Banyaknya perwira TNI yang menganggur memang menjadi persoalan, tetapi apakah memberi jabatan di Kementerian atau Lembaga adalah solusi yang tepat?
Pinterpolitik.com
[dropcap]R[/dropcap]uang jabatan untuk perwira TNI memang kerap dianggap sebagai persoalan. Banyak yang menyoroti bahwa perwira-perwira menengah dan tinggi TNI banyak yang menganggur atau dalam kondisi non-job. Untuk mengatasi hal tersebut, rencana restrukturisasi TNI dianggap sebagai hal yang mendesak.
Dalam pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan perwira-perwira TNI, masalah ini menjadi salah satu yang dibahas. Figur yang kini tengah melaju di Pilpres 2019 itu kemudian menyatakan bahwa akan ada ruang jabatan baru untuk perwira-perwira TNI tersebut.
Beberapa waktu berselang, Panglima TNI Hadi Tjahjanto turut buka suara terkait rencana restrukturisasi dan pemberian ruang jabatan tersebut. Tak hanya berbicara tentang restrukturisasi internal TNI, mantan KSAU tersebut menyebut bahwa ada rencana untuk menempatkan perwira-perwira TNI di Kementerian dan Lembaga.
Di satu sisi, memberikan ruang-ruang jabatan baru untuk perwira TNI yang menganggur boleh jadi adalah hal yang penting. Akan tetapi, di sisi yang lain, memberikan porsi lebih kepada TNI untuk jabatan sipil di Kementerian dan Lembaga berpotensi menimbulkan riak dari masyarakat sipil pro demokrasi. Lalu, ada apa di balik rencana pemberian ruang jabatan kepada TNI tersebut?
Mempererat Hubungan
Jika diperhatikan, belakangan Jokowi tengah melakukan upaya untuk mendekatkan dirinya dengan kalangan prajurit tanah air. Jelang Pilpres 2019, ada beragam kebijakan yang memberikan keuntungan khusus bagi kalangan militer Indonesia.
Jokowi misalnya sudah menaikkan penghasilan bagi serdadu tanah air. Beberapa waktu lalu, gaji TNI beserta PNS dan Polri sudah dipastikan naik dalam APBN 2019. Tak hanya itu, mantan Wali Kota Solo itu juga menjanjikan kenaikan tunjangan kepada Bintara Pembina Desa (Babinsa) di tahun 2019.
Hal itu kemudian ditambah dengan mengadakan pertemuan dengan perwira-perwira tinggi serta mantan petinggi TNI/Polri seperti sudah disebutkan sebelumnya. Kalangan elite militer seperti mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo hingga Try Sutrisno menjadi tokoh-tokoh yang hadir di pertemuan tersebut.
Wacana Panglima TNI utk menempatkan perwira aktif TNI dlm jabatan kementerian adalah langkah mundur. Itu artinya kita kembali lg menghidupkan praktik dwi-fungsi ala rejim otoriter Orde Baru. Karena itu usulan tsb harus kita tolak.https://t.co/2pGrsleM9c
— Syamsuddin Haris (@sy_haris) January 31, 2019
Pertemuan itu ternyata tidak hanya sekadar perjamuan antara presiden dengan golongan-golongan elite militer Indonesia. Jokowi mengemukakan rencana restrukturisasi yang disebutkan di atas pasca bertemu dengan elite-elite militer ini.
Panglima TNI Hadi Tjahjanto melanjutkan wacana tersebut dengan membuka rencana tentang pemberian jabatan kepada TNI di Kementerian dan Lembaga. Meski begitu, rencana untuk memberikan jabatan kepada perwira TNI ini sebenarnya masih menunggu rencana revisi UU TNI.
Di luar posisi eselon di kementerian, Jokowi sebelumnya juga telah lebih dahulu mengelilingi dirinya dengan jenderal-jenderal elite. Nama-nama seperti Moeldoko atau Agum Gumelar mengisi lingkar kekuasaannya menyusul jenderal lain yang lebih dahulu diikat seperti Luhut Pandjaitan, Wiranto, dan Ryamizard Ryacudu.
Menurut Peter Mumford dari Eurasia Group, kebijakan untuk mendekatkan para jenderal itu mempertegas ikatan Jokowi dengan kalangan militer Indonesia.
Konsolidasi atau penguatan hubungan dengan militer itu menjadi tampak lebih nyata jika melihat langkah Jokowi menunjuk orang-orang yang terafiliasi dengannya di posisi tertinggi angkatan bersenjata tanah air. Mantan Wali Kota Solo itu misalnya menunjuk Hadi Tjahjanto, mantan sekretaris militernya untuk menjadi Panglima TNI.
Peran Non-pertahanan
Penggunaan aparat militer untuk urusan non-pertahanan sebenarnya bukan barang baru. Memang, praktik ini sebenarnya tabu untuk negara yang tengah membangun demokrasi seperti Indonesia. Akan tetapi, berbagai kemewahan seperti jejaring dan mobilitas TNI yang mumpuni membuat para serdadu kerap diberi ruang di luar pertahanan.
Sebelum memberikan ruang jabatan kepada TNI di Kementerian/Lembaga, pemerintahan Jokowi sebenarnya telah terlebih dahulu memberikan jalan kepada para serdadu untuk ikut serta dalam urusan non-pertahanan. Berbagai nota kesepahaman dengan Kementerian/Lembaga menjadi gambaran bagaimana TNI mulai sedikit beraktivitas di luar pertahanan.
Tak hanya itu, Jokowi juga sempat memberikan instruksi kepada Babinsa untuk menangkal hoaks yang ada di masyarakat. Sekilas, hal ini seperti instruksi biasa saja, sampai kemudian ia memberikan contoh hoaks, yaitu tuduhan PKI kepadanya.
We've come full circle. Dwi Fungsi is back. https://t.co/BHJlTxdQC5
— Ahmad Pathoni (@apathoni) January 31, 2019
Instruksi sang presiden kepada TNI tidak berhenti sampa di situ. Jokowi sempat memberikan instruksi kepada perwira TNI dan Polri untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan capaian-capaian pemerintah.
Meluasnya peran militer di era Jokowi memang tergolong membingungkan. Menurut Tom Power, melalui hal-hal tersebut Jokowi seperti tengah menggunakan militer untuk keuntungan politiknya sendiri, terutama jelang Pilpres 2019. Hal ini membuatnya memiliki keuntungan tersendiri jika dibandingkan dengan lawannya yang tak punya banyak jalur ke militer.
Kini, dengan rencana pemberian jatah kepada anggota TNI di Kementerian dan Lembaga, peran-peran non-pertahanan militer tampak menjadi semakin nyata. Memang, ada alasan tentang memberi jabatan kepada perwira menganggur. Akan tetapi, jika merujuk pada pendapat Power, boleh jadi ada keuntungan politik yang bisa diambil jika hal ini benar-benar terjadi. Satu hal yang pasti, Jokowi tampak semakin bisa memperkuat pengaruhnya di militer melalui rencana jabatan tersebut.
Lirikan Semakin Tajam
Dalam kadar tertentu, masuknya TNI ke jabatan-jabatan sipil, mengingatkan orang kepada rezim-rezim otoriter. Secara umum, pemisahan jabatan antara sipil dan militer memang kerap dianggap sebagai prasyarat penting dalam demokrasi. Hal ini diungkapkan misalnya oleh Samuel Huntington melalui profesionalisme militer.
Huntington mengingatkan tentang pentingnya kontrol sipil atas militer. Tak hanya itu, Huntington juga menyebut bahwa militer harus kembali ke barak sebagai prasyarat dari demokrasi liberal. Jika merujuk pada pendapat Huntington ini, maka rencana memberi ruang jabatan di kementerian bertentangan demokrasi.
Secara spesifik, lirikan Jokowi kepada otoritarianisme ini sudah digambarkan oleh Tom Power dalam tulisannya yang berjudul Jokowi’s Authoritarian Turn. Sebagaimana disebut di atas, ia menyoroti bagaimana Jokowi mulai banyak melibatkan militer dalam pemerintahannya sebagai wujud dari lirikannya kepada otoritarianisme.
Rencana untuk memberi ruang jabatan TNI di Kementerian membuka memori tentang dwifungsi ABRI era Orde Baru Share on XBagi sebagian orang, masuknya militer ke urusan ini memutar kembali memori tentang politik yang dijalankan di era Orde Baru. Kala itu, beberapa jabatan sipil memang sempat dijatahkan secara khusus kepada militer. Dwifungsi ABRI, menjadi doktrin yang begitu mengemuka di era tersebut.
Menguatnya peran militer di luar pertahanan itu tergolong ironi bagi pemerintahan Jokowi. Bagaimana tidak, di awal kemunculannya di tahun 2014, ia dianggap membawa harapan bagi demokrasi Indonesia dan tidak akan membawa gaya-gaya otoriter. Nyatanya, seperti yang diungkapkan Power, sang presiden justru mulai sedikit berbelok dan mengadopsi gaya-gaya otoriter.
Hilang sudah gambaran bahwa pemerintahan di bawah pemimpin sipil akan sepenuhnya berjalan tanpa gangguan militer. Sebagai presiden sipil, Jokowi justru memberi ruang kepada militer untuk ikut campur dalam urusan sipil. Wajar saja jika ada orang yang buru-buru khawatir bahwa dwifungsi TNI akan kembali di tangan Jokowi.
Secara spesifik, Jokowi juga kerap dianggap tidak membawa sentimen Orde Baru seperti lawannya, Prabowo Subianto. Akan tetapi, melalui rencana memberi banyak ruang baru bagi TNI di Kementerian, memori tentang pelibatan militer di ranah sipil seperti era Soeharto berpotensi kembali terulang.
Memang hal itu masih sebatas rencana karena revisi UU TNI masih belum jelas kapan akan rampung. Jika benar terjadi, mungkin ada keuntungan politik sang petahana, tetapi tudingan otoriter kepadanya boleh jadi akan semakin tak terbendung. Maka, rencana ini akan menjadi bahasan yang sensitif karena terkait dengan masa depan demokrasi Indonesia. (H33)