Selaku sosok yang begitu dipercaya Prabowo Subianto, penangkapan MenKP Edhy Prabowo agaknya begitu mengejutkan secara politik. Banyak yang menilai penangkapan tersebut adalah sinyal Prabowo akan diganjal untuk maju di Pilpres 2024. Lantas, mungkinkah terdapat pihak yang bermain di balik penangkapan tersebut?
Baru lima hari di Surabaya, atau tepatnya pada 30 Oktober 1945, pasukan militer Inggris justru harus kehilangan jenderalnya, yakni Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby. Padahal, dalam pertempuran melawan Jerman di Perang Dunia II, kehilangan seperti itu tidak pernah dialami.
Terbunuhnya sang jenderal kemudian memicu Inggris mengeluarkan ultimatum pada 9 November. Mayor Jenderal EC Mansergh yang menjadi pengganti Mallaby meminta pasukan Indonesia di Surabaya untuk menyerahkan senjata tanpa perlawanan. Namun, seperti yang kita ketahui, ultimatum tersebut ditolak keras, dan meletuslah pertempuran pada 10 November yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Sedikit berspekulasi, pola respons semacam itu yang mungkin membuat pengamat politik Rocky Gerung berspekulasi bahwa penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (MenKP) Edhy Prabowo baru-baru ini akan melahirkan politik balasan dari Partai Gerindra.
Pasalnya, sama dengan Mallaby, Edhy juga dapat disebut sebagai jenderalnya Prabowo Subianto. Sudah menjadi rahasia umum apabila mantan Ketua Komisi IV DPR RI tersebut memiliki ikatan emosional yang begitu dekat dengan sang ketua partai kepala garuda.
Menariknya, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin membandingkan penangkapan tersebut seperti penangkapan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurutnya, penangkapan Luthfi bermotif politik karena dilakukan menjelang Pilpres 2014.
Pada kasus Edhy, meskipun Pilpres 2024 masih jauh, dengan masifnya corong politik menyorot Prabowo sebagai kandidat potensial, agaknya tidak sulit menyimpulkan bahwa konteks serupa juga terjadi saat ini.
Tambah Ujang, penangkapan tersebut juga merupakan sinyal ketidaksukaan pemerintah atas manuver Gerindra yang justru tetap mengkritik melalui Fadli Zon, meskipun telah diberikan dua kursi menteri. Apalagi, dengan tidak jelasnya kasus Harun Masiku yang merupakan kader PDIP, juga menambah kecurigaan Ujang bahwa penangkapan Edhy memang bermotif politis.
Lantas, jika spekulasi Ujang benar adanya, mungkinkah terdapat pihak yang bermain di belakang penangkapan tersebut?
Prabowo Ingin Jadi Lincoln?
Demi nama rekonsiliasi, Prabowo yang menjadi rival Joko Widodo (Jokowi) dalam dua gelaran Pilpres terakhir secara mengejutkan bergabung ke dalam koalisi pemerintah. Itu juga menjadi sejarah karena untuk pertama kalinya Gerindra berada di jalur kekuasaan.
Namun, apabila kita merujuk pada pernyataan Amien Rais pada Januari 2019 lalu, bergabungnya Prabowo sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Saat itu, Amien menuturkan bahwa Prabowo ingin berlaku seperti Presiden ke-16 Amerika Serikat (AS) Abraham Lincoln. Jika nantinya memenangkan Pilpres 2019, mantan Danjen Kopassus tersebut akan membentuk “team of rivals” yang merangkul pihak oposisi dalam kabinet pemerintahannya.
Dalam Rapimnas Gerindra pada 16 Oktober 2019, Prabowo menyampaikan pidato yang mengafirmasi pernyataan Amien. Seperti yang diungkap oleh Sandiaga Uno, keputusan Prabowo untuk satu meja dengan Jokowi memang telah menimbulkan gejolak internal dalam tubuh partai.
Oleh karenanya, dalam Rapimnas tersebut, Prabowo mencoba meyakinkan anggota partainya dengan menyampaikan pidato yang berisi teladan dari tiga pemimpin dunia yang merangkul rival politiknya ke dalam pemerintahan. Mereka adalah Abraham Lincoln dengan William H. Seward di AS, Hideyoshi dengan Tokugawa di Jepang, dan Mao Zedong dengan Deng Xiaoping di Tiongkok.
Di sini, kita mungkin dapat berspekulasi bahwa Prabowo benar-benar berasumsi bahwa keputusannya untuk masuk ke dalam pemerintahan akan memperbaiki iklim politik yang sedang terpecah-belah sekaligus memperbaiki hubungan dengan Jokowi dan PDIP.
Teruntuk PDIP, sebagaimana kita ketahui, Gerindra pernah begitu dekat dengan partai banteng ketika mengusung duet Megawati-Prabowo di Pilpres 2009. Dengan kata lain, Prabowo mungkin ingin mengembalikan hubungan baik tersebut dengan keputusannya menjadi menteri Jokowi.
Ilusi Kontrol?
Jika benar demikian, patut dicurigai Prabowo telah terjebak dalam illusion of control atau ilusi kontrol. Ini adalah fenomena sosial yang terjadi ketika seseorang meyakini memiliki kendali atas situasi yang jelas berada di luar jangkauan pengaruhnya.
Simpulan tersebut setidaknya bertolak dari empat alasan. Pertama, dengan dalih rekonsiliasi, mungkin terdapat keyakinan bahwa pemerintah membutuhkan Gerindra untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan. Ihwal tersebut akan membuat Gerindra percaya diri dan berimbas pada tiga alasan berikutnya.
Kedua, Gerindra terlihat memainkan politik dua kaki. Di satu sisi Prabowo dan Edhy menjalankan misi sebagai pembantu presiden. Namun di sisi lain, juga menjalankan misi sebagai oposisi melalui Fadli Zon. Tidak tanggung-tanggung, Fadli bahkan terlihat seperti mengamankan dukungan dari kelompok Islam.
Ketiga, Prabowo terlihat memanfaatkan posisinya sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) untuk mendulang atensi publik, misalnya dengan banyak melakukan diplomasi pertahanan. Ini praktis membuatnya menjadi salah satu pusat pemberitaan. Dan terbukti, dalam berbagai survei, publik menilai Prabowo sebagai menteri dengan kinerja paling memuaskan.
Keempat, terdapat dugaan bahwa Gerindra memanfaatkan dua jatah kursi menterinya untuk melakukan bisnis. Di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Tempo mengungkap berbagai perusahaan eksportir benih lobster ternyata terafiliasi dengan Gerindra.
Lalu di proyek food estate atau lumbung pangan, dibentuk PT Agro Industri Nasional (Agrinas) untuk mendukung program tersebut. Menariknya, jabatan-jabatan penting di PT Agrinas belakangan diketahui ternyata diisi oleh orang-orang terdekat Menhan Prabowo dan Partai Gerindra.
Sedikit berspekulasi, jika benar pernyataan Ketua Umum Jokowi Mania (Jokman), Immanuel Ebenezer bahwa terdapat menteri berinisial P yang justru sibuk berbisnis dan berpolitik merujuk pada Prabowo, konteks kritiknya mungkin merujuk pada ekspor benih lobster dan food estate.
Apalagi, kritik tersebut juga direspons oleh juru bicara Partai Gerindra, Habiburokhman dan Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad.
Singkatnya, jika benar Prabowo mengalami ilusi kontrol alias merasa dapat mengendalikan situasi politik, itu mungkin yang mengakibatkan Gerindra dapat percaya diri melakukan manuver-manuver politik tersebut.
Ada yang Bermain?
Ditangkapnya Edhy yang begitu dekat dengan Prabowo jelas begitu mengejutkan secara politik. Ini jelas menjadi peringatan bagi Prabowo bahwa pengaruhnya tidak cukup kuat untuk membendung peristiwa tersebut.
Pengamat politik dari Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam dalam wawancaranya bersama PinterPolitik menegaskan bahwa penangkapan tersebut merupakan sinyal agar Prabowo hati-hati ke depannya. Ia juga menegaskan bahwa itu mungkin adalah sinyal bahwa hubungan Gerindra dengan PDIP yang selama ini disebut dekat kembali sejak rekonsiliasi, sepertinya tidak demikian.
Merujuk pada kasus masih tidak jelasnya kasus Harun Masiku, itu dinilai oleh banyak pihak sebagai indikasi bagaimana kuatnya pengaruh dan kekuatan politik PDIP saat ini. Artinya, penangkapan Edhy dapat dijadikan indikasi bahwa partai banteng tidak memiliki upaya untuk membentengi Partai Gerindra.
Di titik ini, mungkin kita dapat membuat deduksi untuk menentukan siapa kira-kira yang mungkin bermain di balik penangkapan Edhy yang mengejutkan ini.
Pertama, itu mungkin adalah PDIP. Selaku partai yang ingin mengusung kadernya di Pilpres 2024, PDIP jelas tidak ingin ada pihak lain yang memperkecil peluangnya berkuasa lagi. Popularitas Prabowo saat ini jelas menjadi ancaman tersendiri. Oleh karenanya, perlu ada fenomena politik yang dapat menurunkan elektabilitas Partai Gerindra.
Kedua, bisa jadi adalah Golkar. Alasannya sama, karena Airlangga Hartarto juga digadang-gadang akan maju di Pilpres mendatang.
Ketiga, ada kemungkinkan untuk menyebutkan Istana. Ini misalnya diungkapkan oleh Rocky Gerung yang menyebutkan penangkapan Edhy sebagai sinyal bahwa Istana tidak lagi membutuhkan Prabowo.
Keempat, ini mungkin hanya kesialan politik semata. Artinya, di luar berbagai analisis yang mencoba mengungkap siapa pihak yang bermain di balik penangkapan Edhy, mungkin saja ini hanyalah kesialan bagi Gerindra karena menterinya justru tergiur melakukan korupsi.
Pada akhirnya, tentu kita paham, sekelumit analisis yang ada hanyalah asumsi atau deduksi semata. Tidak ada yang benar-benar mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Saat ini kita hanya bisa mengapresiasi KPK karena telah berhasil mengungkap kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat Istana. Bravo Novel Baswedan dan tim. (R53)