Kisruh mengenai RAPBD DKI Jakarta belakangan ini seolah kembali memunculkan rivalitas antara Ahok dan Anies. Publik kemudian banyak memperbandingkan kinerja keduanya dalam hal pengelolaan anggaran dan birokrasi. Sistem penganggaran itu sendiri seolah memiliki “dua mata pisau”, yang dapat dilihat dari bagaimana kedua Gubernur DKI tersebut mengelolanya
PinterPolitik.com
Belakangan ini Rancangan Anggaran Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta 2020 menjadi sorotan publik terkait banyaknya anggaran tidak lazim yang dipublikasikan di laman apbd.jakarta.go.id. Tidak main-main sebut saja anggaran pengadaan lem senilai Rp 82,8 miliar dan bolpoin yang mencapai Rp 123 miliar.
Penganggaran tersebut memunculkan spekulasi dari banyak pihak tentang adanya “permainan” anggaran yang dilakukan oleh pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Bagaimana tidak, sistem e-budgeting yang digunakan harusnya tidak memungkinkan adanya sistem penganggaran yang begitu fantastis tersebut.
Sistem e-budgeting sebagai salah satu mekanisme e-government yang telah digunakan oleh Pemprov DKI Jakarta sejak 2015, seyogyanya membuat mekanisme perencanaan dan eksekusi anggaran di DKI Jakarta menjadi lebih transparan, partisipatif dan akuntabel.
Namun faktanya kasus ini kembali memunculkan pertanyaan publik terkait efektivitas dan sistem yang ada. Apakah memang sistem yang ada tidak mampu bekerja secara maksimal atau justru aparat pemerintahnya-lah yang tidak mampu menjalankan sistem ini secara baik.
Tudingan Anies terkait kelemahan sistem e-budgeting yang dinilainya merupakan kesalahan warisan dari periode sebelumnya memancing tanggapan sinis dari Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Lantas bagaimana sebenarnya bagaimanakah sistem ini harusnya berjalan? Lalu bagaimana kedua Gubernur tersebut memanfaatkan sistem tersebut dalam kepentingan politik masing-masing ?
Saling Tuding Anies-Ahok terkait E-budgeting
Kisruh mengenai RAPBD DKI Jakarta 2020 ini setidaknya menunjukan adanya ketidakberesan terkait sistem birokrasi dan kordinasi di internal Pemprov DKI Jakarta. Hal ini ditunjukan dengan adanya sikap “saling lempar” dan ketidaksinkronan pernyataan antar pejabat yang berwenang terkait hal ini.
Misalnya, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Syaefuloh Hidayat mengatakan anggaran pembelian lem senilai Rp. 82,8 Miliar tidaklah ada. Berbeda dengan pernyataan sebelumnya, Sekretaris Dinas Pendidikan DKI Jakarta Susi Nurhati menyebut penganggaran lem tersebut merupakan salah ketik. Hingga pada akhirnya Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pendidikan Jakarta Barat mengakui adanya perilaku asal input yang dilakukan terkait anggaran tersebut dengan alasan akan ada perbaikan.
Dengan waktu yang demakin sempit, seharusnya Pemprov membuka ke publik, agar publik bisa memberikan masukan. Jangan takut jika memang tidak ada yang disembunyikan. Terima kasih, selamat malam. @fpdip_jakarta
Namun kemudian pernyataan Anies seolah “mementahkan” pernyataan-pernyataan bawahannya yang telah dilontarkan sebelumnya. Anies mengatakan permasalahan nya ada pada sistem e-budgeting DKI Jakarta yang dinilainya tidaklah smart.
Tudingan Anies yang menyalahkan sistem e-budgeting tersebut dinilai banyak pihak sebagai upaya mengalihkan perhatian dari adanya kesalahan koordinasi di Pemprov DKI Jakarta. Pernyataan Anies ini juga menarik untuk dilihat, mengapa pemimpin DKI ini baru “menyalahkan” sistem ini setelah tiga tahun digunakan oleh pemerintahanya.
Hal diatas diperkuat Ahok dengan pernyataan satir nya yang mengatakan sistem e-budgeting akan berjalan baik jika tidak ada niat melakukan korupsi. Pernyataan Djarot Syaiful Hidayat juga seolah semakin menyudutkan Pemprov DKI. Djarot mengatakan jika yang salah ialah manusianya bukan sistem.
Perbandingan E-budgeting di Seoul dan Jakarta
Ibu kota kita bisa dibilang ketinggalan terkait implementasi sistem e-budgeting dalam pemerintahan. Kota-kota besar lain seperti Bangalore dan Kerala di India misalnya telah mengembangkan sistem ini sejak 2006. Sementara itu, Seoul, Korea Selatan telah mengembangkan sistem ini sejak awal 1990-an.
Sama hal nya dengan yang ada di Jakarta, sistem e-budgeting di Seoul atau dikenal dengan Participatory Budget System (PBS) bertujuan untuk menciptakan partisipasi publik, transparansi dan akuntabilitas dalam penganggaran barang publik.
Namun tidak seperti Jakarta yang partisipasi publik masih terbatas pada pengawasan dan aspirasi terbatas, Seoul secara aktif telah menciptakan sistem yang memungkinkan masyarakatnya untuk melakukan voting terhadap berbagai anggaran publik. Pada 2017 total partisipasi publik dalam PBS di Seoul mencapai 116.943 orang.
Berkaca dari sistem yang ada di Seoul. Salah satu penunjang keberhasilan dari sistem tersebut ialah tingginya partisipasi masyarakat baik berupa aspirasi maupun kritik. Melihat realitas yang ada di Jakarta saat ini tampaknya hal tersebut masih jauh.
Pernyataan Gubernur Anies yang kerap menyayangkan “diviralkan” kan nya kesalahan ini dan seolah “menangkis” berbagai kritikan publik menunjukan masih “dibatasi”-nya keterlibatan publik akan hal ini. Selain itu diskursus yang muncul di masyarakat akan hal ini tentu merupakan konsekuensi yang muncul dari iklim demokrasi digital yang tidak bisa dihindarkan oleh pemerintah.
Beda Ahok, Anies Kelola E-budgeting
Perseteruan kedua Gubernur DKI Jakarta beda periode tersebut menimbulkan tanda tanya publik mengenai bagaimana harusnya pengelolaan sistem tersebut berjalan. Teresa M. Harrison dalam tulisannya yang berjudul Open Government and E-Government: Democratic Challenges from a Public Value Perspective melihat setidaknya terdapat tiga aspek penting dalam sistem pengelolaan e-budgeting diantaranya transparansi, partisipasi dan kolaborasi.
Tidak diunggahnya Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) ke dalam situs APBD DKI Jakarta menunjukan adanya penurunan tingkat transparansi dan pembatasan partisipasi publik. Padahal, KUA-PPAS merupakan sistem yang memungkinkan publik dapat melihat dan memperbandingkan anggaran yang dianggarkan dengan realisasi anggaran.
Sementara itu, Michael J Ahn melihat e-government harusnya dapat menjadi kontrol politik politisi (kepala daerah terpilih) terhadap kelompok birokrasi. Permasalahan ini bisa jadi menunjukkan kegagalan Anies dalam mengawasi dan mengontrol para birokrat di Pemprov DKI Jakarta.
Sementara itu terdapat hal menarik yang diungkapkan Ahn. Sistem e-government juga dapat menjadi “alat” politik kepala daerah (politisi) untuk meraih insentif politik. Sistem ini dapat digunakan untuk meraih dukungan publik, peningkatan citra politik serta alat kontrol atas lawan politik dan kelompok birokrat. Hal tersebut dapat tercipta ketika politisi mampu mengelola sistem ini dengan baik. Sebaliknya ketika pengelolaan nya “berantakan” justru akan menjadi boomerang.
Pernyataan Ahn tersebut dapat diuji pada kasus Ahok dan Anies. Bagaimana keduanya mengelola dan “memanfaatkan” sistem ini secara politis.
Dalam kasus Ahok, sistem e-budgeting yang ada mampu diekstraksi menjadi kekuatan politiknya. Tidak dipungkiri salah satu penunjang citra positif Ahok di publik ialah dari upaya menciptakan iklim pemerintahan yang transparan melalui sistem ini. Sistem ini juga menjadi senjata Ahok dalam menangani permasalahan politik yang menimpanya. Misalnya pada tahun 2015 disaat Ahok berkonflik dengan DPRD DKI Jakarta perihal isu anggaran siluman DPRD DKI.
Sementara itu, sistem ini seolah menjadi bumerang bagi Anies. Alih-alih menciptakan leverage politik seperti yang dikemukakan Ahn, permasalahan dalam sistem ini menunjukan inkapabilitas dan memperkuat skeptisme publik atas pemerintah DKI Jakarta. Konflik antara Anies dan DPRD DKI Jakarta juga banyak dipicu pada persoalan penganggaran yang banyak ditemukan masalah Misalnya pada kasus penolakan laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta pada tahun 2017.
Sistem e-budgeting harusnya mampu menciptakan ruang pastispasi publik yang besar serta akuntabilitas dalam pemerintahan. Share on XBukanlah hal yang tabu bagi masyarakat untuk kemudian memperbandingkan kinerja pejabat publik. Terlebih lagi, dalam permasalahan ini khususnya menyangkut hal vital yaitu menyangkut uang rakyat.
Dalam menyikapi permasalahan seperti ini Ahok memang cenderung akan langsung “menembak” bawahannya di muka publik sementara Anies lebih akomodatif. Namun hal tersebut tentu hanyalah permasalahan gaya kepemimpinan saja. Esensi dari kekisruhan ini bisa jadi menunjukan bagaimana pemerintah DKI Jakarta saat ini belum optimal dalam pengelolaan pemerintahan dan pemanfaatan sumber daya publik. (Y55)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.