Sejauh ini, dengan tingkat kepuasan publik yang tinggi, dukungan politik Presiden Jokowi disebut sangat berpengaruh di Pilpres 2024. Namun, temuan lembaga Australia, Utting Research justru menyebut hanya 18 persen yang ingin melanjutkan secara penuh program pemerintahan Jokowi. Mungkinkah dukungan politik Jokowi terlalu dilebih-lebihkan selama ini?
PinterPolitik.com
“Politics and power is a realm of relative influence.” – Fareed Zakaria
Ada perdebatan tajam terkait berpengaruh tidaknya dukungan politik Presiden Jokowi di Pilpres 2024. Perbedaan ini memiliki alasan yang kuat. Dalam sejarah politik Indonesia, khususnya di sistem politik demokrasi, ini adalah kali pertama Presiden yang sedang berkuasa memberikan dukungan politik ke penerusnya.
Kita tidak melihat ini di Pilpres 2014. Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlihat menarik diri dan memilih tidak memberikan dukungan kepada siapa pun. Dengan kata lain, Pilpres 2024 akan menjadi pengalaman empiris pertama.
Merebut Jokowi Effect
Bagi mereka yang percaya, ini bertolak pada Jokowi Effect, istilah yang tercetus sejak Pemilu 2014. Popularitas Jokowi yang luar biasa dipercaya menjadi pendongkrak suara PDIP.
Pada Pemilu 2009, perolehan suara PDIP sebesar 14.600.091 suara atau 14,03 persen. Sedangkan pada Pemilu 2014, perolehan suara PDIP melejit menjadi 23.681.471 suara atau 18,95 persen.
Pada 12 Juni 2022, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi menyebut ada tiga syarat Jokowi bisa menjadi king maker di Pilpres 2024.
Pertama, berhasil mempertahankan approval rating atau tingkat kepuasan masyarakat yang tinggi. Kedua, presidential threshold (preshold) masih 20 persen. Ketiga, tidak muncul kandidat dominan atau menyamai hingga melebihi popularitas Jokowi.
Tiga syarat yang disebutkan Muhtadi sekiranya terpenuhi. Pertama, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi sangatlah tinggi.
Pada April 2023, Lembaga Survei Indonesia (LSI) bahkan menemukan tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi mencapai 82 persen. Itu adalah data tertinggi yang ditemukan sejauh ini.
Kedua, preshold masih 20 persen. Dan ketiga, jangankan hadir kandidat yang melebihi popularitas Jokowi, berbagai kandidat potensial justru berebut dukungan politik Jokowi.
Di sisi seberang, Anies Baswedan yang diharapkan menjadi sosok pembaharu justru terlihat stagnan dan terancam kandas maju di 2024. Elektabilitas Anies juga konsisten berada di posisi ketiga di berbagai rilis survei.
Nur Hidayat Sardini dan Dewi Erowati dalam penelitian berjudul “The Coattail-Effect” in the Concurrent Elections in Indonesia: Study on Increasing Turnouts and Use of Voting Rights in the 2019 Elections, sekiranya mengafirmasi Jokowi Effect atau efek ekor jas Jokowi.
Pada Pemilu 2019, dari 428 TPS di 37 kabupaten/kota di 7 provinsi berbeda yang dijadikan objek penelitian, terlihat bahwa partisipasi politik meningkat antara 60 – 70 persen. Dalam temuan Sardini dan Erowati, motivasi masyarakat datang ke TPS adalah untuk merebut kemenangan calon presiden dan wakil presiden yang didukungnya.
Kesadaran itu dipicu oleh anggapan kuat di kalangan pemilih bahwa satu-satunya cara untuk merebut kemenangan calon presiden yang didukungnya dan mencegah saingannya merebut kekuasaan adalah dengan melibatkan diri dalam pencoblosan suara.
Masyarakat Ingin Perubahan?
Sejauh ini, banyak pihak begitu sepakat bahwa dukungan politik Jokowi sangatlah vital. Namun, temuan lembaga yang berbasis di Australia, Utting Research menjadi pembeda yang sangat menarik.
Dalam survei yang dilakukan pada 12-17 Juni 2023, Utting Research menemukan bahwa hanya 18 persen responden yang ingin program pemerintahan Jokowi dilanjutkan secara penuh.
Sebanyak 81 persen lebih mendukung perubahan. 61 persen inginkan keberlanjutan dengan perubahan. Dan sebanyak 20 persen menginginkan perubahan penuh.
Menariknya, sosok bacapres yang disebut-sebut sebagai “Jokowi kedua”, yakni Ganjar Pranowo, justru tidak membantah temuan itu.
“Masa plak-ketiplek gitu? Kan ada yang keliru. Hari ini kritik kepada pemerintah soal penegakan hukum yang belum baik, kan kita dengerin,” ungkap Ganjar pada 29 Juli 2023.
Melihat rilis berbagai lembaga survei, fokus pertanyaan memang selalu berkutat pada aspek keterpilihan atau elektabilitas kandidat. Sekiranya baru Utting Research yang fokus pada persepsi masyarakat soal keberlanjutan program pemerintah Jokowi.
Masalahnya begini, jika temuan Utting Research cukup representatif, maka asumsi Jokowi Effect atau efek ekor jas Jokowi mungkin terlalu dilebih-lebihkan selama ini.
Memang benar Jokowi begitu populer dan disukai, tapi bukan berarti masyarakat menginginkan pancaran sosok yang sama. Itu adalah dua hal yang berbeda.
Masyarakat Sudah Bosan?
Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Benarkah 2024 Asal Jangan PDIP?, telah dijabarkan bahwa sepertinya muncul kebosanan di tengah masyarakat terkait kepemimpinan di bawah PDIP.
Mariusz Finkielsztein dalam tulisannya Between Pain and Pleasure: A Short History of Boredom and Boredology mengatakan kebosanan adalah pengalaman manusia yang universal, namun begitu signifikan.
Terdapat beberapa referensi mengenai asal-muasal kebosanan dan dampak signifikannya bagi peradaban. Salah satunya adalah Revolusi Neolitik, yaitu transisi ke cara hidup menetap dan bercocok tanam.
Sementara itu, penguasa Romawi menganggap kebosanan sebagai ancaman bagi tatanan sosial. Kebosanan berlebihan, utamanya terhadap penguasa dan kehidupan sosial-politik dianggap dapat memantik pemberontakan.
Kebosanan masyarakat terhadap PDIP misalnya dapat dilihat dari banyaknya komentar warganet yang menyebut “asal jangan PDIP” atau “no banteng”. Seperti kata Finkielsztein, mungkin perasaan “bosan” itu sepele, namun itu akan menjadi kekuatan politik yang besar jika terakumulasi.
Sebagaimana disebutkan filsuf Prancis, Gilles Deleuze dan psikoanalisis Prancis, Félix Guattari, hasrat atau gairah manusia adalah sesuatu yang tidak pernah padam, terus mengalir, dan menyala.
Melihatnya lebih dalam, konteks kebosanan terhadap PDIP sebenarnya bertolak pada asumsi bahwa PDIP akan melakukan hal-hal yang tidak jauh berbeda. Dengan kata lain, secara deduktif dapat dikatakan bahwa hasrat masyarakat memang selalu menginginkan perubahan, dan benci atas keadaan statis.
Dengan kata lain, ini sebenarnya bukan soal PDIP ataupun Jokowi, melainkan tuntutan naluriah manusia terkait perubahan kondisi. Terlebih lagi, seperti disebutkan ilmuwan politik Francis Fukuyama, demokrasi modern telah membuat masyarakat terus meningkatkan ekspektasinya terhadap negara.
Singkatnya, dalam konteks Pilpres 2024, apa yang dicari masyarakat sebenarnya bukan sekadar berubah atau berbeda dari pemerintah saat ini. Apa yang dicari adalah harapan perbaikan kehidupan yang dapat dibayangkan. Kita selalu seperti itu. (R53)