Cita-cita Jokowi mewujudkan ekonomi yang bertumpu di sektor kelautan sepertinya masih akan menjadi perjuangan besar. Lalu, apakah Indonesia sudah menuju ke arah sana?
PinterPolitik.com
“Jalesveva Jayamahe.” – ‘Di lautan, kita berjaya’.
Motto TNI Angkatan Laut
[dropcap]M[/dropcap]enjelang akhir tahun 2017 ini, penilaian terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai banyak bermunculan. Setelah mendapat rapor merah dalam hal pemberantasan korupsi – oleh aktivis anti korupsi bahkan disebut sebagai salah satu era ‘kegelapan’ – Jokowi rupanya masih mendapat pujian dari beberapa pihak, salah satunya terkait keberhasilan program Tol Laut.
Pada 19 Desember 2017 lalu, kanal Youtube Presiden Jokowi memuat sebuah video bagaimana program tersebut mendatangkan hasil bagi masyarakat, salah satunya di daerah Sabu, Nusa Tenggara Timur. Video tersebut umumnya mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat.
Pengamat Maritim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Raja Oloan Saut Gurning misalnya menyebut ide Tol Laut telah menampakkan hasilnya dan membuat ekonomi negara terus tumbuh. Pandangan ini juga menguatkan fakta bahwa Jokowi memang punya concern untuk membangun ekonomi yang bertumpu di sektor kelautan.
Apalagi transportasi laut – dalam hal ini Tol Laut – adalah bagian yang integral dengan visi blue economy yang secara sadar atau tidak sadar sedang diupayakan Jokowi. Blue economy atau ekonomi biru ini mendasarkan pengelolaan ekonomi berbasis pada sektor kelautan sembari memperhatikan keberlangsungan ekosistem laut untuk jangka panjang.
Hal serupa juga diperlihatkan oleh bawahan Jokowi. Misalnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mendapat banyak pujian karena makin getol dengan aksi ‘tenggelamkan’ bukan hanya untuk kapal asing pencuri ikan, tetapi juga dalm hal meningkatkan pemanfaatan sektor kelautan yang berkelanjutan secara keseluruhan.
Tetapi, apakah benar demikian, mengingat Tol Laut dan aksi ‘tenggelamkan’ hanya salah satu bagian saja dari mimpi ekonomi biru tersebut? Benarkah Indonesia bisa menggeser tumpuan ekonominya ke laut dan mengarahkannya menjadi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable)?
Koboi Susi, Wujud Ekonomi Biru?
Apa sebetulnya blue economy? Sebetulnya, konsep ini memiliki makna yang beragam. Beberapa pihak menggunakannya untuk menjelaskan konsep ekonomi yang sejenis dengan green economy, terutama titik beratnya pada jaminan keberlangsungan sumber-sumber ekonomi tersebut untuk jangka panjang (sustainability).
Namun, blue economy seringkali dihubungkan dengan laut sebagai sumber kekuatan utama untuk mewujudkan ekonomi yang berkelanjutan itu – sedikit membedakannya dari green economy. Adapun menurut World Bank, unsur-unsur blue economy melibatkan sektor perikanan, pariwisata, energi terbarukan, pengolahan limbah, perubahan iklim, dan transportasi laut.
Mungkin sebagian dari kita masih mengingat pidato kemenangan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) pada Juli 2014 lalu setelah memenangkan kontestasi politik di tahun tersebut. Saat itu pidato Jokowi disampaikan dari atas sebuah Kapal Phinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara.
Tim pemenangan Jokowi memang menyebut bahwa pidato tersebut menjadi lambang Jokowi ingin menekankan pembangunan ekonomi berbasis maritim – gagasan yang sama dengan konsep blue economy. Tidak heran jika Jokowi kemudian membentuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman untuk tujuan itu.
Setelah tiga tahun berkuasa, program-program Jokowi, memang sedang diarahkan ke sana. Tol laut, peningkatan pendapatan dari perikanan melalui pemberantasan illegal fishing, hingga peningkatan pariwisata bahari merupakan beberapa program menuju blue economy. Namun, apakah sudah berhasil?
Faktanya, sumbangsih sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional di tahun 2016 misalnya, hanya menyentuh angka 2,5 persen. Jumlah ini hanya meningkat tipis jika dibandingkan tahun 2015 yang hanya mencapai 2,4 persen dan 2,25 persen di tahun 2014.
Nilai eskpor hasil perikanan Indonesia ke berbagai negara tujuan utama memang meningkat di tahun yang sama, antara lain ke Amerika Serikat naik 11 persen, Tiongkok 14,5 persen dan Uni Eropa naik 4,2 persen. Penurunan ekspor hanya terjadi untuk tujuan Jepang yakni sebesar 7,7 persen. Namun, apakah peningkatan sumbangsih sektor perikanan yang hanya 0,1 persen terhadap PDB dibanding tahun 2015 ini sudah cukup bagus?
Bagi banyak pihak, hal ini dianggap ‘sedikit’ kontras dengan bagaimana Kementerian Kelautan dan Perikanan diberitakan oleh media dengan segala aksi penenggelaman kapal yang dilakukannya. Hingga tahun 2017 tercatat 317 kapal pencuri ikan ditenggelamkan.
Selain itu, jor-joran aksi dan kebijakan Menteri Susi juga mendapatkan protes dari banyak pihak. Kebijakan yang membatasi nelayan menggunakan cantrang misalnya, dianggap merugikan banyak nelayan.
Akibatnya, sang menteri dikritik oleh anggota DPR yang – harus diakui – seringkali juga punya pertautan kepentingan dengan para pengusaha perikanan yang dirugikan Susi. Dengan kata lain, peningkatan 0,1 persen yang diraih Susi adalah angka yang memang baik, tetapi sebetulnya bisa lebih baik lagi.
Ekonomi Biru Masih Mimpi?
Di sektor lain, pariwisata misalnya, sumbangsih sektor bahari hanya mencapai 10 persen dari total pendapatan negara di sektor tersebut secara keseluruhan untuk tahun 2017 yang mencapai US$ 17 miliar.
Jumlah ini – sekitar US$ 1,7 miliar – jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia yang mendapatkan US$ 8 miliar dari wisata bahari. Padahal, Indonesia mempunyai garis pantai 11 kali lipat lebih panjang dibandingkan Malaysia. Hal tersebut diakui langsung oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya. Artinya, sektor pariwisata pun masih jauh dari yang diharapkan.
Belum lagi bicara soal energi laut. Indonesia memiliki potensi arus laut yang mencapai 41 GW dengan kemungkinan produksi listrik hingga 240 ribu MW jika dikelola dengan maksimal. Namun, sejauh ini baru 1 perusahaan asal Belanda yang berinvestasi di sektor ini. Pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan sepertinya masih terpaku pada pemanfaatan energi fosil dan menganaktirikan sumber energi terbarukan ini.
Kt punya bnyk potensi energi terbarukan,
Geotermal, sinar matahari, arus laut, tanaman energi smp angin…Tp orientasi energi kt msh berkutat pd oil & gas yg justru semakin susut ketersediaannya,
Pdhal kt hrs menepati komitmen INDC 2030 ttg energi terbarukan tsb,@adamWH68
— #irwan (@irwanayahcahaya) November 24, 2017
Perdebatan akan semakin panjang jika juga memasukkan isu lingkungan, misalnya terkait reklamasi di berbagai daerah yang justru mendatangkan masalah lingkungan. Sektor-sektor yang menjadi inti ekonomi biru menurut World Bank ini nyatanya memang belum maksimal dicapai.
Artinya, ekonomi biru masih menjadi mimpi yang rupanya belum diupayakan dengan maksimal. Maka tidak heran jika banyak selentingan yang menyebut, 3 tahun Jokowi berkuasa, blue economy sekedar sama dengan aksi ‘koboi’ Menteri Susi saja. Lebih buruk lagi jika ekonomi biru ini pada akhirnya hanya menjadi ‘bahasa kampanye’ yang semakin sulit dilaksanakan.
Namun demikian, pemerintahan Jokowi tetap perlu diapresiasi, mengingat cita-cita ekonomi biru bukanlah pekerjaan satu dua hari saja. Ini adalah program jangka panjang yang – secara koridor – sudah cukup baik dijalankan oleh pemerintahan pria kelahiran Solo ini.
Blue Economy, Bom Waktu di 2019?
Dengan segala gaung dan bising ledakan kapal ala Menteri Susi, sangat mungkin dengan capaian sektor perikanan yang hanya 2,5 persen terhadap PDB, Jokowi tetap akan dikritik oleh banyak pihak. Belum lagi kalahnya sektor pariwisata laut kita dari Malaysia, juga akan menjadi sorotan lain. Begitupun dengan persoalan energi laut yang dianaktirikan.
Sektor ini akan mungkin menjadi salah satu serangan bagi Jokowi, apalagi jika ia jadi maju kembali di Pilpres 2019. Dengan segala pencapaian di sektor kelautan yang masih jauh dari harapan, sangat mungkin isu ini menjadi kritik bagi pemerintahan Jokowi dan menjadi titik lemah Jokowi di 2019.
Itu yg namanya cantrang yg ditentang dan dilarang Bu Susi. To ada fihak2 tertentu yg demo terus ke bu Susi dan dimanfaatkan dan dikompori yg anti pemerintah utk legalkan ini dan seolah pemerintah tak pro nelayan.
— Hanafi (@hbasuni) December 18, 2017
Apalagi, beberapa pihak sudah menyebutkan bahwa isu-isu macam polemik cantrang akan menjadi ‘bom waktu’ bagi Jokowi di 2019. Suara nelayan yang mewakili kelompok menengah ke bawah – sama seperti petani – punya saluran aspirasi yang cukup didengar. Jika mereka sudah berteriak-teriak, maka hal ini tentu akan berdampak bagi Jokowi.
Pada akhirnya, semua akan melihat bagaimana progres ekonomi biru ini. Jokowi sudah melakukan semaksimal yang mampu ia lakukan, walaupun memang masih perlu ditingkatkan lagi. Yang jelas, untuk program jangka panjang, Indonesia memang harus mulai bertumpu di sektor laut karena seperti motto TNI Angkatan Laut di awal tulisan ini: di laut, kita berjaya! (S13)