Site icon PinterPolitik.com

Economics of Stupidity Ala Prabowo

The Economis of Stupidity ala Prabowo

Prabowo saat Rakernas LDII (Foto: Sindonews)

Ungkapan ‘ekonomi kebodohan’ hanya sebatas metafora politik tanpa memberikan alternatif yang benar-benar baru.


Pinterpolitik.com 

[dropcap]A[/dropcap]da yang menarik ketika Prabowo Subianto memberikan ceramah pada Rakernas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) beberapa waktu lalu.

Prabowo mengatakan bahwa sistem perekonomian yang diterapkan Indonesia saat ini lebih parah dari ekonomi ala liberal. Dia menyebut saat ini Indonesia menganut economics of stupidity atau ekonomi kebodohan.

Ada beberapa indikator yang digunakan Prabowo untuk menggambarkan ekonomi kebodohan tersebut.

The economics stupidity mewarnai kampanye politik di Indonesia, hal yang pernah dilakukan oleh Bill Clinton 26 tahun lalu. Share on X

Konsep ini sebetulnya pernah terkenal 26 tahun lalu. Ketika itu, mantan Presiden Bill Clinton menggunakan kalimat “it’s economy, stupid!” pada saat kampanye politiknya di tahun 1992. Kala itu Clinton melawan George H. W. Bush.

Dalam ukuran tertentu, kampanye Clinton tersebut berhasil mengantarkannya pada kursi presiden ke-42 Amerika Serikat.

Lantas, bagaimana dengan kampanye Prabowo? Apakah frasa yang digunakannya bisa sekuat Bill Clinton, membawanya pada kemenangan? Atau kalimat tersebut hanya sebatas metafora politik belaka?

Prabowo Kenapa?

Kritikan Prabowo tentang ekonomi memang bukan sekali dua kali dilontarkan. Publik sudah mafhum bahwa Prabowo senang menggunakan ekonomi sebagai “peluru” politik.

Masih ingat dengan ucapan “bocor-bocor” tahun 2014 lalu? Atau penjajahan oleh Tenaga Kerja Asing? Serta sederet persoalan ekonomi lainnya yang disampaikan oleh Prabowo.

Kritik itu kembali muncul pada gelaran Pilpres 2019. Sedikit lebih dimodifikasi, kali ini Prabowo menggunakan istilah the economics of stupidity atau ekonomi kebodohan.

Hal itu untuk menggambarkan kondisi perekonomian nasional yang menurutnya salah kelola sehingga mengalami keterpurukan.

Ada beberapa indikator menurut Prabowo mengapa hal itu bisa terjadi. Yang pertama karena Indonesia menganut sistem neoliberalisme – bahkan lebih parah dari itu –  seperti Amerika Serikat.

Kemudian, menurut Prabowo, sejak 1997 hingga 2014, kekayaan Indonesia yang hilang atau dinikmati oleh pihak asing mencapai 300 miliar dollar Amerika Serikat.
dengan demikian, Indoneisa hanya memiliki sedikit cadangan kekayaan nasional.

Ia juga mengkritik produksi sumber daya alam yang dikuasai oleh sektor swasta dan sebagian besar tidak dinikmati oleh masyarakat. Hal tersebut menjadi ironi karena tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 dimana perekonomian dikuasai negara untuk kepentingan hajat hidup orang banyak.

Indikator lain yang menjadi perhatian adalah tingkat ketimpangan masyarakat Indonesia. Prabowo mengatakan, gini ratio indonesia sekarang berada di angka 45,4. Artinya, menurut Prabowo, 1 persen rakyat Indonesia menguasai 45 persen kekayaan nasional.

Kemudian ia mengutip data lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terkait persentase kepemilikan tanah. Prabowo menyebutkan, 1 persen masyarat menguasai 82 persen luas tanah di Indonesia.

Prabowo menyampaikan hal itu dengan dramatis, seolah terjadi sesuatu yang sangat menghebohkan dalam koridor ekonomi. Menurut Kenneth Burke, dalam studi komunikasi politik dramatisme memang dipandang penting, sebab dramatisme menaruh perhatian pada sumber-sumber, keterbatasan-keterbatasan, dan paradoks-paradoks terhadap penggunaan simbol tertentu terutama dalam hubungannya dengan motif-motif yang ingin disampaikan.

Hal ini menarik, sebab, melalui isu ekonomi Prabowo memiliki kans cukup besar untuk menyerang kubu Jokowi. Dengan bumbu sedikit dramatis, diharapkan Prabowo mendapat simpati lebih dari publik.

Sementara itu, jika merujuk pada tulisan Joseph Stiglitz dalam The Politics of Economics Stupidity menyoroti pada laku dari aktor-aktor politik yang menciptakan kondisi ekonomi menjadi jeblok.

Stiglitz mengomentari pada stagnasi ekonomi global pada tahun 2014. Menurutnya, tata kelola kebijakan ekonomi menyebabkan stagnasi tersebut. Misalnya seperti kebijakan austerity atau penghematan oleh Uni Eropa dan AS.

Kurang lebih, tidak adanya kemauan politik dari pengambil kebijakan mempengaruhi hasil ekonomi secara umum.

Dalam konteks Indonesia, Pernyataan Prabowo soal the economics of stupidity mengacu pada pengambil keputusan ekonomi yang salah. Sehingga timbul seperti yang disebutkan Prabowo di atas.

Lantas, apa yang bisa ditawarkan oleh Prabowo? Jika melihat pada paket 36 program yang disusun dalam bidang ekonomi tim Prabowo-Sandi, mayoritas yang dibahas adalah soal kebocoran ekonomi hingga pembangunan infrastruktur.

Dari 36 program tersebut, nampak masih berada pada tataran normatif dan tidak ada yang benar-benar baru dan berbeda dari program yang sudah dilakukan oleh Jokowi.

Pernah Dilakukan Bill Clinton

Frasa tentang ekonomi dan kebodohan pernah digunakan oleh Bill Clinton saat menghadapi George H. W. Bush pada kampanye Pilpres tahun 1992.

Dalam koran The New York Times yang terbit pada tahun 1992, Michael Kelly menulis bahwa isu ekonomi tersebut digunakan karena saat itu dinilai survei elektabilitas Bush telah menyaingi Clinton.

Kemudian kubu Clinton membuka isu baru, yakni ekonomi dalam forum-forum kampanye. Apalagi waktu itu resesi melanda, tepatnya mulai tahun 1991.

Kala itu, James Carville, kepala tim penasihat kampanye Clinton memasang sebuah spanduk di “war room” mereka di Little Rock, Arkansas. Tulisannya, “The Economy, Stupid!”. Kurang lebih terjemahan bebas sopannya kira-kira, “Ini semua soal ekonomi, Bung!”.

Dalam buku Presidential Campaigns, Paul Boller mengatakan bahwa Clinton menyasar problem-problem ekonomi yang indikatornya lemah, dan menjanjikan reformasi beberapa bidang seperti sistem kesehatan nasional. Isu ini konsisten diangkat dan dieksploitasi oleh Clinton. Pesannya sangat jelas dan terukur.

Sementara petahana, Bush, tidak mengambil isu ekonomi sebagai soal serius. Sebaliknya, ia banyak berkutat di topik kebijakan luar negeri ketimbang dalam negeri. Ia membanggakan latar belakangnya yang populer seperti dalam Perang Teluk.

Banyak pihak menganggap, Bush telat menginjak gas kampanye. Untuk menyeimbangkannya, Bush dan tim kampanyenya menyerang isu moral dan perselingkuhan Clinton. Bahkan di hari terakhir kampanye, ia menyebut Clinton dan Al Gore sebagai “bozos” atau orang bodoh.

Hasilnya, banyak pemilih secara mengejutkan berbalik mendukung Clinton. Apalagi setelah Clinton berani tampil di program 60 Minutes, CBS TV Network. Di sana Clinton tampil bersama Hillary, mengaku bahwa rumah tangga mereka mengalami masa sulit, tetapi menegaskan bahwa mereka saling mendukung.

Banyak pemilih mengatakan, mereka merasa Clinton mengalami pembunuhan karakter oleh rivalnya Partai Republik. Mereka lebih tertarik dengan isu bagaimana ekonomi dalam negeri pulih kembali. Mereka setuju dengan prioritas Clinton: ini soal ekonomi, bung.

Pada akhirnya, Clinton menang 43%. Bush hanya meraih 38%, sementara calon independen Ros Perot meraih 19%.

Ada perbedaan dari konteks Clinton dan Prabowo. Meski memiliki peluang yang sama besar melalui isu ekonomi, namun nampaknya hal itu tidak bisa dimanfaatkan oleh Prabowo. Padahal, Indonesia bisa dikatakan saat ini tengah dalam pertanyaan apakah akan masuk fase krisis akibat terpuruknya nilai mata uang rupiah terhadap dolar AS.

Selain itu, defisit neraca perdagangan Indonesia disinyalir menjadi beban utama ekonomi kian merosot. Sayangnya, Prabowo tidak mampu memanfaatkan isu ini dengan baik. Tudingan terus digulirkan tanpa adanya kampanye konkret.

Sebatas Metafora?

Yang perlu diperhatikan atas kritik Prabowo terkait kondisi ekonomi adalah bagaimana Prabowo memberikan alternatif dari kondisi ekonomi yang ada. Sejauh ini, tanggapan Prabowo masih hanya seputar kritikan, belum ada solusi yang konkret.

Sementara jika melihat 36 program aksi bidang ekonomi Prabowo-Sandi, masih terkesan normatif dan tidak ada yang benar-benar baru.

Selain itu, konsep ekonomi yang terpacak pada visi misi Empat Pilar Mensejahterakan Indonesia tidak secara konsisten disampaikan kepada masyarakat. Alih-alih Prabowo hanya melontarkan kritik dengan tendensi negatif kepada kubu Jokowi.

Melihat kondisi di atas, bisa jadi metafora yang digunakan oleh Prabowo tidak memiliki dampak yang signifikan. Sebab upaya untuk menyerang dari sektor ekonomi tidak dibarengi dengan program yang riil dan konkret oleh kubu Prabowo.

Padahal, menurut Stiglitz, economics of stupidity memiliki kaitan erat dengan peran aktor politik. Jika Prabowo tidak memunculkan program yang lebih riil, bisa saja ia akan terjerembab ke jurang ekonomi yang serupa.

Selain itu, dilihat dari penyampaian metafora itu sendiri. Publik cenderung melihat hanya sebatas ungkapan-ungkapan yang menakutkan. Terlebih, distinctive advantage atau keunggulan distingtif dengan model orasi dan pidato yang disampaikan Prabowo malah terkesan marah, tak ramah, serta hanya sisi negatif lawan saja yang dibicarakan.

Bisa saja metafora the economics of stupidity hanya menimbulkan drama politik yang tidak memiliki pengaruh signifikan ditengah-tengah masyarakat. Boleh jadi, Prabowo perlu menemukan formula ekonomi mutakhir agar hal itu tidak hanya menjadi metafora belaka. (A37)

Exit mobile version