Site icon PinterPolitik.com

Duet Jokowi-Prabowo untuk 2019?

Jokowi-Prabowo untuk 2019

Pertemuan Jokowi dan Prabowo di kediaman Prabowo (Foto: Republika)

“Having an election with only one candidate running is impossible. This is not a democracy.”

-Bhumibol Adulyadej-


PinterPolitik.com

Memang benar, bila negara menjalankan Pemilu namun hanya ada satu calon, maka kadar demokrasi negara tersebut harus dipertanyakan. Lalu, bagaimana bila satu calon tersebut lahir dari proses politik yang demokratis, yang ditentukan oleh amat dominannya kekuatan politik yang bersangkutan di antara calon yang lain?

Setidaknya hal itu merupakan candaan yang sempat dilemparkan politisi PDIP, Maruarar Sirait kepada Wakil Ketua Bidang Pemerintahan dan Dalam Negeri Partai Gerindra, Fadli Zon saat acara pemaparan hasil survei terbaru Indo Barometer di Hotel Century, Jakarta, Ahad (3/12) kemarin. Bang Ara (panggilan akrab Maruarar) meminta agar Bang Fadli jangan terlalu galak, sebab Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto bisa saja bersatu di 2019 nanti.

Seloroh ini bukan pertama kali muncul dari Ara. Ia juga pernah bercanda hal serupa di sela-sela debat Pilgub DKI, April lalu, yang juga dihadiri oleh Ara dan Fadli.

Survei yang dirilis oleh Indo Barometer awal  bulan ini memang kembali menempatkan Jokowi di tempat teratas, dengan elektabilitas 34,9 persen. Prabowo Subianto mengikuti di peringkat kedua dengan elektabilitas 12,1 persen.

Melihat fakta tersebut, Fadli Zon mengakui rendahnya elektabilitas Prabowo terjadi sekalipun mantan Komandan Jenderal Kopassus itu belum berkampanye. Ia juga menyindir popularitas Jokowi sebagai hasil dari gaya populis Jokowi, misalnya dengan suka membagi-bagi sepeda.

Lantas, bila melihat sejarah PDIP dan Gerindra di ‘Perjanjian Batu Tulis’, mungkinkah keduanya akan bersatu kembali? Atau, jika gosip kerenggangan hubungan antara PDIP dan Jokowi terbukti benar, apakah mungkin kedekatan tersebut hanyalah personal antara Jokowi dan Prabowo? Hal ini mungkin saja terjadi, mengingat walaupun Ara adalah kader ‘sakit hati’ PDIP, ia dikenal sebagai salah satu pendukung loyal Jokowi.

Selain itu, apakah kedekatan Jokowi dan Prabowo selama tiga tahun terakhir dapat dimaknai sebagai kedekatan keduanya sekaligus penghapusan luka lama Gerindra akan ‘pengkhianatan’ PDIP di 2014?

Pernyataan Ara bisa jadi tidak berujung canda jika melihat lemahnya kampanye Prabowo dan semakin kuatnya Jokowi. Bila terjadi demikian, bagaimana nasib demokrasi di tengah kemunculan pasangan calon superpower tersebut?

Popularitas Jokowi dan Gengsi Prabowo

Nama Jokowi masih merajai daftar capres 2019. Hal ini tak terlepas dari kinerja positif dan penerimaan masyarakat atas pemerintahan Jokowi. Kebijakan-kebijakan Jokowi, mulai dari yang secara riil menciptakan keadilan sosial, sampai citra politik yang populis, nyatanya berhasil menjaga elektabilitasnya sejak 2014.

Saat ini, melihat peta kekuatan partai, Jokowi sebenarnya masih menjadi ‘partikel bebas’, karena partai pengusungnya sendiri, PDIP, sering berselisih dengannya. Julukan ‘petugas partai’ tentunya sempat membuat panas kuping Jokowi di masa-masa awal pemerintahannya.

Kemudian, beberapa kasus seperti penempatan Rini Soemarno, Puan Maharani, dan Budi Gunawan juga mengisyaratkan tekanan-tekanan dari PDIP yang bisa jadi tak terlalu disukai Jokowi. Nama Maruarar Sirait pun disebut gagal menjadi menteri Jokowi bahkan dicopot dari jajaran DPP PDIP karena tak disukai oleh Megawati, terlepas dari kedekatan Maruarar dengan Jokowi.

PDIP sendiri juga belum mengumumkan pengusungan Jokowi kembali untuk 2019, ketika Golkar, Nasdem, Hanura, Perindo, dan PSI telah melakukannya. Bagi PDIP, hitung-hitungan nama Jokowi sebagai capres masih memiliki waktu. Walau demikian, PDIP memiliki satu langkah kedekatan dengan Jokowi karena benar, Jokowi adalah kader mereka. (Baca juga: Siapa Pion Mama untuk 2019?)

Lantas, popularitas adalah senjata utama Jokowi. Dengan popularitas dan kepuasan masyarakat yang tinggi, Jokowi mampu menggaet banyak partai, banyak kalangan teknokrat, professional, sipil, hingga militer. Kesemuanya ingin kembali mendukung Jokowi karena optimistis Jokowi akan memenangkan 2019.

Hubungan mereka dengan Jokowi bagaikan simbiosis mutualisme: mereka butuh Jokowi untuk mengamankan kepentingan mereka, dan Jokowi membutuhkan mereka untuk mengamankan kekuasaan. Golkar contohnya, begitu penting bagi Jokowi karena ‘merenggangnya’ relasi Jokowi dengan partainya sendiri, PDIP.

Namun, terlepas dari partai politik hingga pebisnis di belakang Jokowi, sosok di depan layar yang bakal menjadi cawapres Jokowi juga penting keberadaannya. Hasil jajak pendapat Indo Barometer di atas menyebut setidaknya ada lima kategori cawapres untuk Jokowi yang diidamkan masyarakat.

Muhammad Qodari dari Indo Barometer mengatakan, kelima kriteria itu adalah berlatarbelakang militer, berpengalaman dalam pemerintahan, dekat dengan rakyat, menguasai dunia internasional, dan pintar secara intelektual.

Dari lima kriteria tersebut, tentu saja Prabowo Subianto adalah salah satu nama paling seksi. Sekalipun masih menjadi oposisi dan terus menggelorakan ambisinya maju menjadi capres di 2019, Prabowo dan Gerindra terus melemah. Ada indikasi pula jika sokongan dana Prabowo semakin melemah, misalnya dengan berkurangnya bantuan Hasjim maupun migrasi Hary Tanoe ke kubu Jokowi. (Baca juga: Prabowo Kian Loyo?)

Dengan semakin lemahnya Prabowo, bukan tidak mungkin dirinya akan pasrah di tengah jalan. Terutama bila isu SARA yang digunakan oleh kubu Gerindra-PKS untuk memenangkan Pilkada DKI tidak dapat dipakai untuk menjatuhkan Jokowi. Bila ‘peluru’ telah habis, Prabowo bisa benar-benar bertekuk lutut di hadapan Jokowi, bahkan sebelum pertandingan dimulai.

Tetapi apakah mungkin Jokowi berpasangan dengan Prabowo? Prabowo sendiri tentu memiliki gengsi yang besar kalau ia justru merapat menjadi wakil Jokowi. Sementara, sulit membayangkan Jokowi ‘downgrade’ menjadi wakil Prabowo.

Namun, tentu dengan penyatuan keduanya menjadi satu pasang pada 2019, hampir seluruh kekuatan politik nasional akan menyatu. Seluruh kalangan profesional hingga pebisnis yang terbelah karena pembelaan partisan kepada Jokowi atau Prabowo, dapat menyatu. Partai politik dari segala kutub dapat menyatu. Warganet pun bisa berhenti berdebat dan jadi adem.

Jelas agak aneh membayangkan keduanya bersatu. Namun, daripada elektabilitasnya terus tergerus Jenderal Gatot yang entah mau ke mana nantinya, langkah ini mungkin akan menjadi yang paling ‘gila’ yang bisa diambil oleh Prabowo.

Sehatkah untuk Demokrasi?

Gerindra sejatinya adalah partai oposisi PDIP yang menang pada 2014. Akan tetapi, kritik sporadis, tidak terstruktur, dan tidak membangun adalah highlight dari sikap Gerindra tiga tahun terakhir. Bahkan, pembentukan kabinet bayangan selepas Pemilu 2014 bisa dikatakan hanya gimmick yang impulsif saja dari koalisi Prabowo. Bukannya koalisi Jokowi yang semakin ramping, malah koalisi Prabowo yang semakin tergerus.

Relasi baik antara Prabowo dengan Jokowi sebenarnya dapat menjadi awal budaya oposisi yang baik. Sadar bahwa mereka beroposisi secara politik, namun berkomitmen bahwa kesatuan nasional adalah yang terpenting di atas segalanya.

Akan tetapi, Aksi Bela Islam belakangan yang dilihat sebagai bentuk masifnya kekuatan oposisi Gerindra-PKS menandakan belum baiknya budaya oposisi. Gerindra bahkan disebut-sebut sempat ikut terseret dugaan hubungan dengan kelompok Saracen. Sayang sekali bukan, bila kapasitas sebagai oposisi justru diarahkan kepada hoaks dan kebohongan publik?

Memang, budaya oposisi berbasis ideologi kanan-kiri (konservatif-progresif) dan turunan kebijakannya belum kuat terbentuk di Indonesia. Partai masih mudah berpindah haluan semata karena kepentingan praktis. Bila terjadi, merapatnya Gerindra kembali dengan PDIP atau bahkan dengan Jokowi secara pribadi merupakan contoh ultimate dari pragmatisnya partai politik kita.

Prabowo dan Jokowi secara sosok telah menunjukkan hubungan akur selepas 2014

Pada akhirnya, hal ini tentu tidak terlalu baik bagi budaya kompetisi dalam demokrasi. Bila terjadi demikian, Indonesia tak ubahnya negara satu partai yang menjadikan Pemilu sebagai instrumen demokrasi semu. Jokowi bisa menjadi alasan seluruh kekuatan politik, bahkan oposisi, untuk bersatu padu menghadapi Pilpres. Inilah fenomena calon tunggal.

Namun, di sisi lain hal ini penting untuk menyurutkan tensi polarisasi politik yang tidak pernah reda sejak 2014. Masyarakat masih begitu terbelah terutama di hadapan isu tertentu seperti politik Islam dan isu PKI. Penyatuan Jokowi-Prabowo bisa sungguh menghentikan ‘perpecahan’ di akar rumput.

Kompensasinya bagi demokrasi, perlu lawan politik lain yang sepadan dengan gagasan kebijakan sebaik Jokowi saat ini. Apakah kemudian kekuatan politik Islam dengan misi NKRI Bersyariah akan berdiri sendiri bila dihadapkan dengan duet Jokowi-Prabowo? Atau malah mereka tetap berdiri di belakang Prabowo sekalipun menjadi wakil Jokowi? Wah benar-benar hebat kalau begini.

Ataukah, seperti dongeng kemarin sore, mungkinkah Indonesia mau diubah menjadi sistem dual executive, dengan Prabowo sebagai presiden (pemimpin negara) dengan citra tegas dan bijaksana, serta Jokowi sebagai perdana menteri (pemimpin pemerintahan) dengan slogan kerja, kerja, kerja?

Tidak ada yang tahu! Semua tergantung pada tawaran-permintaan yang mungkin diajukan Prabowo kepada Jokowi yang saat ini terlihat telah menang sebelum pertandingan dimulai.

Menarik. (R17)

Exit mobile version