Site icon PinterPolitik.com

Dukungan JK Melemah ke Jokowi?

Dukungan JK Melemah ke Jokowi

Foto : Istimewa

Penurunan elektabilitas Jokowi di Sulawesi Selatan menimbulkan pertanyaan terkait endorsement politik Jusuf Kalla. Sebagai true bossism di wilayah timur Indonesia, nampaknya peran ”Daeng Ucu” – demikian nama kecilnya – dan kerajaan bisnisnya masih akan mempengaruhi konteks hasil akhir Pilpres 2019 ini


PinterPolitik.com

[dropcap]M[/dropcap]eskipun sudah lanjut usia, tak ada yang berani meremehkan kedigdayaan Jusuf Kalla (JK) – politisi kawakan juga pebisnis pemilik Kalla Group yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.

Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini juga diprediksi masih menjadi pemain kunci bagi konstelasi Pilpres 2019. Benarkah demikian?

JK, The true bossism Share on X

Sempat menyatakan dukungan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) – pasangannya pada Pilpres 2014 lalu – yang kini maju lagi, dukungan politik JK mulai diragukan.

Pasalnya, dalam tulisan Dedi Dinarto, peneliti Rajaratnam School of International StudiesSurvei yang dirilis Celebes Research Center (CRC) memang menyatakan bahwa elektabilitas Jokowi unggul tipis dengan perolehan 46 persen dibanding penantangnya, Prabowo Subianto yang hanya memperoleh 41 persen.

Hasil tersebut cukup mengejutkan karena pada Pilpres 2014 lalu, Jokowi memperoleh 71 persen suara  di wilayah tersebut.

Pasalnya, Sulsel merupakan provinsi paling penting di seluruh Sulawesi dan salah satu provinsi dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia timur dengan 6.022.987 orang dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Dedi juga menyebutkan setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, menurunnya dukungan politik JK di tanah Celebes. Kedua, meningkatnya popularitas Prabowo Subianto di kalangan kelompok Islam konservatif di Sulawesi Selatan.

Tentu menarik untuk melihat fenomena tersebut mengingat JK disebut-sebut memiliki gurita pengaruh, baik secara bisnis maupun politik di wilayah Sulsel khususnya, dan di Indonesia bagian timur secara umum.

Lalu, apakah hal ini menunjukkan bahwa dukungan politik suami dari Mufidah Miad Saad itu kepada Jokowi benar-benar melemah?

Gurita Bisnis dan Politik

Siapa yang tak kenal kiprah JK di dunia politik maupun bisnis, utamanya di Indonesia bagian timur. Bisa dibilang, JK adalah satu-satunya simbol kedigdayaan kekuatan bisnis dan politik di kalangan masyarakat Indonesia timur. Mengapa demikian?

Tentu saja jawabannya ada pada penguasaan sumber daya ekonomi dan terbangunnya kerajaan bisnis yang telah berdiri selama tiga generasi. JK merupakan penguasa jaringan bisnis utama di Sulsel dan Indonesia timur lewat Kalla Group yang ia warisi dari almarhum ayahnya.

Kalla Group adalah grup bisnis besar yang bergerak di beberapa bidang, mulai dari otomotif, konstruksi, properti dan perhotelan, transportasi dan logistik, energi, agroindustri, hingga ke bidang pendidikan melalui Sekolah Islam Athirah. Bisnis ini menguasai beberapa sektor di Indonesia bagian tengah dan timur dan JK tercatat menjadi tokoh utama dalam grup bisnis tersebut.

Selain itu, ada juga beberapa perusahaan yang memiliki relasi dengan JK, seperti Bosowa Group milik sang ipar Aksa Mahmud, serta dengan Bukaka Group dan Inti Group.

Berkat jaringan tersebut, keluarga Kalla menjadi begitu digdaya dalam pertaliannya dengan politik dan bisnis. Oleh karenanya, kekuatan ekonomi keluarga Kalla bisa dikatakan menjadi faktor pendukung penting bagi kekuatan politik yang dibangunnya.

JK diketahui memiliki kekayaan mencapai Rp 465 miliar dan US$ 1,05 juta, demikian menurut laporan kekayaan pada saat ia maju mendampingi Jokowi pada Pilpres 2014 lalu.

Sementara, menurut daftar orang terkaya di Indonesia versi Majalah Globe Asia yang dirilis pada pertengahan tahun 2016 lalu, JK dan Kalla Group menempati posisi ke-49. Total kekayaan Kalla Group diperkirakan mencapai US$ 750 juta (Rp 10,5 triliun)

Maka, menyebut JK sebagai local bossism – penguasa lokal – bukanlah hal yang berlebihan. Hal ini sejalan dengan pemikiran John Sidel tentang local strongmen dalam tulisanya berjudul Bossism and Democracy in the Philippines, Thailand and Indonesia: Towards an Alternative Framework for the Study of Local Strongmen. Ia menyebut bahwa local strongmen adalah orang-orang lokal yang kuat dan memainkan peran bosisme.

Menurut Sidel, bosisme ini menunjukkan peran elite lokal sebagai broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif (penggunaan tekanan) dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme biasanya beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer dan preman.

Kriteria-kriteria yang disebut Sidel tersebut menjadi ciri khas pengaruh JK dalam politik di Indonesia timur. Hal ini bisa dilihat dengan memetakan koneksi-koneksi sang wapres dengan elite politik bisnis lokal maupun nasional yang kini berada pada afiliasinya.

Sebut saja kedekatanya dengan Aksa Mahmud, pengusaha dan dan politikus senior asal Sulsel yang dikenal luas sebagai pendiri Bosowa Corp. Aksa bahkan ditempatkan majalah Forbes pada peringkat 38 dalam daftar orang terkaya di Indonesia. Berdasarkan catatan Forbes ia memiliki kekayaan sebesar US$780 juta (Rp 11 triliun).

Kedekatan dengan JK dikukuhkan dengan pernikahannya dengan adik JK, yaitu Ramlah Kalla. Anak dari Aksa Mahmud, yakni Erwin Aksa, yang notabenenya merupakan keponakan JK, disebut-sebut sebagai pihak yang memuluskan komunikasi antara JK dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu – pasangan yang terbentuk juga karena andil JK.

Dalam ikhtiar membangun politik dinasti, JK juga melibatkan kerabatnya dalam kontestasi politik kekuasaan. Pencalonan Munafri Arifuddin pada Pilkada Makassar tahun lalu adalah salah satu contohnya. Pria yang akrab disapa Appi ini diketahui sebagai menantu dari Aksa Mahmud.

Dukungan Melemah, Bahaya Jokowi?

JK dan Indonesia Timur adalah dua hal yang kepalang identik, apalagi menyoal konteks politiknya. Majunya JK sebagai wakil presiden Jokowi disinyalir memberikan keuntungan bagi mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut berupa dukungan akar rumput yang signifikan pada 2014 lalu, utamanya di Indonesia timur.

Berdasarkan prediksi Dedi Dinarto, pengaruh JK disebut-sebut menurun secara politik di wilayah timur Indonesia, khususnya Sulsel.

Ia juga menyarankan kepada Jokowi agar ketimbang mengandalkan jaringan elite  lokal yang notabenenya merujuk pada jaringan yang memiliki afiliasi dengan keluarga JK, sang petahana sebaiknya fokus meningkatkan elektabilitas melalui aktivitas kampanye politiknya saja.

Juga peran partai politik koalisi yang terkoordinasi dengan baik serta aktif berkampanye untuknya di Sulsel akan memberi dampak elektabilitas yang lebih besar di tingkat akar rumput.

Walaupun demikian, prediksi Dedi Dinarto tersebut bisa saja salah.  Sejatinya, kartu truf konteks kekuasaan di Indonesia timur masih ada di tangan JK.

Ia tak hanya menjadi local bossism yang disebutkan Sidel, tapi juga kuat dalam politik di tingkat nasional.

Lihat saja kiprahnya yang cukup mapan, mulai dari maju sebagai cawapres pada Pilpres 2004 dan 2014, serta sebagai capres pada Pilpres 2009.

Selain melebarkan sayap gurita bisnis dan politik, JK juga selalu memiliki “loyalis” yang seringkali ada di mana saja, bahkan di kubu lawan Jokowi. Dalam konteks politik, di tim struktur pemenangan Prabowo Subianto sebenarnya dapat ditemukan sosok “loyalis” tersebut. Salah satunya adalah mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said.

Sudirman bahkan terang-terangan mengungkapkan bahwa JK merupakan sosok yang mendorongnya maju di Pilkada Jawa Tengah 2018. Kini, Sudirman Said menjabat sebagai Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Jaringannya yang cukup luas tersebut menunjukkan bahwa dirinya sesungguhnya punya banyak tangan di dua kubu.

JK memang bisa disebut sebagai seorang masterstroke sejati – istilah yang digambarkan sebagai langkah politik yang lihai, cerdas dan oportunis dari seorang politisi – sebagai peracik strategi-strategi politik.

Lalu hal yang menjadi menarik untuk dipertanyakan adalah benarkah JK telah menurun pengaruhnya secara politik di Indonesia timur seperti yang ditulis Dedi Dinarto atau jangan-jangan ia memang hanya setengah hati kembali membantu Jokowi menuju istana untuk dua periode?

Jika melihat sikap JK beberapa waktu terakhir ini, ia memang tak tampak menjadi tameng bagi sang petahana. Justru ia kerap melontarkan banyak kritik terhadap Jokowi dan pemerintahan yang di dalamnya ia masih menjabat sebagai orang nomor dua.

Misalnya, kritiknya terhadap pembangunan  Light Rail Transit (LRT), beda pandangan soal pembacaan visi dan misi capres-cawapres oleh tim sukses, juga kritiknya terhadap dukungan alumni Universitas Indonesia (UI) kepada Jokowi.

Kondisi tersebut dan juga adanya hasil survei penurunan elektabilitas sang petahana di Sulsel seolah menjadi tanda bahwa JK belum sepenuhnya all out dalam memenangkan Jokowi.

Pada akhirnya, Jokowi tetap akan membutuhkan sosok JK jika ingin menang telak di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai the true bossism di wilayah timur, nampaknya peran JK dan kerajaan bisnisnya tak akan pernah terganti hingga kapan pun. (M39)

Exit mobile version