Sepakbola masih menjadi salah satu kendaraan politik paling seksi karena melibatkan massa dalam jumlah besar –Akmal Marhali
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]iapa yang tak suka dengan sepak bola? Sepak bola merupakan sebuah olahraga sekaligus permainan yang sangat populer di dunia. Di Indonesia sendiri, dalam penelitian yang dilakukan oleh Nielsen Sport, 77% penduduk Indonesia memiliki ketertarikan pada sepak bola, terutama ketika menyaksikan Timnas Indonesia berlaga.
Namun, ketertarikan masyarakat terhadap sepak bola tidak berbanding lurus dengan prestasi olahraga si kulit bundar tersebut. Beberapa pihak menganggap jika sepak bola ingin berprestasi, kelembagaan Persatuan Sepakbola seluruh Indonesia (PSSI) harus dibenahi. Maka dari itu, bongkar pasang kepengurusan PSSI terus dilakukan sebagai upaya memperbaiki kualitas sepak bola tanah air.
Saat ini, posisi Ketua Umum PSSI dipegang oleh Edy Rahmayadi sejak 2016. Edy telah mengalahkan pesaing dalam perebutan kursi PSSI seperti Moeldoko dan Walikota Batu Edy Rumpoko. Dari fakta itu terlihat bahwa PSSI telah menjadi rebutan para politisi.
Kini harapan pecinta sepak bola terhadap perbaikan sepak bola dibawah pengelolaan Edy mulai menurun. Pasalnya telah maju dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara dan memenangkan pemilihan itu ketika masih menjabat sebagai Ketua Umum PSSI.
Sialnya ketika dilantik sebagai Gubernur Sumatera Utara oleh Jokowi di Istana, Edy Rahmayadi menegaskan tidak akan melepaskan jabatan Ketua Umum PSSI kepada orang lain. Ia katakan bahwa dirinya akan tetap memegang kendali PSSI sekalipun telah menjadi Gubernur.
Terimakasih sambutannya warga Sumatera Utara. Hari ini saya bersiap memulai pekerjaan.
.
.#edyrahmayadi #musarajekshah #sumutbermartabat #pemprovsumut #kabarpemprovsu pic.twitter.com/BsArLhZGEo— Edy Rahmayadi (@RahmayadiEdy) September 6, 2018
Edy mengatakan bahwa statusnya sebagai Ketua Umum PSSI tidak akan mengganggu pekerjaannya sebagai seorang Gubernur. Dia menambahkan, PSSI di bawah kepengurusan Edy telah memiliki rencana program hingga tahun 2034.
Sejumlah masyarakat merasa geram. Dalam petisi online pada laman change.org mereka meminta Gubernur Sumatera Utara itu mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI.
Pertanyaanya adalah apa yang membuat para politisi seperti Edy Rahmayadi ngotot ingin pegang kendali PSSI? Apakah Edy mendapat untung? Lantas apa saja dampak yang akan terjadi terhadap sepak bola nasional ketika PSSI masih dipegang oleh seseorang yang rangkap jabatan sebagai kepala daerah?
Politisi Untung, Sepak Bola Buntung
Penelitian Nielsen Sport mengatakan bahwa 77% penduduk Indonesia memiliki ketertarikan pada sepak bola. Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Nigeria sebagai negara penggemar bola terbesar di dunia. Mungkin karena itulah stadion Gelora Bung Karno yang berkapasitas puluhan ribu penonton dalam sekejap bisa dipenuhi lautan manusia ketika Timnas Indonesia berlaga.
Jumlah peminat sepak bola yang cukup banyak tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi pihak-pihak yang ingin mendongkrak popularitas.
Prabowo Subianto pernah menggunakan cara ini ketika berkontestasi pada Pilpres 2014. Di depan awak media ia berjanji kepada masyarakat akan membawa Indonesia ke Piala Dunia jika Prabowo terpilih sebagai presiden. Benar saja, pada saat bersamaan janji Prabowo itu langsung menjadi viral di jagat dunia maya.
Kerinduan masyarakat terhadap kejayaan sepak bola Indonesia bisa jadi dilihat sebagai sasaran empuk oleh para politisi. Maka PSSI sebagai lembaga pengelola sepak bola tanah air pun sering kali jadi rebutan dari masa ke masa.
Tidak hanya PSSI, kepemilikan klub sepak bola tanah air saat ini masih didominasi oleh politisi. Hal itu bisa dipahami sebagai sebuah strategi para politisi untuk mendongkrak popularitas mereka di hadapan para penggemar.
Koordinator Save Our Soccer Akmal Marhali berpendapat olahraga seperti sepakbola masih menjadi salah satu kendaraan politik paling seksi karena melibatkan massa dalam jumlah besar, yang merupakan swing voter. Pada titik inilah sepak bola dilihat sebagai pasar oleh para pemilik kepentingan.
Sepakbola masih menjadi salah satu kendaraan politik paling seksi karena melibatkan massa dalam jumlah besar Share on XSelain popularitas, para politisi juga akan diuntungkan dari segi finansial ketika mengurus PSSI. PSSI merupakan organisasi induk sepak bola di Indonesia. Pengelolaan PSSI tidak terlepas dari intervensi FIFA sebagai organisasi induk sepak bola dunia.
Sejak tahun 1990-an, FIFA berusaha mengubah organisasi persepakbolaan di berbagai belahan dunia menjadi gurita besar yang dikendalikan secara sentralistik dari markas FIFA di Zurich, Swis. Di bawah aturan FIFA, PSSI sudah mengubah orientasi menjadi sebuah industri sepak bola.
Pada tahun 2017 Komite Keuangan PSSI Dirk Soplanit mengatakan bahwa PSSI mendapatkan keuntungan sebesar tiga miliar rupiah. Keuntungan ini sebagian besar didapat dari Liga Sepak Bola Nasional, sponsorship, hingga pendanaan FIFA.
FIFA mengucurkan dana sekitar enam belas miliar per tahun untuk mendukung pembangunan sepak bola Indonesia. Jumlah itu terbilang fantastis, tetapi berbanding terbalik dengan sepak bola Indonesia yang tak kunjung membaik.
Jumlah anggaran sebesar itu bisa jadi sebab mengapa PSSI diperebutkan oleh sejumlah politisi. Steve Jones dalam jurnal kolumnis sosialis mengatakan pencapaian organisasi induk sepak bola seperti FIFA adalah berorientasi pada uang dan bukan pada cita-cita murni keolahragaan. Hal serupa boleh jadi terjadi juga di PSSI.
Untuk maju dalam kontestasi politik tentu para politisi membutuhkan modal yang tidak sedikit. Oleh karena itu, mereka akan berupaya mencari sumber pendanaan dari berbagai tempat, mungkin termasuk dari PSSI salah satunya.
Para politisi itu seperti memanfaatkan celah hukum di dalam kepengurusan PSSI dan kebanyakan induk organisasi olahraga lainnya. PSSI bukanlah lembaga pemerintahan dan menganggap diri bukan lembaga publik. Hal ini membuat mereka tidak perlu membuat laporan keuangan kepada negara.
Oleh karena itu, sulit untuk meminta kejelasan dari mana uang PSSI dan ke mana perginya. Boleh jadi memang betul ada dana yang mengalir ke kocek pribadi pengurus PSSI. Akan tetapi, lembaga seperti KPK dan Polri akan kesulitan membongkar kasus ini karena praktik pengaturan skor, monopoli hak siar dan lainnya tidak termasuk ranah UU Tipikor. Di titik ini, sangat rasional jika ada orang yang menjadikan PSSI sebagai lahan basah memperkaya diri.
Edy Harus Mundur?
Save Our Soccer dan sejumlah masyarakat telah mengkritik sikap Edy yang tidak mau mundur dari jabatan Ketua Umum PSSI. Bagi mereka, PSSI perlu diperbaiki dengan penanganan khusus, bukan justru dianggap organisasi sambilan.
Apalagi saat ini Edy adalah pemegang saham sekaligus Dewan Pembina PSMS Medan. Bukan tidak mungkin pula fokus Edy terhadap pembangunan sepak bola akan berat sebelah kepada salah satu klub saja.
Dear @FIFAcom, for your information, the head of @PSSI, Mr. Edy Rahmayadi is now become a Governor in North Sumatra, Indonesia. Please tell him to leave his position as head of @PSSI before you ban us again from International football.
— Rully Octaviano (@octavianorully) September 6, 2018
Untuk mendukung peletakan jabatan itu, terdapat regulasi yang melarang kepala daerah rangkap jabatan sebagai pengurus PSSI. Larangan itu diatur dalam Surat Edaran Mendagri No.800 tahun 2012 tentang larangan perangkapan jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah pada kepengurusan KONI, PSSI, Klub Sepakbola Profesional dan Amatir, serta jabatan publik dan jabatan struktural.
Rangkap jabatan tentu saja akan menimbulkan fokus menjadi bercabang dan umumnya hasilnya tidak memuaskan. Bukan tidak mungkin karena Edy masih mengurus PSSI, daerah Sumatera Utara menjadi tidak terurus atau bahkan sebaliknya karena fokus menjadi kepala daerah, lembaga PSSI menjadi terbengkalai.
Permasalahan sepak bola Indonesia begitu banyak. Akan sangat sulit bagi Edy membenahi permasalahan sepak bola tanah air jika ia masih berstatus sebagai gubernur. Jabatan Ketua Umum PSSI harus diletakkan oleh Edy untuk dipegang oleh pihak yang jauh lebih siap dan matang untuk membenahi sepak bola Indonesia.
Apakah mungkin alasan Edy tak mau melepas PSSI setelah ditetapkan sebagai Gubernur Sumatera Utara karena dia mendapatkan keuntungan-keuntungan dari organisasi sepak bola tersebut, yakni keuntungan popularitas dan finansial?
Jika dugaan itu benar, maka harapan masyarakat untuk melihat sepak bola nasional berprestasi di level internasional akan semakin sulit untuk diwujudkan. (D38)