Site icon PinterPolitik.com

Ekonomi Bisa Bahayakan Jokowi?

jokowi dan sri mulyani

Jokowi dan Sri Mulyani (Foto: Tempo)

Awal Juni 2022 menjadi momentum penting dalam refleksi kondisi ekonomi global. Bank Dunia mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa resesi ekonomi di tahun ini akan berdampak cukup buruk bagi banyak negara. Dalam bahasa yang berbeda, orang terkaya di dunia, Elon Musk, menyebut dirinya punya “super bad feeling” terkait kondisi ekonomi dunia saat ini. Itu terefleksi dari rencana Musk memangkas jumlah karyawan tesla hingga 10 persen. Sementara di belahan bumi lain, Presiden Jokowi juga mengutarakan perhatian khusus pada fakta akan ada 60 negara yang ekonominya ambruk.


PinterPolitik.com

“It’s a recession when your neighbor loses his job; it’s a depression when you lose your own.”

::Harry S. Truman (1884-1972), Presiden ke-33 Amerika Serikat::

Email Elon Musk kepada para eksekutif Tesla dengan tajuk “super bad feeling” soal ekonomi, memang menunjukkan bahwa ada kondisi yang tidak baik-baik saja terkait ekonomi global. Musk memang mengutarakan pertimbangan untuk memangkas karyawan Tesla hingga 10 persen dari total karyawan perusahaan yang jumlahnya mencapai 100 ribu orang.

Ini imbas dari resesi ekonomi dan inflasi yang terjadi di banyak negara. Apalagi, Tesla diketahui memiliki pabrik besar di Shanghai yang ikut terdampak kebijakan lock down yang diberlakukan oleh pemerintah Tiongkok, seiring gelombang Covid-19 yang kembali mendera negara tersebut. Kondisi ini berdampak secara global karena kota seperti Shanghai menjadi sentral ekonomi, di mana setidaknya ada sekitar 800 perusahaan multinasional yang membangun headquarter-nya di sana.

Bank Dunia juga menyebut pertumbuhan ekonomi global diprediksi anjlok dari 5,7 persen di tahun 2021 menjadi 2,9 persen di tahun 2022. Apalagi, ada perang yang sedang terjadi antara Rusia dan Ukraina yang cukup mengganggu rantai ekonomi global.

Konteks inilah yang membuat para ekonom menggunakan istilah stagflation – gabungan dari stagnation atau stagnasi ekonomi, dengan inflation atau inflasi – untuk menggambarkan kondisi ekonomi yang tengah dialami banyak negara di dunia.

Tidak heran dalam beberapa kesempatan terakhir Presiden Jokowi cukup terbuka berbicara soal konsen dan peringatan khusus untuk Indonesia agar mewaspadai kondisi ekonomi ini. Hal ini beralasan, mengingat di dalam negeri sendiri dampak ekonomi global ini mulai cukup terasa.

Mulai dari harga beberapa komoditas yang naik signifikan di pasar-pasar tradisional, hingga pemberitaan soal banyaknya perusahaan yang angkat kaki dari beberapa kawasan ekonomi, misalnya yang terjadi di Karawang. Untuk kasus yang terakhir, jumlahnya cukup signifikan. Di tahun 2018 ada 1.752 perusahaan yang beroperasi di Karawang. Kini hanya tersisa 900 perusahaan.

Walaupun salah satu alasan utama banyak perusahaan yang hengkang adalah karena Upah Minimum Regional (UMR) Karawang yang terlalu tinggi, fakta ini bisa jadi alarm tersendiri bagi pemerintahan Presiden Jokowi. Pasalnya sejarah sudah membuktikan relasi yang kuat antara resesi ekonomi dengan guncangan yang menimpa para penguasa.

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh Presiden Jokowi?

Economic at War

Menyebut kondisi ekonomi saat ini penting untuk ditangani dengan lebih serius bukanlah tanpa alasan. Pandemi Covid-19 yang terjadi di banyak negara telah mengekspos banyak kelemahan dalam sistem ekonomi dan finansial internasional yang saat ini dipakai.

Angka inflasi yang tinggi misalnya, terjadi akibat efek domino dari keharusan masyarakat untuk tinggal di rumah dan berhenti bekerja sepanjang pandemi. Kemudian, untuk membantu masyarakat mencukupi kebutuhan hidupnya dan menjamin usaha-usaha tetap berjalan, pemerintah memberikan stimulus berupa bantuan langsung tunai, atau kredit dengan bunga rendah.

Akibatnya, jumlah uang yang beredar di masyarakat menjadi sangat besar, sementara tingkat persediaan barang atau kebutuhan cenderung stagnan dan bahkan berkurang karena kesulitan produksi yang dialami perusahaan-perusahaan yang pegawai-pegawainya harus diliburkan sementara. Terjadilah inflasi. Kondisi ini kemudian menyebabkan kenaikan harga-harga barang di pasar.

Masyarakat yang melihat harga barang naik, kemudian memilih untuk tidak membelanjakan uangnya. Perusahaan-perusahaan akhirnya mengalami kerugian karena permintaan atau demand barang tertentu menjadi kecil. Ujung akhirnya adalah banyak perusahaan yang memangkas jumlah pekerja demi menekan biaya produksi, atau bahkan menutup usahanya karena tak laku lagi. Inilah kondisi yang disebut sebagai resesi.

Tapi, sebetulnya masalah ini bukan hanya persoalan kemarin sore yang ujug-ujug terjadi karena pandemi semata. Ernst Wolff dalam bukunya Financial Tsunami menjelaskan bagaimana krisis ekonomi yang terjadi saat ini sebetulnya punya akar dari warisan ketidakmampuan negara-negara sepenuhnya menyelesaikan akar krisis di tahun 2008 lalu.

Buat yang belum tahu, di tahun 2008 lalu dunia dilanda housing bubble atau kredit macet di sektor perumahan. Fenomena krisis itu menunjukkan bahwa sistem perekonomian dunia dikontrol oleh segelintir elite dan perusahaan keuangan tertentu. Sayangnya, pasca krisis tersebut, tak ada perbaikan terhadap sistem finansial global. Wolff menyebut Federal Reserve atau The Fed bertindak layaknya institusi swasta.

Persoalan ini penting untuk dilihat dalam arti bahwasanya krisis-krisis ekonomi ini akan terus terjadi jika akar permasalahannya – seperti dalam kaca mata Wolff – tidak diselesaikan. Selain itu, di kondisi pandemi seperti sekarang ini, cara berpikir ekonomi yang harus dipakai adalah economic at war atau ekonomi saat perang.

Daniel Susskind dari Oxford University adalah salah satu yang mengetengahkan narasi soal ekonomi saat perang ini. Pandangan ini disetujui oleh ekonom-ekonom macam Olivier Blanchard yang merupakan eks Presiden Bank Sentral Eropa. Konteks economic at war ini penting karena menentukan cara berpikir para pembuat kebijakan.

Jika di era tahun 1930-an, John Maynard Keyness memprediksi terjadinya inflasi lewat tawaran solusi compulsory saving scheme – skema tabungan masyarakat – kini harus ada pula gagasan ekonomi yang dipikirkan untuk menjawabi kondisi krisis seperti sekarang ini. Jangan sampai krisis yang terjadi berujung pada keruntuhan rezim kekuasaan – hal yang juga pernah terjadi di Indonesia di tahun 1998.

Alarm Bahaya Untuk Jokowi?

Amerika Serikat pernah mengalami resesi ekonomi di tahun 1930-an yang baru bisa diselesaikan secara maksimal ketika kepemimpinan negara itu diambil alih oleh Franklin Delano Roosevelt pada tahun 1933. Roosevelt kemudian melakukan stabilisasi sistem perbankan dan mengeliminasi gold standard atau standar emas yang menjadi nilai ukur ekonomi saat itu.

Kebijakan-kebijakan tersebut baru bisa terjadi setelah adanya pergantian rezim kekuasaan. Artinya, ujung akhir kekuasaan bisa saja terjadi jika masalah ekonomi tidak ditangani dengan baik. Posisi negara yang makin kuat secara ekonomi dan politik sepanjang pandemi, nyatanya memang harus pula disertai dengan fomulasi kebijakan yang tepat sasaran.

Presiden Jokowi sendiri sudah cukup tepat mengungkapkan narasi keprihatinannya soal 60 negara yang bisa ambruk karena masalah ekonomi di era pandemi. Bagaimanapun juga, dalam situasi krisis yang paling parah sekalipun, dukungan atau kepercayaan (trust) dari masyarakat adalah hal yang paling utama untuk seorang pemimpin.

Sebab, seperti kata Konfusius, kepercayaan terhadap pemerintah yang berkuasa jauh lebih penting ketimbang makanan dan tentara. Ini karena kepercayaan dari masyarakat akan tetap menjamin kekuasaan seorang pemimpin.

Yang jelas, situasi ekonomi ini memang harus dilihat sebagai sinyal bahaya. Harapannya, pemerintahan Presiden Jokowi bisa menemukan solusi untuk menyelesaikannya, sehingga masyarakat tak perlu menjadi depresi seperti kata Harry S. Truman di awal tulisan ini. (S13)

Exit mobile version