HomeNalar PolitikDuet Anies-RK, Senjata Mempesona Nasdem?

Duet Anies-RK, Senjata Mempesona Nasdem?

Partai Nasdem memastikan akan menggelar konvensi di tahun 2022 untuk memproyeksikan koalisi parpol dan calon yang akan diusung di Pilpres 2024 kelak. Dengan dinamika politik yang ada saat ini, akan seperti apa bentuk koalisi dan calon dengan kans terbaik yang diusung Nasdem?


PinterPolitik.com

Gercep. Mungkin itulah akronim familiar di kalangan anak muda yang berarti “gerak cepat” dan dapat menggambarkan manuver politik Partai Nasdem. Impresi sebagai partai politik (parpol) paling berinisiatif jika berbicara usung-mengusung agaknya akan menjadi sesuatu yang benar-benar khas dari partai pimpinan Surya Paloh.

Bagaimana tidak, Nasdem seolah telah mengambil ancang-ancang sejak dini dengan memastikan akan menggelar konvensi partai yang akan dilaksanakan pada tahun 2022. Hal ini setelah Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai NasDem, Johnny G. Plate menyampaikan agenda itu pada Kamis kemarin.

Konvensi tersebut dikatakan tidak hanya akan menelurkan kandidat calon presiden (Capres), Nasdem juga akan menginisiasi koalisi dengan partai yang memiliki kesamaan visi dan misi.

Johnny melanjutkan, Nasdem mempersiapkan konvensi di tahun 2022 mendatang dengan sangat serius. Penegasan ini yang kemudian menjadi menarik ketika tajuk konvensi ialah inklusivitas dengan membuka pintu bagi kandidat dari luar parpol, plus seperti yang disebutkan sebelumnya, lengkap dengan kerangka koalisi parpol yang mengusungnya.

Namun ketika konvensi dilangsungkan, masih ada dua tahun sisa masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diusung Nasdem dalam koalisi pemerintah saat ini. Artinya, apapun hasil konvensi agaknya akan menimbulkan turbulensi politik tersendiri, baik jika Nasdem bertahan, didepak, atau undur diri dari koalisi di saat itu.

Akan tetapi, sesungguhnya hal tersebut cukup lumrah di iklim politik tanah air. Seperti yang telah diprakirakan oleh Hasanudin Ali dari Alvara Research Center dalam Jokowi forms broad Indonesia coalition, bringing in rival Prabowo, bahwa sebelum kontestasi elektoral di tahun 2024, kemungkinan besar partai-partai koalisi akan berkepentingan untuk mengkampanyekan agenda mereka sendiri.

Namun di balik itu semua, mengapa Partai Nasdem terkesan menjadi yang paling gercep dengan memastikan agenda plus rencana spesifik konvensi di tahun 2022 mendatang?

Paling Memahami Esensi Konvensi?

Konvensi parpol sering terdengar utamanya di kancah politik Amerika Serikat (AS). Dengan sistem kepartaian di sana, sederhananya, parpol di AS menjadikan konvensi untuk menyeleksi secara internal para kandidat presiden dan wakil presiden sebelum partai secara resmi mengusung pasangan kandidat ke lembaga penyelenggara pemilu.

Tevi Troy dalam The Evolution of Party Conventions menjelaskan dengan cukup jelas sejarah perkembangan konvensi, di mana esensinya ialah demi partai yang lebih kuat dan aktif dalam aspek perencanaan dan koordinasi jelang kontestasi elektoral.

Berlangsung pertama kali sejak September 1831 dan dilangsungkan oleh Partai Anti-Mason saat itu, konvensi parpol di AS terus bertransformasi hingga menjadi mekanisme pra-elektoral yang terstruktur.

Baca juga: Bela Anies, Pembelotan Tersirat Nasdem?

Dalam sejarah politik Indonesia, konvensi pertama kali dilakukan oleh Partai Golkar di saat kepemimpinan Akbar Tandjung periode 1998-2004, plus memelopori mekanisme perekrutan kandidat presiden secara terbuka melalui mekanisme itu.

Baca juga :  PDIP and the Chocolate Party

Pada putaran pertama terseleksi nama-nama beken, di antaranya Akbar Tandjung, Wiranto, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Surya Paloh, dan Sultan Hamengkubuwono X. Pada putaran kedua, tinggal Akbar Tandjung dan Wiranto, di mana konvensi akhirnya dimenangi Wiranto.

Meski Wiranto gagal dalam Pilpres 2004, Golkar jumawa dalam ajang Pileg di tahun yang sama.

Tak hanya Golkar, konvensi juga sempat dilakukan oleh Partai Demokrat pada tahun 2014, namun sayangnya banyak dianggap kurang berhasil.

Menurut Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate, Ari Nurcahyo, kelebihan konvensi ialah dapat mencegah politik dinasti dari parpol. Selain itu, Konvensi pun bisa mengembalikan citra partai di mata khalayak dengan munculnya tokoh-tokoh yang benar-benar diharapkan.

Ide konvensi juga dinilai dapat mengubah sistem pengambilan keputusan di tubuh parpol, dari tendensi sentralistis menjadi demokratis.

Langkah Pre-emptive atau “Pembalasan Politik”?

Dari penjelasan sebelumnya, Nasdem kiranya memahami betul esensi dari konvensi di mana Surya Paloh sendiri nyatanya pernah menjadi bagian dari mekanisme yang cukup positif itu.

Selain itu, Nasdem di sisi lain juga bukan tidak mungkin mengimplementasikan strategi tertentu di balik konvensi tersebut. Dalam risalah militer legendaris The Art of War, khususnya dalam bagian Weaknesses and Strengths, Sun Tzu bertitah bahwa siapapun yang pertama tiba di sebuah medan laga, akan menjadi sangat siap untuk pertarungan. Namun sebaliknya, siapa pun yang berada di “urutan kedua”, akan tiba dengan kelelahan.

Signifikansi yang dianggap para ahli militer sangat penting dalam mengutamakan inisiatif, mungkin saja diadopsi Nasdem dalam inisiasi konvensinya di tahun 2022.

Baca juga: Kuartet Menteri PKB, Nestapa Nasdem?

Langkah politik inisiatif memang acapkali digunakan Nasdem sebagai taktik dalam sebuah kompetisi adu kandidat. Misalnya, pada Pilkada Jabar 2018, mereka yang pertama menyatakan dukungan untuk Ridwan Kamil (RK).

Lalu di Pilpres 2019 juga menjadi yang pertama mendukung Jokowi menjadi Capres di tahun 2017. Bahkan kemudian baru diikuti PDIP setelahnya. Menariknya, kedua tokoh itu pun tampil sebagai juara.

Menurut pakar politik LIPI, Aisah Putri Budiarti, terdapat dua alasan di balik inisiatif semacam itu. Pertama, mereka agaknya ingin menjalin hubungan politik awal dengan calon-calon potensial untuk memenangkan pemilu sebelum partai besar lainnya merekrut tokoh-tokoh tersebut. Kedua, meningkatkan posisi political bid atau daya tawarnya dalam pencalonan, khususnya dalam konteks pilpres bersama partai besar lainnya.

Namun di sisi lain, taktik jitu itu sesungguhnya juga menguak kelemahan internal Nasdem yang terkadang dapat terefleksi pada dinamika koalisi politik mereka dalam perjalanannya.

Ulla Fionna dan Dirk Tomsa dalam Parties and Factions in Indonesia: The Effects of Historical Legacies and Institutional Engineering, mengatakan bahwa Nasdem dapat diklasifikasikan sebagai personalistic parties atau partai personalistik, karena satu-satunya tujuan mereka yang tampak adalah untuk menjadi kendaraan elektoral bagi ambisi calon presiden dari tokoh-tokoh politik besar.

Nasdem sejauh ini memang tampak mengalami persoalan terbesar yakni kurang memiliki kader yang benar-benar punya elektabilitas mumpuni, bahkan Nasdem kerap menggaet artis hingga atlet untuk bergabung dengan partai.

Baca juga :  Jokowi's Secret Painting?

Sayangnya, preseden karakteristik itu kurang positif bagi Nasdem ketika jadi parpol pertama pengusung Jokowi di tahun 2017 untuk Pilpres 2019, namun justru seolah dikesampingkan oleh parpol besar, khususnya PDIP ketika Jokowi telah berkuasa.

Intrik ini muaranya terlihat dari Nasdem yang bersama beberapa parpol koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf, sesungguhnya mengadakan pertemuan pasca Pilpres pada 22 Juli 2019, untuk sepakat tidak akan memberikan kesempatan parpol oposisi bergabung. PDIP dan Megawati diundang dalam pertemuan ini namun berhalangan hadir.

Dua hari berselang, PDIP justru melakukan pertemuan dengan Gerindra, yang ujungnya parpol besutan Prabowo Subianto mendapat jatah dua menteri di Kabinet.

Baca juga: PDIP-Nasdem: Selingkuh Dibalas Selingkuh?

Intrik-intrik lain seolah berlanjut dan cenderung tampak kurang menguntungkan untuk Nasdem, misalnya saat melalui tendensi ketidaksukaan Nasdem dalam beberapa kesempatan setelah kehadiran Gerindra di kabinet, Paloh yang pernah dilewati Megawati saat hendak bersalaman di acara pelantikan anggota MPR/DPR tahun 2019 lalu, hingga seolah begitu rentannya menteri asal Nasdem setelah sempat muncul beberapa isu reshuffle yang menyasar kadernya.

Lalu berangkat dari dinamika itu, akan seperti apa kiranya koalisi dan kandidat paling potensial bagi Nasdem di konvensi 2022 mendatang?

Anies-RK, Senjata Rahasia?

Konvensi yang berlangsung di tahun 2022 sendiri menjadi menarik karena juga bertepatan dengan berakhirnya masa jabatan Anies Baswedan, sosok yang bukan rahasia lagi memiliki hubungan spesial dengan Nasdem.

Dengan menyinggung inklusivitas dan keterbukaan terhadap pihak yang berada di luar parpol sebagai tajuk konvensi, kecenderungan kuat memang mengarah pada Anies jika berbicara kalkulasi elektabilitas sampai sejauh ini.

Namun, tak menutup kemungkinan pula bagi calon potensial lain seperti RK untuk diusung, jika mengacu inisiatif Nasdem di Pilgub Jabar 2018 plus elektabilitas yang sama baiknya dengan Anies.

Dari situ, bukan mustahil Anies-RK akan menjadi kombinasi fenomenal yang jadi hasil akhir Capres-Cawapres 2024 hasil konvensi Nasdem. Selain itu, efek positif dari pasangan itu juga bisa jadi jalan tengah bagi tarik menarik kepentingan perwakilan parpol dalam koalisi di kemudian hari, yang mungkin akan menarik simpati publik.

Dari segi koalisi, dengan intrik yang ada dengan PDIP, Nasdem kemungkinan besar akan pisah kongsi dengan partai banteng. Dengan presidential threshold 20 persen suara partai, parpol yang belakangan bertendensi oposan tentu dapat dirangkul, seperti PKS dengan 8,21 persen, lalu ada pula Demokrat dengan 7,71 persen, dan kemungkinan PAN 6,84 persen yang langkahnya tampak masih mengambang.

Serta satu lagi yang kemungkinan jadi penentu, yakni Golkar dengan 12,31 persen jika berkaca pada porsi relasi Anies, Jusuf Kalla, dan Surya Paloh.

Lalu, mungkinkah skenario tersebut menjadi kenyataan? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Baca juga: Manuver Nasdem Yang Terancam


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?