Site icon PinterPolitik.com

Edhy Prabowo Lawan Warisan Susi?

Edhy Prabowo Lawan Warisan Susi?

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo akan hapus kebijakan penenggelaman kapal (Foto: Liputan6)

Setelah sebelumnya menyebut penenggelaman kapal akan dilanjutkan, Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini Edhy Prabowo tiba-tiba mengubah keputusan dengan menyebut tidak akan ada lagi penenggelaman kapal. Sebagaimana diketahui, kebijakan penenggelaman kapal telah banyak menuai protes baik dari dalam maupun luar negeri. Lantas, apakah ada motif politik di balik perubahan sikap tersebut?


PinterPolitik.com

Edhy Prabowo mungkin menjawab keraguan publik, apakah orang kepercayaan Prabowo Subianto ini mampu untuk melawan illegal fishing sebaik pendahulunya, Susi Pudjiastuti atau tidak.

Pasalnya, dalam acara serah terima jabatan pada 23 Oktober 2019, Edhy dengan tegas menjawab akan melanjutkan penenggelaman kapal – kebijakan yang telah menjadi momok menakutkan bagi pelaku illegal fishing.

Akan tetapi, sepuluh hari berselang, Edhy tiba-tiba menyebutkan bahwa penenggelaman kapal tidak akan dilanjutkan. Ini tentu keputusan yang mengejutkan menimbang pada pernyataan Edhy sebelumnya.

Penenggelaman kapal sendiri dapat dikatakan sebagai legacy atau warisan yang ditinggalkan oleh Susi. Kebijakan yang berani ini membuatnya diakui dunia.

Namun, sebagaimana diketahui, kebijakan ini selalu dihantui oleh berbagai protes, baik dari dalam maupun luar negeri.

Secara terbuka, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) bahkan pernah mengutarakan protesnya pada penenggelaman kapal. Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini menyebutkan bahwa ia mendapatkan berbagai protes dan pendekatan diplomatik dari berbagai negara terkait kebijakan tersebut.

Menimbang pada kebijakan penenggelaman kapal yang telah menjadi legacy Susi, ini tentunya adalah kesempatan emas bagi Edhy untuk menunjukkan kinerja baik kepada masyarakat. Apalagi, akibat kebijakan tersebut, Susi selalu dipersepsikan secara positif oleh masyarakat.

Namun, melihat sikap Edhy yang tidak memanfaatkan momentum tersebut, sepertinya kebijakan tersebut justru tidak akan mendatangkan keuntungan politik. Benarkah demikian?

Edhy vs Political Legacy

Fong, Malhotra dan Margalit dalam Political Legacies, menjelaskan bahwa political legacy atau warisan politik terdiri atas dua macam.

Pertama adalah hard legacy yang berupa capaian nyata atau yang memiliki bentuk konkret, misalnya capaian infrastruktur. Kedua adalah soft legacy yang berupa capaian yang bersifat lebih abstrak, misalnya capaian prinsip seperti kesadaran toleransi atau demokrasi.

Saat ini, di dalam tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), telah terdapat hard legacy, yakni kebijakan penenggelaman kapal yang sudah terjadi pada 558 kapal dalam lima tahun terakhir.

Melanjutkan hard legacy, umumnya lebih mudah dan lebih efektif daripada soft legacy karena indikator capaian lebih mudah untuk ditentukan.

Menimbang pada hal ini, jika Edhy ingin meninggalkan legacy juga, tentu saja hard legacy yang telah dibuat Susi adalah kesempatan yang tidak boleh dilepaskan. Dengan demikian, di akhir masa jabatannya, Edhy juga akan dikenang sebagai musuh illegal fishing, sama halnya dengan Susi.

Menjadi orang nomor satu di KKP, adalah jabatan eksekutif pertama Edhy, sekaligus menjadi penanda babak baru Partai Gerindra di lingkaran kekuasaan Istana. Atas dalih ini, tentu Edhy mesti memberikan suatu capaian yang nantinya bisa berdampak positif untuk partainya.

Pasalnya, ini dapat menjadi nilai tawar untuk mendapatkan “kue kekuasaan” berikutnya, ataupun untuk menambah insentif elektoral Gerindra. Apalagi political legacy akan menciptakan collective memory atau ingatan kolektif yang dapat mempengaruhi masyarakat saat melakukan kampanye.

Dalam iklim demokrasi yang telah dirasuki oleh perkembangan pesat komunikasi massa, seperti sosial media (sosmed), memang telah terjadi perpindahan kekuatan figur pemimpin dari yang sebelumnya mesti berkualitas, menjadi lebih ke figur yang mampu meraup atensi atau perhatian publik. Ini kemudian dikenal dengan istilah star power.

Atas dasar ini, baik Edhy maupun Gerindra sendiri akan mendapatkan keuntungan politik jika meneruskan program Susi yang populer di masyarakat. Sementara, jika menghapus program yang populer tersebut, ada risiko dua entitas politik ini akan dicitrakan secara negatif oleh masyarakat.

Mempertahankan Posisi?

Melihat pro-kontra yang selalu mengiringi kebijakan penenggelaman kapal, Edhy sepertinya menyadari bahwa melanjutkannyabisa juga berdampak buruk bagi dirinya.

Pasalnya, Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang membawahi KKP diketahui telah lama mengkritik keras kebijakan penenggelaman kapal. Luhut memang sebelumnya cukup sering berseberangan dengan Susi dalam banyak hal.

Pun begitu dengan menimbang berbagai penolakan dari pihak luar seperti yang pernah disebutkan oleh JK, membuat keputusan untuk melanjutkan penenggelaman kapal tentu merupakan pertaruhan besar bagi Edhy.

Ini juga besar kemungkinan berhubungan dengan kepentingan pihak-pihak atau pengusaha yang selama ini dirugikan dengan kebijakan penenggelaman kapal.

Pada posisi dilematis ini, Edhy sepertinya tengah mengalami loss aversion, yaitu fenomena psikologis ketika ketakutan kehilangan sesuatu lebih memotivasi seseorang dibanding dengan prospek mendapatkan keuntungan. Kahneman dan Tversky dalam Prospect Theory, menyebut loss aversion ini dengan slogan losses loom larger than gains atau kerugian nampak lebih besar daripada keuntungan.

Artinya, Edhy lebih memilih tidak membuat riak-riak ataupun konflik dengan tidak melanjutkan kebijakan penenggelaman kapal, meski kebijakan tersebut dapat memberikan keuntungan elektoral dalam hal perspektif masyarakat pada dirinya dan Gerindra.

Keputusan Edhy ini terbilang sangat beralasan. Pasalnya, kebijakan penenggelaman kapal berpotensi akan membuatnya mengalami konflik dengan berbagai korporasi perikanan ataupun pihak-pihak yang memiliki kepentingan lainnya.

Edhy sendiri nampaknya juga memiliki beban untuk memulihkan citra Indonesia di mata internasional terkait kebijakan penenggelaman kapal yang gencar dilakukan Susi.

Johannes Nugroho dalam Why Sinking Ships Is Not Good for Indonesia menjelaskan bahwa penenggelaman kapal yang terjadi sejak 2015 mungkin telah merusak citra Indonesia di dunia internasional.

Ini juga terkait dengan citra buruk Indonesia terkait kekerasan komunal.

Apalagi, kebijakan penenggelaman kapal juga berseberangan dengan kebijakan badan-badan internasional seperti International Maritime Organization dan the World Wide Fund for Nature yang tengah mencari cara untuk menghilangkan ribuan kapal karam di bawah laut, yang diketahui memberi efek merusak bagi lingkungan.

Di tengah usaha membersihkan efek merusak dari kapal-kapal karam, tentu menjadi ironi tersendiri apabila Indonesia justru melakukan kebijakan penenggelaman kapal.

Di luar persoalan memperbaiki citra, Edhy sepertinya tengah gencar membangun kerja sama di bidang perikanan. Belum lama setelah dilantik sebagai menteri, Edhy langsung bertemu dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Xiao Qian untuk membahas kerja sama di bidang perikanan seperti peningkatan ekspor perikanan. Pun begitu dengan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, Joseph R. Donovan untuk membahas hal yang sama.

Hal ini tentunya sebagai antitesa dari Susi yang gagal menaikkan ekspor perikanan yang berakibat pada tren turunnya pertumbuhan ekonomi sektor perikanan sejak angka tertinggi di tahun 2015 dengan 7,89 persen menjadi 5,20 persen di tahun 2018.

Tidak hanya itu, dengan meningkatkan ekspor perikanan, Edhy akan sejalan dengan keinginan Luhut yang diketahui telah lama mewanti-wanti Susi karena turunnya ekpor perikanan.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa keputusan Edhy untuk mengubah sikap terkait kebijakan penenggelaman kapal boleh jadi terjadi karena ia tidak ingin kebijakan tersebut menjadi “bumerang” bagi dirinya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version