HomeNalar PolitikEkonomi Digital Jokowi, Mungkinkah?

Ekonomi Digital Jokowi, Mungkinkah?

Indonesia dinilai memiliki potensi besar dalam masa depan ekonomi digital. Kemungkinan tersebut juga sejalan dengan wacana dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin membentuk Kementerian Ekonomi Digital.


PinterPolitik.com

“Technology is movin’ too slow, I’m waitin’ patiently” – Fetty Wap, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan keinginannya untuk membentuk beberapa kementerian baru. Salah satunya adalah Kementerian Ekonomi Digital.

Bila kita perhatikan, sang presiden memang getol ingin meningkatkan potensi ekonomi digital Indonesia. Belum lagi, berbagai perusahaan berbasis teknologi – seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka – terus bertumbuh.

Andrew Sheng dalam tulisannya di South China Morning Post menilai bahwa negara-negara Asia Tenggara memiliki potens besar sebagai penentu masa depan digital. Pasalnya, Indonesia disebutnya memiliki tingkat pertumbuhan pengguna internet yang terus bertumbuh hingga tiga kali lebih cepat dari rata-rata global.

Jika kita membahas mengenai ekonomi digital, Tiongkok mungkin bisa menjadi contoh. Sebuah negara yang dalam beberapa dekade lalu banyak didominasi oleh sektor pertanian, kini menjadi salah satu raksasa ekonomi digital terbesar di dunia.

Aktivitas-aktivitas ekonomi berbasis teknologi mungkin tidak asing lagi bagi masyarakat Tiongkok. Dari pembayaran yang terintegrasi dalam aplikasi percakapan WeChat hingga aplikasi persewaan sepeda seperti Mobike, kehidupan sehari-hari di Tiongkok diiringi dengan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh aplikasi berbasis daring.

Kemudahan-kemudahan serupa mungkin tidak lama lagi juga akan dijumpai Indonesia. Namun, beberapa pertanyaan timbul. Bagaimana Indonesia dapat mengikuti jejak Tiongkok? Faktor-faktor apa sajakah yang membuat perusahaan teknologi di Tiongkok dapat berkembang pesat?

Ekonomi Digital ala Tiongkok

Ekonomi digital merupakan kegiatan ekonomi yang bersumber dari koneksi-koneksi daring di antara individu-individu, bisnis-bisnis, gawai-gawai, proses-proses, dan data. Inti dari kegiatan digital ini berasal dari interkoneksi yang terbangun dengan kehadiran internet, teknologi seluler, dan internet of things (IoT) – sistem interkoneksi antar-gawai.

Setidaknya, sistem-sistem inilah yang mengisi kegiatan ekonomi di Tiongkok. Hampir sama dengan yang dijelaskan oleh Sheng soal Asia Tenggara, kaum muda turut memberikan kontribusi penting bagi perkembangan ekonomi digital di Tiongkok. Sebuah tulisan dari McKinsey menjelaskan bahwa kalangan usia ini merupakan salah satu faktor yang mendorong perkembangan ekonomi digital di negara Tirai Bambu tersebut.

Perkembangan ekonomi digital di Tiongkok bisa jadi juga didorong oleh sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya. Pada tahun 2017 sendiri, universitas-universitas di negara tersebut meluluskan sekitar delapan juta mahasiswa – lebih dari dua kali lipat lulusan Amerika Serikat pada tahun yang sama.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

Angka tersebut sepuluh kali lipat lebih besar daripada jumlah lulusan Tiongkok pada tahun 1997. Katherin Stapleton dari University of Oxford dalam tulisannya di World Economic Forum menjelaskan bahwa angka tersebut merupakan hasil dari kebijakan pemerintah Tiongkok yang dikeluarkan pada tahun 1999 dalam mengatasi persoalan pendidikan tinggi yang sebelumnya hanya dapat diperoleh oleh kalangan elite perkotaan.

Kini, negara tersebut menghasilkan lulusan teknik sebanyak 600.000 setiap tahunnya – jauh lebih banyak dibandingkan AS yang hanya menghasilkan 70.000 per tahun. Vivek Wadhwa dan tim penulisnya menjelaskan bahwa banyaknya jumlah lulusan Tiongkok ini menimbulkan kekhawatiran bahwa AS akan kehilangan kepemimpinannya dalam hal inovasi teknologi.

Selain SDM, perusahaan-perusahaan teknologi di Tiongkok juga didukung oleh pemerintah. Melalui regulasi dan kontrol terhadap ruang sibernya, pemerintah Tiongkok memberikan ruang gerak yang luas bagi perusahaan-perusahaan teknologinya.

Melalui regulasi dan kontrol terhadap ruang sibernya, pemerintah Tiongkok memberikan ruang gerak yang luas bagi perusahaan-perusahaan teknologinya. Share on X

Sebuah artikel opini milik Jamil Anderlini di Financial Times menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan raksasa berbasis internet – seperti Alibaba, Tencent, dan Baidu – memperoleh keuntungan dari kebijakan pemerintah yang melarang perusahaan-perusahaan Sillicon Valley AS untuk masuk ke negaranya. Anderlini menilai bahwa upaya ini merupakan kebijakan dagang proteksionis meski pemerintah Tiongkok menggunakan alasan keamanan nasional sebagai alasannya.

Keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok tersebut tidak hanya sebatas pada kebijakan proteksionis. Kabarnya, perusahaan-perusahaan teknologi di negara tersebut turut mendapatkan dukungan finansial dari pemerintahnya.

Investor-investor pemerintahan sebagian besar menjadi pemberi dana terbesar di berbagai perusahaan teknologi Tiongkok. Bahkan, menurut Amy Webb dalam bukunya yang berjudul The Big Nine, pemerintah Tiongkok telah memberikan dukungan dana pada Baidu, Tencent, dan Alibaba dalam pengembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) di berbagai sektor, dari pembayaran dan percakapan daring hingga layanan kesehatan.

Jika perusahaan-perusahaan teknologi di Tiongkok dapat memperoleh dukungan-dukungan tersebut, bagaimana dengan perusahaan teknologi Indonesia?

Mungkinkah Indonesia?

Indonesia memang memiliki potensi dalam pengembangan ekonomi digital. Namun, beberapa hambatan yang menghantuinya bisa saja berpotensi menghalangi upaya Indonesia untuk mewujudkan mimpi itu.

Sebuah laporan dari McKinsey & Company menyebutkan bahwa negara kepulauan ini memiliki potensi yang besar untuk mewujudkan ekonomi digital – setidaknya dalam sektor perdagangan daring. Beberapa faktor yang mendukung di antaranya adalah kaum muda yang memiliki pemahaman tentang penggunaan teknologi, terutama teknologi seluler.

Dengan adanya potensi digital ini, banyak perusahaan teknologi di Indonesia membutuhkan tenaga dan talenta lebih untuk mewujudkannya. Namun, laporan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hambatan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan teknologi di Indonesia, yaitu kesulitan untuk mendapatkan SDM yang berkualitas.

Bagaimana tidak? Dibandingkan dengan Tiongkok dan India, kualitas SDM Indonesia bisa jadi terpaut jauh di bawah. Dalam data yang dikumpulkan dari World Economic Forum pada tahun 2016, jumlah lulusan pendidikan tinggi di Indonesia hanya berada pada kisaran 17,45 juta. Sementara, Tiongkok memiliki jumlah lulusan tersier sebanyak 77,67 juta.

Baca juga :  Pak Prabowo, Waspada SecStag!

Dalam bidang IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi), Indonesia hanya memiliki lulusan pendidikan tinggi sebanyak kurang lebih 206.000. Angka tersebut terpaut jauh dari Tiongkok yang memiliki sekitar 4,67 juta lulusan IPTEK.

Meski begitu, pemerintah mulai mengarahkan beberapa kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan iklim ekonomi digital Indonesia. Presiden Jokowi beberapa bulan lalu memunculkan rencana untuk memberikan insentif untuk investasi di bidang pendidikan dan penelitian, khususnya di bidang teknologi.

Salah satu upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah pembangunan “infrastruktur langit” Palapa Ring yang bertujuan untuk membangun konektivitas daring antar-wilayah, terutama bagian timur Indonesia.

Namun, berbeda dengan Tiongkok, perusahaan-perusahaan teknologi Indonesia juga masih harus bersaing dengan perusahaan lainnya yang datang dari luar negeri. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menilai bahwa upaya-upaya proteksionis tidak diperlukan untuk transformasi ekonomi digital.

Lembaga negara yang mengatur penanaman modal tersebut malah menginginkan adanya kompetisi asing guna mendorong kualitas perusahaan-perusahaan unicorn Indonesia. JD.com – perusahaan daring asal Tiongkok – misalnya, membuka subdomain-nya di Indonesia, yakni JD.ID. Belum lagi, Alipay dan WeChat Pay dikabarkan akan turut masuk ke pasar digital Indonesia.

Selain kompetisi asing, tantangan lain bagi perkembangan ekonomi digital Indonesia terletak pada pendanaan. HUB.ID – sebuah wadah bentukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk mempertemukan pengusaha-pengusaha digital – misalnya, tidak dapat berjalan akibat minimnya dukungan dari pemerintah dan komunitas bisnis. Selain itu, minimnya dukungan finansial di kementerian juga menghambat perkembangan kewirausahaan digital.

Boleh jadi, kondisi-kondisi inilah yang akan menjadi tantangan bagi perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Faktor-faktor seperti minimnya tenaga kerja yang mumpuni dan minimnya dukungan pemerintah bisa saja menghambat perusahaan-perusahaan digital dalam menghadapi situasi pasar yang kompetitif.

Pada akhirnya, bila dibandingkan dengan Tiongkok yang berhasil bertransformasi dalam dua dekade, mimpi ekonomi digital Indonesia bisa jadi tidak akan terwujud dengan cepat. Mungkin, seperti lirik rapper Fetty Wap di awal tulisan, kita perlu bersabar menanti gebrakan baru dari pemerintah. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?