Setya Novanto sudah jungkir balik sepanjang 2017, ujungnya dia harus berhadapan juga dengan pengadilan Tipikor. Apakah kesimpulan dari korupsi e-KTP nanti akan menjadi akhir dari korupsi besar-besaran di Indonesia?
PinterPolitik.com
Korupsi e-KTP telah menguras perhatian hingga emosi masyarakat selama satu tahun terakhir. Mulai dari diada-adakannya Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK, Novel Baswedan yang diserang dengan air keras, hingga Setya Novanto (Setnov) yang menabrak tiang, semuanya menjadi suguhan politik yang asyik bagi publik. Benar kata Frank Zappa, politics is entertainment branch of industry.
Tapi tak hanya menghibur, drama e-KTP juga menunjukkan sisi suram perilaku para pejabat yang tega merugikan negara dan masyarakat sampai Rp 2,3 triliun. Angka yang terbilang fantastis, ditambah dengan persepsi negatif publik akan DPR, menjadikan publik semakin sadar akan korupsi. Dampaknya, menurut hasil survei SMRC, masyarakat amat yakin kalau DPR adalah lembaga terkorup dan berperan besar dalam kasus korupsi e-KTP.
Survei SMRC: Mayoritas Publik Yakin DPR dan Pejabat Pemerintah Terlibat Korupsi E-KTP https://t.co/JyicUoppo3
— Kompas.com (@kompascom) June 15, 2017
Berbeda dengan kasus-kasus korupsi lainnya di Indonesia, e-KTP adalah kasus yang paling disorot. Ketika banyak kasus-kasus lain di-peti es-kan dan dilupakan, kasus e-KTP terus dikejar tanpa ampun oleh KPK. Ditambah lagi, pemberitaan di media arus utama hingga media sosial, semakin menyentuh publik secara langsung dan membangkitkan kesadaran akan korupsi secara instan di semua kalangan masyarakat.
Bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran antikorupsi di tengah masyarakat, akankah kasus e-KTP akan menjadi titik tolak bagi Indonesia yang lebih bersih dari korupsi?
Skandal Besar, Perhatian Besar
Sangat wajar jika skandal korupsi besar menimbulkan perhatian yang besar dari publik. Sebab di sana ada uang rakyat yang dimakan dan pemakannya dipertontonkan pada publik, sehingga ujungnya diharapkan akan ada perbaikan dan peningkatan efektivitas penegakkan antikorupsi.
Negara seperti Georgia telah mengalaminya. Sebagai bekas negara bagian Uni Soviet, Georgia yang melepaskan diri dan merdeka sebagai negara mandiri, sempat mengalami instabilitas di bawah presiden barunya, Eduard Shevardnadze.
Namun Shevardnadze dinilai terlalu dekat dan diperkaya secara ilegal oleh Amerika Serikat. Ujungnya, publik yang selama sepuluh tahun dikuasai Shevardnadze melalui Revolusi Bunga pun merombak dan memperbaiki pemerintahan dengan sistem antikorupsi. Hingga kini, negara tersebut bahkan mendapat pujian dari Bank Dunia.
Begitu juga dengan Singapura. Di tengah sistem politik yang didominasi satu partai, yaitu People’s Action Party (PAP), korupsi dijalankan oleh para birokrat non-partai di bawah ketiak Lee Kuan Yew, sejak awal merdeka pada 1952. Namun kemudian negara ini membentuk sebuah komisi antirasuah, dan berhasil membawa Singapura menjadi salah satu negara paling bersih dari korupsi menurut Transparency International.
Negara-kota Hong Kong juga dapat dijadikan contoh. Sejak mendapat otonomi pemerintahan dari Republik Rakyat Tiongkok, Hong Kong selalu menjadi contoh bagi Tiongkok dalam menjalankan pemerintahan yang bersih. Konglomerasi jahat antara pebisnis dengan pemerintah yang merajalela di awal 1970-an, dapat dihapus melalui pembentukan Komisi Independen Anti Korupsi pada 1974. Lembaga ini terus menunjukkan kinerja yang baik sampai sekarang.
Di samping tiga negara tersebut, ada pula negara yang tengah menghadapi transisi menuju pemerintahan lebih bersih, seperti Rwanda dan Brazil. Korupsi besar-besaran atas impor senjata di Rwanda dan korupsi-suap-cuci uang berjamaah bertajuk Operation Car Wash di Brazil, menjadi titik balik bagi kedua negara tersebut dalam komitmennya untuk memberantas korupsi di masa depan.
Bagaimana dengan Indonesia? Bisa jadi negara kita juga tengah menghadapi fase yang sama dengan Rwanda dan Brazil. Melalui kasus korupsi e-KTP, terlihat bagaimana bobroknya proses politik di DPR dan Kementerian. Contohnya, dari sistem pengadaan barang secara keseluruhan yang tercermin dari bancakan e-KTP ini. Apalagi kasusnya juga tak hanya diberitakan di Indonesia saja, tapi juga di media-media internasional.
Di sisi lain, Indonesia juga punya lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mampu menekan DPR dan partai politik, yaitu Indonesia Corruption Watch (ICW). Tahun ini, kiprah ICW terlihat cukup aktif. ICW juga amat mengapresiasi KPK karena sukses menangkap Si Belut, Setnov. LSM ini sepertinya mampu mewakili suara publik yang gemas dengan perilaku politisi dan turut berjuang bersama penyidik KPK untuk menangkap para pelakunya.
Bagi publik Indonesia, sorotan pada kasus e-KTP tak hanya akibat maraknya pemberitaan. Tapi juga karena banyak masyarakat yang terpaksa belum mendapat e-KTP akibat kasus ini. Pengalaman emosional-personal inilah yang juga dapat menjadi energi kolektif untuk mendukung semangat antikorupsi KPK ke depan.
Korupsi yang merajalela dan menimbulkan kerugian masyarakat secara langsung, pada akhirnya menjadi tekanan bagi pemerintah dan KPK untuk bekerja lebih efektif. Belajar dari pengalaman ketiga negara di atas, memperlihatkan kalau Indonesia kemungkinan tengah menuju ke arah masyarakat yang sadar korupsi.
Namun, saat ini kasus e-KTP belum mencapai konklusinya. Rakyat masih menunggu ke mana arah drama ini bergulir. Apakah Setnov akan buka suara, Nazarudin akan meneruskan ‘nyanyiannya’, atau sejumlah politisi yang namanya akan benar-benar hilang. Publik masih akan dipertontonkan atraksi hukum-politik untuk beberapa waktu ke depan.
Selepas ini semua, dapat diprediksi akan ada lonjakan besar kesadaran publik akan kasus korupsi. Efek malu dan jera yang menimpa Setnov akibat ditertawai oleh seluruh masyarakat Indonesia, pun bisa menjadi sinyal bagi pejabat lain agar tidak berperilaku yang sama. Sebab mata publik akan terus tertuju pada kinerja KPK dan semakin awas terhadap tindakan korupsi para pejabat negara.
Korupsi Masa Lalu dan Akan Datang
Memang masih banyak skandal korupsi lain yang merugikan negara dengan jumlah lebih besar dari e-KTP, dan berujung untuk di-peti es-kan. Tapi, bak mesin dengan pasokan energi tanpa batas, KPK sepertinya masih ingin mengobrak-abrik berkas lama dan mengembalikannya ke muka publik, seperti kasus BLBI dan Bank Century.
Hanya ada satu kalimat yang bisa menjelaskan keterhambatan KPK, yaitu adanya tekanan politik untuk tidak menyentuh kasus lama lagi. Kasus-kasus yang melibatkan orang-orang (atau yang terkait) di dalam kekuasaan, akan semakin menyulitkan KPK bekerja. Misalnya, kasus Bank Century yang sempat dinyatakan tutup buku secara sepihak oleh seorang politisi Komisi III DPR, sekitar satu tahun yang lalu.
Belum lagi, kasus-kasus tersangka yang kabur ke luar negeri atau yang tak pernah sempat diperiksa namun sudah terlanjut kabur. KPK harus memiliki sinergi yang amat kuat dengan pemerintah, seperti ketika berhasil membawa pulang buron BLBI Samadikun Hartono, April 2016.
Korupsi di masa lalu memang akan menjadi tugas berat bila ingin kembali dibongkar oleh KPK, sama halnya seperti pelanggaran HAM berat di masa lalu. Orang-orang besar yang mendalanginya akan terus berusaha menahan derap kaki pemerintah untuk menyelesaikan sampai ke akarnya.
Sedikit gelap saat menengok ke belakang, setidaknya publik dapat berharap tidak ada lagi korupsi berjamaah di proyek besar negara pada masa depan. Adanya proyek sebesar 5,9 triliun seperti e-KTP pada 2010 lalu yang tak diawasi dengan seksama, telah membuat KPK dan negara kecolongan. Ke depan, dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dan diperkuatnya KPK, kasus-kasus serupa akan dapat semakin ditekan jumlahnya.
Bila korupsi high profile dapat semakin ditekan, gejala korupsi selanjutnya bisa jadi hanya korupsi-korupsi kecil yang melibatkan para politisi di tingkat bupati dan walikota. Sama halnya dengan yang terjadi saat ini, di mana KPK sudah mulai ‘turun’ ke daerah-daerah, melakukan desentralisasi, dan mengembangkan taringnya untuk melawan gurita korupsi di daerah.
Mungkin ke depannya akan ada perombakan sistem di KPK, misalnya dengan pembentukan dewan anti korupsi di internal lembaga negara lain yang juga sudah mulai dilakukan. Seiring berjalan waktu, masyarakat pun akan semakin responsif dengan tindakan korupsi dan dalam prosesnya, dapat timbul pula budaya antikorupsi yang semakin matang.
Bolehkah Kita Optimis?
Masyarakat tentu memiliki harapan agar pemerintahan yang mereka amanatkan dapat bekerja dengan transparan dan profesional. Namun korupsi sejauh ini tak hanya masalah institusional, tetapi juga masalah kultural. Masih banyak masyarakat yang mengecam korupsi pejabat tapi ikut berperilaku korup, seperti yang diperlihatkan oleh survei BPS.
Namun, korupsi e-KTP bisa menjadi batu lonjakan semangat antikorupsi. Optimisme masyarakat bisa bangkit untuk turut menciptakan pemerintahan yang bersih. Sehingga, tak hanya pendukung Ahok saja yang suka koar-koar antikorupsi—karena jagoannya bersih dari korupsi—tapi seluruh masyarakat Indonesia. Terlepas dari polarisasi politik, antikorupsi tengah dan akan semakin menjadi semangat bersama masyarakat.
Optimisme boleh saja, tapi juga harus dilakukan melalui peran aktif masyarakat, misalnya dengan memahami proses politik dan mengawasinya secara cermat. Melalui edukasi politik yang baik, masyarakat tak hanya bisa mengawasi para pejabat, namun juga semakin sadar betapa merusaknya korupsi bila dibudayakan. (R17)