Seri pemikiran Fareed Zakaria #14
Gelar sebagai scientific leader yang disematkan pada Tiongkok dalam penyediaan vaksin Covid-19 di berbagai negara agaknya memang tidak berlebihan. Lantas, dengan vitalnya urgensi penanganan pandemi saat ini, apakah gelar Tiongkok tersebut adalah tanda berakhirnya hegemoni kepemimpinan AS, atau hanya sekadar eminensi temporer belaka?
Ekspansi destruktif dari makhluk mikroskopik bernama Sars-CoV-2, sang pencetus Covid-19, tampaknya masih belum dapat dihentikan oleh peradaban manusia paling progresif yang pernah ada sampai sejauh ini.
Tengok saja sejumlah kota atau negara di dunia yang kembali melakukan karantina wilayah atau pembatasan sosial setelah angka terinfeksi virus kembali meningkat tajam. Tak hanya Indonesia dengan Jakarta-nya, negara lain seperti Irlandia dan Israel juga terpaksa kembali melakukan lockdown karena situasi kasus terinfeksi yang kembali memburuk.
Opsi tersebut memang dilematis. Setiap negara dihadapkan pada situasi di mana perekonomian kian terpuruk dan di saat yang sama kapasitas medis dan sumber daya yang ada dalam memerangi pandemi semakin kehabisan energi.
Konsekuensi yang muncul pun tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tak hanya perdebatan alot antara memprioritaskan ekonomi atau kesehatan, namun persoalan juga merembet pada gejolak sosial masyarakat hingga mulai dipertanyakannya legitimasi politik penguasa.
Karenanya, eksistensi vaksin Covid-19 kemudian dianggap menjadi satu-satunya jalan keluar paling logis untuk memusnahkan sumber dari berbagai kekacauan yang terjadi saat ini, tentu untuk dapat kembali ke kondisi normal.
Ihwal itu pula yang kiranya membuat persaingan penyediaan vaksin oleh berbagai negara tak hanya sebatas berbicara mengenai urgensi, tetapi juga menjadi sangat menarik ketika ditelisik mengenai pihak mana dan pengaruh seperti apa yang akan terjadi ketika vaksin pertama yang efektif ditemukan.
Tiongkok, ialah negara yang sampai sejauh ini dianggap terdepan dalam kontestasi penyediaan vaksin tersebut. Dan ketika berbicara Tiongkok, konteks “pengaruh” dalam berbagai hal tentu cukup sulit untuk tak disoroti jika mengacu pada kebangkitan dan ekspansi negeri Panda dalam satu dekade terakhir.
Paul Nuki dalam Why China Could Be Poised to Win the Race for A Coronavirus Vaccine menyebutkan bahwa melalui berbagai lembaga riset bioteknologinya seperti Sinovac, Cansino, atau Sinopharm dan dengan kandidatnya masing-masing, vaksin asal negeri Tirai Bambu dianggap paling menjanjikan dari segi waktu dan efektivitas.
Berbagai negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, hingga Karibia lantas mempercayakan vaksin asal Tiongkok sebagai obat mujarab untuk mengeluarkan mereka dari mimpi buruk dampak pandemi, termasuk Indonesia.
Ya, tak hanya Sinovac, anti-virus Uni Emirat Arab (UEA) yang jadi salah satu kandidat vaksin yang dipercaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) di tanah air, nyatanya juga didukung oleh lembaga riset asal Tiongkok, Sinopharm.
Kepercayaan itu pula yang kiranya menjadi variabel pendorong bagi indikasi bertransformasinya Tiongkok yang disebut-sebut sebagai scientific leader dunia dalam tatanan global baru paska pandemi.
Lantas, di mana Amerika Serikat (AS)? Apakah tak terlihatnya AS dalam “kontestasi pengaruh” vaksin Covid-19 menjadi pertanda kuat berakhirnya era hegemoni negeri Paman Sam? Serta bagaimana Indonesia menempatkan diri dalam kemungkinan tatanan baru tersebut?
Tak Semudah Itu?
Selama dua dekade terakhir, segala tindak tanduk Tiongkok dalam tatanan global selalu menarik perhatian. Pencapaian multi aspek Tiongkok yang disebut-sebut berpeluang besar menggeser AS dari singgasana hegemon dunia menjadi diskursus yang semakin signifikan dalam konteks hubungan internasional kontemporer.
Perlombaan vaksin Covid-19 yang digadang-gadang menjadi variabel penting kekinian dalam perebutan pengaruh global, sejauh ini pun menempatkan Tiongkok di atas angin.
Sui-Lee Wee dalam From Asia to Africa, China Promotes Its Vaccines to Win Friends mengatakan bahwa kemampuan untuk mengembangkan dan mendistribusikan vaksin ke banyak negara juga akan menjadi sinyal kuat dari kebangkitan Tiongkok sebagai scientific leader dalam tatanan global baru.
Kebangkitan itu seolah menambah aspek keunggulan baru bagi kedigdayaan Tiongkok atas AS, setelah aspek ekonomi dan militer telah terlebih dahulu menjadi ancaman serius bagi eksistensi hegemoni AS.
Akan tetapi, Fareed Zakaria dalam The Post-American World menyiratkan bahwa untuk mendongkel AS dari posisi hegemoni plus pengaruhnya di dunia saat ini bukanlah sekadar keunggulan kuantitatif atas negeri Paman Sam semata.
Pada sebuah publikasi debat bertajuk Does The 21st Century Belong to China?,Fareed Zakaria menyebut bahwa akumulasi pencapaian apapun yang Tiongkok torehkan dibandingkan dengan AS, tetap akan cukup culit untuk menjadikannya pemimpin atau bahkan hegemon baru.
Zakaria membandingkannya dengan berbagai optimisme terhadap Jepang pada dekade 70 hingga 80-an yang sempat dianggap akan melampaui hegemoni AS karena keunggulan inovasi teknologi yang membuat ekonomi negeri Sakura melejit signifikan.
Ekspansi perusahaan asal Jepang ke berbagai negara juga dianggap sempat menjadi ancaman serius bagi AS, sebelum akibat berbagai faktor, ekonomi dan pengaruh Jepang menukik dengan sendirinya.
Selain inefisiensi pertumbuhan ekonomi plus proyeksi masalah ketimpangan demografi di masa depan, Zakaria juga memprediksi bahwa Tiongkok kelak akan mengalami “hukum kemunduran natural” seperti yang Jepang alami, bahkan dampaknya lebih minor karena Tiongkok adalah negara yang besar.
Sementara pada isu kekinian, di mana Tiongkok diprediksi akan menjadi scientific leader dalam tatanan global paska pandemi, hal tersebut agaknya terlalu prematur. Mengacu pada Jepang yang dicontohkan Zakaria, kemajuan spesifik dalam hal ekspansi vaksin dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan ekspansi teknologi Jepang yang hanya bersifat temporer dan hanya signifikan saat komoditas tersebut sedang dibutuhkan.
Terlebih, vaksin asal Tiongkok pun belum teruji – efektivitas maupun efek sampingnya – sampai benar-benar diinjeksikan massal ke populasi di negara yang mempercayakan anti-virus mereka.
Dan nyatanya AS masih pula berpeluang membalikkan keunggulan sementara Tiongkok ketika perusahaan seperti Moderna hingga Pfizer terus berprogres dalam senyap.
Selain itu, dalam konteks tatanan global secara umum, Zakaria juga mengatakan bahwa tatanan yang ada saat ini merupakan kreasi dari AS di mana nilai-nilai serta pengaruhnya secara politik telah sangat mengakar dalam interaksi hubungan internasional antar-negara, termasuk nilai-nilai modernisasi, multilateralisme, hingga keterbukaan.
Artinya, selain “efek samping” ekspansi vaksin yang bisa menjadi bumerang bagi Tiongkok, tatanan global tempat di mana negeri Tirai Bambu berinteraksi yang merupakan ciptaan AS juga dinilai akan membuat mereka akan kesulitan menggeser hegemoni dan pengaruh AS, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Lalu, bagaimana dengan posisi Indonesia – yang di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi seolah telah sangat bergantung pada Tiongkok – dalam menyikapi hal tersebut?
Hindari Pragmatisme
Landasan ketergantungan Indonesia atas dua vaksin asal Tiongkok sendiri dinilai serupa dengan alasan yang mendasari berbagai kerja sama kedua negara saat ini, yakni kebutuhan akan akselerasi problem solving secepat mungkin.
Namun sayangnya, karakteristik hubungan yang cenderung dependen dari pada interdependen membuat Indonesia kurang memiliki banyak pilihan untuk keluar dari cengkraman Tiongkok yang semakin dalam.
Masih dalam publikasi debat yang sama, Fareed Zakaria juga menyoroti behaviour atau perilaku Tiongkok di balik tabir kerja sama “cuan” yang cenderung destruktif. Pertikaian kepulauan Senkaku dengan Jepang, isu Laut China Selatan (LCS) dengan beberapa negara Asia Tenggara, plus isu perbatasan dengan India kekinian, menjadikan relasi dengan Tiongkok semestinya tak berlandaskan pragmatisme belaka.
Dinamika terkini secara gamblang memaparkan terkekangnya negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Meski telah dijamin oleh AS, melalui Menteri Luar Negeri, Mike Pompeo untuk menghindari Tiongkok akibat isu LCS, para anggota ASEAN cenderung memberikan pernyataan bersama yang normatif dan seolah tak ingin secara agresif merespon Tiongkok.
Khusus bagi Indonesia, perilaku destruktif Tiongkok bahkan secara nyata terulang pada akhir pekan lalu, saat kapal coast guard negara yang dipimpin Xi Jinping itu melanggar kedaulatan dan memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna.
Kuncinya sekarang ada di tangan Presiden Jokowi. Ketegasan untuk menarik garis pembeda dalam kebijakan luar negeri antara kerugian nyata atas kepentingan bersifat pragmatis dengan Tiongkok, dan kepentingan serta kedaulatan negara jangka panjang akan jauh lebih penting.
Tak hanya kehati-hatian, kompetisi antara AS dan Tiongkok juga harus disikapi dengan tegas oleh kepala negara agar kepentingan bangsa tak tersandera sedikitpun. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.