Sejak Pilpres 2014, Hendropriyono dan Luhut merupakan dua Jenderal TNI yang berada di belakang Jokowi. Namun, karena kepentingan politik yang berbeda, kedua Jenderal TNI itu tampaknya akan bertarung di Pilpres 2024 mendatang.
Pada 2013 lalu, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi meluncurkan buku bertajuk Perang Bintang 2014: Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres. Buku ini berisi artikel-artikel pendek Burhanuddin untuk menggambarkan tarung para aktor politik nasional yang disebutnya sebagai para bintang.
Selain nama-nama besar seperti Megawati Soekarnoputri, Dahlan Iskan, dan Jusuf Kalla (JK), menariknya, Burhanuddin memberi perhatian terhadap para purnawirawan TNI. Seperti judul bukunya, para purnawirawan TNI itu adalah para jenderal yang memiliki bintang di pundaknya.
Ada nama-nama lama seperti Jenderal TNI Agum Gumelar, Jenderal TNI Wiranto, Letjen TNI Prabowo Subianto, dan Jenderal TNI Luhut Binsar Pandjaitan. Ada pula nama-nama baru seperti Jenderal TNI Endriartono Sutarto, Jenderal TNI Djoko Santoso, Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo, dan Letjen TNI Sutiyoso.
Terkhusus bicara soal Joko Widodo (Jokowi), mengutip peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Evan A. Laksmana, sosok sipil itu didukung jenderal bertabur bintang di belakangnya.
Dalam tulisannya Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interests and Presidential Handholding, Evan menyebut nama-nama besar seperti Jenderal TNI Luhut Binsar Pandjaitan, Jenderal TNI Moeldoko, Jenderal TNI Agum Gumelar, Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, Jenderal TNI Wiranto, dan Jenderal TNI Hendropriyono.
Kehebatan Dua Jenderal
Menariknya, jika mengikuti situasi politik terkini, dua Jenderal TNI yang sebelumnya satu gerbong sejak Pilpres 2014 tampaknya akan saling berhadapan di Pilpres 2024. Mereka adalah Jenderal TNI Hendropriyono dan Jenderal TNI Luhut Binsar Pandjaitan.
Sedikit fun fact, keduanya sama-sama mendapatkan bintang empat kehormatan ketika menjabat menteri. Dengan kata lain, baik Hendro maupun Luhut purna tugas sebagai TNI dengan tiga bintang di pundaknya.
Membahas rekam jejak keduanya di politik nasional, kita akan menemukan perjalanan yang sangat menarik.
Pertama, terkait Hendro, mengutip buku mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali yang berjudul Perjalanan Intelijen Santri, Hendro adalah salah satu petinggi militer yang terlibat di balik pencalonan Megawati sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di era akhir Orde Baru.
Itu adalah operasi intelijen yang disebut As’ad sebagai upaya autokritik terhadap rezim Soeharto yang muncul dari dalam tubuh militer. Selain Hendro, ada pula nama-nama besar seperti Jenderal TNI LB Moerdani dan Mayjen TNI Syamsir Siregar.
Sama dengan As’ad, dalam bukunya Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia: The Indonesian Democratic Party (PDI) and Decline of the New Order (1986-98), Stefan Eklof juga menjelaskan peran vital Hendro di balik majunya Megawati sebagai Ketum PDI.
Menurut Eklof, Hendro yang saat itu menjabat Pangdam V Jaya meyakinkan Megawati bahwa militer tidak mempermasalahkannya menjadi Ketum PDI, dan berjanji akan mengamankan pertemuan Munas mendatang.
Setelah Reformasi, karier politik Hendro semakin kental setelah terpilih sebagai Ketum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) pada 27 Agustus 2016 sampai 13 April 2018.
Kedua, terkait Luhut, mengutip buku Marsekal Muda TNI Teddy Rusdy yang berjudul Jenderal LB. Moerdani Generasi Jembatan TNI, Luhut adalah salah satu binaan LB Moerdani. Dengan kata lain, baik Hendro maupun Luhut sama-sama memiliki garis hubungan dengan Panglima ABRI periode 28 Maret 1983 sampai 27 Februari 1988 itu.
Bicara karier politik Luhut setelah Reformasi, nama ini dapat dikatakan berperan besar di balik suksesnya karier politik Jokowi. Terkait kapan keduanya pertama kali bertemu, setidaknya ada dua versi. Menurut Aaron L Connelly dalam tulisannya Indonesia Foreign Policy Under President Jokowi, Luhut pertama kali bertemu Jokowi pada tahun 2008.
Namun, menurut politisi senior PDIP Panda Nababan dalam bukunya Panda Nababan Lahir Sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi, Buku Kedua: Dalam Pusaran Kekuasaan, keduanya bertemu pertama kali pada tahun 2006.
Terkait motif awal hubungan, sejauh ini tidak ada perbedaan, yakni karena bisnis mebel. Luhut membutuhkan pengusaha mebel untuk mengubah konsesi hutannya di Kalimantan menjadi produk jadi. Jokowi yang merupakan pengusaha mebel kemudian dipertemukan dengan Luhut.
Menurut Panda, pada Pilpres 2014 Luhut berkeinginan menjadi cawapres Jokowi. Tim Bravo 5 yang dibentuk Luhut pada 2013 sebenarnya ditujukan untuk mengkampanyekan Luhut sebagai cawapres.
Uang tunai Rp200-300 miliar telah disiapkan Luhut. Namun, pandangan Panda mengubah sikap Luhut. Tim Bravo 5 yang berisi Akabri ’70 – angkatan Luhut – kemudian difokuskan untuk memenangkan Jokowi.
Saat ini, Hendro dikenal luas sebagai Guru Besar Intelijen Indonesia berkat bukunya yang berjudul Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia. Buku ini menarik karena mampu menjelaskan operasi intelijen yang teknis menggunakan berbagai teori filsafat.
Di sisi lain, Luhut dikenal sebagai pelindung politik Jokowi. Ini setidaknya dapat ditarik dari tulisan Kanupriya Kapoor yang berjudul Indonesian President Treads Fine Line by Empowering Chief of Staff. Menurutnya, Luhut menjadi semacam “bemper” Jokowi dari berbagai tekanan politik dan kelompok kepentingan.
Kepentingan yang Berbeda?
Kembali pada pernyataan di atas. Jika di Pilpres 2024 nanti kedua jenderal itu akan bertarung, apa yang membuat Hendro dan Luhut berpisah gerbong?
Jawabannya sederhana, yakni kepentingan politik yang berbeda.
Luhut memiliki kepentingan untuk mengamankan dirinya setelah Jokowi purna tugas di 2024. Jika tidak, berbagai pihak yang bersitegang dengan Luhut, seperti PDIP, akan membuat Luhut mendapat berbagai serangan politik setelah Jokowi turun takhta.
Atas kepentingan itu, Luhut wajib sudah memiliki jagoan yang berpotensi kuat menang di Pilpres 2024. Untuk saat ini, Luhut tampaknya memiliki dua opsi.
Pertama, mengacu pada berbagai wacana, seperti tiga periode, perpanjangan jabatan, hingga presiden dua periode boleh jadi cawapres, opsi terdekat Luhut tampaknya masih pada Jokowi.
Kedua, mengacu pada faktor kedekatan dan potensi menang, opsi selanjutnya adalah Prabowo Subianto. Mengutip pernyataan Staf Khusus Menko Kemaritiman Atmadji Sumarkidjo pada 25 April 2019, hubungan pribadi antara Luhut dan Prabowo sudah terjalin puluhan tahun, sejak mereka masih aktif di TNI.
Prabowo sendiri juga diketahui menawari Luhut jabatan kursi menteri apa pun jika bersedia mendukungnya pada Pilpres 2014 lalu. “Bang, kalau dukung saya, nanti mau jadi menteri apa, saya kasih deh,” ungkap Prabowo.
Nah, beda halnya dengan Luhut yang membutuhkan perlindungan politik, Hendro tampaknya memiliki ambisi untuk melihat menantunya, yakni Panglima TNI saat ini, Andika Perkasa untuk maju di Pilpres 2024.
Ketika terpilih sebagai Panglima TNI pada November 2021, berbagai pihak menyebut dukungan PDIP berperan besar di baliknya. Informasi itu diperkuat dengan munculnya wacana menduetkan Andika dengan Puan Maharani, persis setelah Andika dilantik sebagai Panglima TNI.
Hubungan Andika dengan PDIP tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang hubungan Hendro dengan Megawati. Bagaimana pun, Megawati tampaknya memiliki utang politik karena Hendro mendukungnya sebagai Ketum PDI di rezim Soeharto.
Well, jika interpretasi dalam tulisan ini tepat, Hendro dan Luhut tampaknya akan saling berhadapan di Pilpres 2024 mendatang. Kita lihat saja skenario mana yang akan berjalan. (R53)