Pertemuan antara Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dengan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Xiao Qian, bisa jadi menandakan babak baru hubungan sektor perikanan Indonesia-Tiongkok yang beberapa tahun kebelakang merenggang karena kasus pencurian ikan dan isu kedaulatan wilayah. Lalu, apa sebenarnya makna di balik pertemuan ini? Adakah maksud dibalik rencana kerjasama ini?
PinterPolitik.com
Dalam pertemuan tersebut baik Edhy maupun Xiao menyampaikan keinginan masing-masing negara dalam kerjasama sektor perikanan. Xiao menjelaskan bahwa setiap tahunnya Indonesia baru mengeskpor 200.000 ton produk perikanan ke Tiongkok alias hanya lima persen dari total kuota impor perikanan Tiongkok.
Oleh karena itu Tiongkok menyampaikan keinginannya agar Indonesia mengekspor lebih banyak produk perikanan kepada negara tirai bambu tersebut.
Xiao bahkan menyampaikan pandangan optimisnya bahwa melalui kerjasama yang baru ekspor produk perikanan Indonesia ke Tiongkok akan mencapai angka yang ‘luar biasa besar’.
Sementara untuk Indonesia, melalui kerjasama ini Edhy berharap agar Tiongkok mau berbagi ilmu dan teknologi seputar budi daya perikanan terkait dengan pencegahan virus dalam budi daya udang.
Budi daya udang sendiri memang penting mengingat selama ini udang merupakan komoditas ekspor utama industri perikanan Indonesia.
Perubahan Sikap KKP?
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, selama lima tahun kebelakang hubungan Indonesia-Tiongkok di sektor perikanan bisa dikatakan renggang atau bahkan ‘panas’.
Hal ini tidak lepas dari kebijakan-kebijakan mantan menteri KKP, Susi Pudjiastuti, yang dilihat banyak pihak ‘bermusuhan’ dengan Tiongkok.
Ambil contoh dalam kebijakan moratorium izin penangkapan ikan terhadap kapal asing dan eks-asing yang juga menargetkan kapal asal Tiongkok.
Menurut Ono Surono, politikus PDIP sekaligus anggota Komisi IV DPR, kebijakan Susi tersebut mengganggu hubungan kerjasama bilateral Indonesia dengan Tiongkok.
Ono juga mengatakan bahwa moratorium menutup masuknya investasi Tiongkok di sektor perikanan Indonesia.
Kebijakan Susi juga secara nyata berdampak buruk bagi perusahaan-perusahaan ikan asal Tiongkok yang mengalami kerugian hingga ratusan miliar rupiah karena tidak bisa lagi menangkap ikan di perairan Indonesia.
Selain itu wanita kelahiran Pangandaran tersebut juga pernah mengancam akan menggugat Tiongkok ke Mahkamah Internasional terkait dengan insiden Kapal Penjaga Pantai Tiongkok yang mencoba menghalangi petugas KKP menangkap kapal pencuri ikan Kway Fey asal Tiongkok.
Tidak berhenti di situ, Susi juga pernah mengatakan bahwa apa yang dilakukan Tiongkok bukanlah ‘penangkapan ikan’ biasa namun merupakan kejahatan transnasional terorganisir atau Transnational Organized Crime.
Amerika dan Ketergantungan Ekonomi?
Selain perubahan sikap KKP, yang juga menarik adalah keinginan Tiongkok agar Indonesia meningkatkan ekspor produk perikanannya ke Tiongkok.
Sementara untuk Tiongkok, keinginannya terhadap suplai produk perikanan Indonesia yang lebih besar ini bisa jadi merupakan strateginya untuk menggeser dominasi Amerika Serikat (AS) dan meningkatkan ketergantung ekonomi Indonesia terhadap pasar Tiongkok.
Ya, menurut data KKP setidaknya sejak tahun 2012 AS sudah menjadi tujuan ekspor utama produk perikanan Indoensia.
Pada tahun 2017 negara tersebut menjadi sumber dari 40 persen atau sekitar Rp 25,4 triliun total nilai ekspor produk perikanan Indonesia.
Sementara di tahun yang sama pasar Tiongkok hanya menjadi sumber 10 persen atau sekitar Rp 6,2 triliun nilai ekspor perikanan Indonesia.
Selain jauh di bawah AS, angka ini juga masih berada di bawah nilai ekspor produk perikanan Indonesia ke Jepang dan Asia Tenggara.
Di sektor perikanan AS memang masih menjadi tujuan utama ekspor Indonesia.
Namun jika melihat keseluruhan ekspor, pada tahun 2018 Tiongkok merupakan negara tujuan utama ekspor indonesia dengan menyerap lebih dari 15 persen nilai total ekspor Indonesia.
Kondisi ini-pun berpotensi memengaruhi sikap politik Indonesia terhadap Tiongkok.
Menurut Sanchita Basu Das, peneliti dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapura, negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, memiliki ketergantungan ekonomi yang tinggi terhadap Tiongkok.
Ketergantungan ini salah satunya hadir dalam bentuk besarnya serapan pasar Tiongkok terhadap produk ekspor negara-negara Asia Tenggara.
Sanchita kemudian melihat bahwa kondisi tersebut dapat memperkuat posisi Tiongkok untuk mendorong agenda-agenda politiknya dikawasan.
Adanya pengaruh ketergantungan pasar ekspor terhadap politik juga diungkapkan oleh Adrienne Armstrong, profesor dari Northwestern University.
Ia menjelaskan bagaimana ketergantungan ekspor Negara A terhadap pasar Negara B membuat Negara B dapat mempengaruhi kebijakan politik Negara A.
Pengaruh ini bersumber dari kemampuan Negara B untuk melarang ataupun meningkatkan tarif terhadap masuknya produk-produk Negara A jika ia merasa kebijakan Negara A tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya.
Jika larangan ini terjadi Negara A harus mencari pasar ekspor lain, meningkatkan konsumsi domestik, atau merubah kebijakan politiknya agar Negara B mengizinkan produknya kembali masuk.
Penggunaan akses pasar ekspor untuk kepentingan politik ini sudah dipraktikkan oleh banyak negara.
India misalnya yang mengancam akan memblokade minyak kelapa sawit setelah Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Mohamad, mengatakan di Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa India telah menginvasi dan menduduki wilayah Kashmir.
Kemudian ada Russia yang pada tahun 2015 memblokir produk makanan asal Turki setelah pesawat tempurnya ditembak jatuh oleh Turki.
Pemblokiran ini kemudian berpotensi menimbulkan kerugian sebesar Rp 10,6 triliun terhadap sektor pertanian Turki.
Pun penggunaan larangan impor dan penutupan akses pasar ini juga digunakan Tiongkok dalam perang dagangnya dengan AS.
Yang terbaru misalnya ketika Tiongkok melarang masuknya produk pertanian AS sebagai respon terhadap AS yang menaikkan tarif impor sebesar 10 persen terhadap produk Tiongkok.
Namun tidak menutup kemungkinan meningkatkan porsi ekspor produk perikanan ke Tiongkok juga memiliki dampak politik yang positif bagi Indonesia.
Dalam tulisannya Armstrong juga menjelaskan bahwa besar-tidaknya dampak politik dari ketergantungan pasar ekspor bergantung pada seberapa besar persentase ekspor suatu negara terhadap negara lain.
Ia menjelaskan bahwa ketergantungan bisa dihindari jika suatu negara secara rata mendistribusikan ekspornya ke banyak negara.
Oleh karena itu keinginan Tiongkok untuk menerima lebih banyak produk perikanan Indonesia dapat digunakan Indonesia untuk mengurangi porsi ekspor dan ketergantungannya terhadap pasar AS.
Indonesia dan Tiongkok adalah negara yang sama-sama besar. Kesepakatan kerja sama dua negara didasari mutual respect dan saling menguntungkan.
Kita jaga terus kerja sama yang baik antar negara ini dan kita jaga kedaulatan laut Indonesia sepenuhnya untuk kemakmuran rakyatnya. pic.twitter.com/OlcU6SsMCA
— Edhy Prabowo (@Edhy_Prabowo) November 1, 2019
Pilihan Tiongkok untuk ‘menggoda’ sektor perikanan Indonesia merupakan langkah yang tepat mengingat produksi dan ekspor produk perikanan Indonesia yang akhir-akhir ini terus meningkat.
Selain itu Indonesia memang membutuhkan alternatif pasar ekspor bagi produk perikanannya.
Hal ini berkaitan dengan ekspor perikanan Indonesia ke AS yang sangat bergantung terhadap Generalized System of Preference (GSP) alias keringanan bea masuk yang diberikan AS.
Jika GSP ini sewaktu-waktu dicabut ekspor perikanan Indonesia ke AS dapat turun hingga 55,2 persen.
Dengan dampak ekonomi dan politiknya yang tidak hanya dapat mempengaurhi hubungan Indonesia-Tiongkok, namun juga negara lain seperti AS, kerjasama KKP dengan Tiongkok adalah hal yang menarik untuk terus diikuti.
Kita lihat saja, apakah kerjasama yang nantinya akan dilakukan lebih banyak menguntungkan Indonesia atau justru lebih menguntungkan Tiongkok. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.