibatnya, Indonesia ‘terjebak’ dalam bujuk rayu bantuan lembaga pemberi pinjaman keuangan seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), yang nota bene adalah agen liberalisme. Dengan IMF, Indonesia harus menandatangani ketentuan-ketentuan untuk memperoleh dana bantuan dalam sebuah kesepakatan yang disebut Letter of Intent (LoI) yang juga dikenal sebagai Memorandum of Economics Financial Policies (MEFP). Secara garis besar, LoI berisi tiga hal utama: 1) swastanisasi perusahaan-perusahaan di sektor-sektor publik tertentu; 2) deregulasi peraturan dan Undang-Undang yang dibutuhkan untuk mendukung ekonomi pasar bebas; 3) penghapusan subsidi untuk sektor-sektor tertentu.

Video Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan dengan IMF pada tahun 1998

Keadaan Indonesia pasca krisis 1998 seperti orang yang sedang sakit. LoI adalah ‘resep’ obat yang dikeluarkan IMF untuk mengobati ‘penyakit’ ekonomi Indonesia saat itu. LoI ini berdampak sangat signifikan terhadap berlanjutnya sistem pasar bebas di Indonesia. LoI ini sebenarnya merupakan serangkaian kebijakan yang akan diimplementasikan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka untuk memperoleh dukungan finansial dari IMF. Dalam kurun waktu tertentu, IMF melakukan review atas pelaksanaan kebijakan-kebijakan ekonomi yang telah disepakati. Atas dasar hasil review inilah biasanya IMF mencairkan sebagian dana yang telah disepakati dalam LoI. Keberadaan LoI yang paling terasa adalah terjadinya liberalisasi di sektor migas.

Sebagai contoh dalam LoI Indonesia dengan IMF tersebut, sudah tertera aturan untuk liberalisasi sektor energi melalui pembuatan UU Migas untuk mengganti UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dengan UU baru yang lebih berpihak pada investor. Ketentuan ini yang kemudian melahirkan undang-undang mengenai minyak dan gas bumi, yaitu Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 dimana UU ini kemudian menjadi payung hukum pelaksanaan industri Migas di Indonesia – yang juga menyebabkan banyak perusahaan migas asing seperti sekarang ini. LoI juga yang menyebabkan terjadinya penghapusan subsidi pupuk dan beberapa subsidi lainnya.

IMF merupakan salah satu dari tiga Bretton Woods Institution – institusi yang dianggap sebagai agen liberalisasi – selain Bank Dunia dan World Trade Organization (WTO) yang memberikan dampak signifikan terhadap kehadiran pasar bebas di Indonesia. LoI menandai suatu era pasar bebas baru di Indonesia. Demokrasi dan pasar bebas seolah menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan di Indonesia: fakta lain yang membenarkan hubungan politik dan ekonomi. Yang jelas, saat ini situasi ekonomi yang disebut liberal atau pasar bebas itu telah mulai menampakkan wajahnya: ada orang yang begitu kaya di negeri ini, sementara yang lain ada yang begitu miskin.

Matinya Ekonomi Ke-Indonesiaan

Ekonomi pasar bebas yang ada di Indonesia saat ini telah menggeser paham-paham ekonomi yang bercita rasa Indonesia. Sebut saja Ekonomi Pancasila yang sepertinya masih jauh panggang dari api saats coba diterapkan di negara ini. Keseimbangan bandul Dr. Emil Salim sepertinya saat ini terasa mulai berada jauh ke kanan: ke arah pasar bebas. Hal ini tak terbantahkan jika melihat data indeks gini yang makin hari makin tinggi nilainya, artinya makin banyak orang yang semakin kaya, sementara tidak diimbangi dengan peningkatan taraf hidup orang miskin. Dengan kata lain, spillover effect dalam pasar bebas gagal terjadi.

Ekonomi Pancasila di Indonesia juga dikenal dengan sebutan sistem ekonomi kerakyatan. Salah satu tokoh pelopor sistem ekonomi ini adalah Bung Hatta. Pada tahun 1933, Bung Hatta menulis sebuah tulisan dengan judul “Ekonomi Rakyat dalam Bahaya”. Tulisan ini dianggap sebagai dasar konsep ekonomi kerakyatan sebagai tandingan untuk sistem ekonomi kolonial Belanda yang didukung dan dibantu oleh kaum aristokrat dan tuan tanah dalam sistem feodal di dalam negeri, serta pihak-pihak swasta asing tertentu yang juga ingin mengeruk kekayaan alam di Indonesia. Menurut guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) (alm) Prof. Dr. Mubyarto, sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan yang sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jaringan yang menghubungkan sentra produksi masyarakat dengan pasar, sambil juga berfokus pada penciptaan kesejahteraan rakyat. Ciri utama ekonomi ini adalah adanya perlindungan misalnya bagi petani dan nelayan kecil dari keberadaan spekulan, rentenir, petani atau nelayan besar, serta adanya jaminan untuk kelangsungan proses produksi lewat subsidi yang diberikan pemerintah.

Sayangnya ekonomi kerakyatan ‘tersingkir’ dari Indonesia. Sistem ekonomi yang sangat Indonesia-is ini kalah oleh keberadaan pasar bebas. Bahkan, diskursus ekonomi di kampus-kampus besar di Indonesia juga didominasi oleh ekonom-ekonom liberal, sehingga menyebabkan banyak ahli ekonomi, pengajar dan pemikir ekonomi kerakyatan yang ‘tersingkir’. Hal ini patut disayangkan. Untuk tujuan pemerataan kesejahteraan, Indonesia butuh sumbangan pemikir-pemikir ekonomi berbasis rakyat. Liberalisme yang kapitalistik telah melahirkan ketimpangan ekonomi yang berkepanjangan, dan oleh karenanya harus dikoreksi.

Utopia pemerataan kesejahteraan ?

Dengan tersingkirnya ekonomi yang berke-Indonesia-an, apakah itu berarti pemerataan kesejahteraan tidak dapat diwujudkan? Apakah pemerataan kesejahteraan hanya akan menjadi utopia? Tentu saja tidak. Jeffrey Sachs dalam bukunya “The Price of Civilization” mengatakan bahwa kunci perbaikan pemerataan kesejahteraan adalah adanya sistem ekonomi yang berkeadilan. Ekonomi tidak lagi hanya berdasar pada free market (pasar bebas), tetapi juga fair market (pasar yang berkeadilan). Keseimbangan – yang pernah dikemukakan oleh Dr. Emil Salim – adalah kunci dalam ekonomi. Kita boleh menerapkan ekonomi pasar bebas, namun harus ada keseimbangan terhadap pemerataan kesejahteraan.

Kita bisa belajar dari negara Jerman yang dengan sistem ekonomi hasil sintesa sendiri bisa menjadi negara maju. Gagasan keterlibatan pemerintah dalam mengatasi persoalan dan ketimpangan yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi pasar bebas terlihat ketika pada tahun 1840-an Otto von Bismarck memperkenalkan program kesejahteraan (welfare programs) di Prussia dan Saxony yang menjadi penanda lahirnya negara kesejahteraan modern Jerman. Sistem tersebut pulalah yang hingga hari ini masih digunakan di Jerman. Sementara di Indonesia? Sistem ekonomi hasil sintesa sendiri semacam ini (ekonomi kerakyatan) malah tersingkir.

Desentralisasi ekonomi merupakan hal yang harus dilakukan oleh pemerintah saat ini. Program pemerintahan Jokowi, misalnya Tol Laut, adalah salah satu hal yang diperlukan untuk pemerataan kesejahteraan. Namun demikian, hal ini perlu ditingkatkan. Bukan hanya pemerataan harga dan kebutuhan hidup saja, namun juga ketersediaan lapangan kerja, hingga pembangunan ekonomi di daerah. Dengan demikian, masyarakat dari daerah tidak perlu berbondong-bondong ke pulau Jawa untuk mencari penghidupan.

https://youtu.be/OjJrAi_RIEs

Akhirnya, persoalan pemerataan kesejahteraan merupakan pekerajaan besar. Sila kelima Pancasila menuntut hal ini untuk terpenuhi. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” adalah cita-cita yang harus diupayakan. Sanggupkah hal itu diwujudkan? (S13)

Exit mobile version