HomeNalar PolitikDubes, Cara Jokowi Dekati Biden?

Dubes, Cara Jokowi Dekati Biden?

Presiden Jokowi mengusulkan mantan Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat. Sama seperti Muhammad Lutfi, mengapa sosok berlatar pengusaha yang ditunjuk mengemban posisi tersebut?


PinterPolitik.com

Di tengah kondisi pandemi yang semakin genting, Komisi I DPR disibukkan dengan agenda fit n proper test calon duta besar (dubes). Dari ke 33 nama calon dubes yang diajukan Presiden, 11 di antaranya merupakan calon dubes non-karier yang mempunyai latar belakang politisi hingga pengusaha.

Perhatian publik sendiri tertuju kepada nama-nama calon dubes non-karier, beberapa perdebatan pun terjadi terkait pantas atau tidaknya mereka menduduki posisi tersebut.

Berdasarkan hasil analisis pemberitaan di media, beberapa nama yang paling banyak dapat sorotan adalah Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman yang diusulkan untuk menjadi Duta Besar RI untuk Kazakhstan, Gandi Sulistiyanto pengusaha sekaligus bos Sinar Mas yang diusulkan menjadi Duta Besar RI untuk Korea Selatan, dan Rosan Roeslani, pengusaha sekaligus mantan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang diusulkan untuk menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat (AS).

Nama terakhir tampaknya yang paling menjadi sorotan. Sebenarnya hal ini merupakan hal yang wajar, mengingat AS merupakan negara yang sangat penting dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam bidang politik dan ekonomi bagi Indonesia.

Jadi siapa pun yang akan menjadi Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat selalu akan mendapat sorotan lebih.

Baca Juga: Jokowi “Lirik” Diplomasi Iklim Biden?

Menarik di sini adalah ketika lagi-lagi yang diusulkan menjadi Duta Besar untuk AS adalah seorang pengusaha.

Rosan akan mengikuti jejak partnernya sekaligus mantan Wakil Ketua Umum Kadin Muhammad Lutfi yang lebih dulu menjabat Dubes RI untuk AS.

Lantas apa motif Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lagi-lagi menunjuk pengusaha untuk menjadi Dubes RI untuk AS?

Perkuat Diplomasi Ekonomi

Beberapa pihak menilai terpilihnya Joe Biden menjadi Presiden AS akan membawa angin segar bagi hubungan bilateral antara Indonesia dan Paman Sam.

Di bawah kepemimpinan Biden, kawasan Asia disebut menjadi fokus dari arah kebijakan luar negeri AS. Hal ini jelas memberikan peluang emas bagi Indonesia mengingat Biden sendiri juga punya sejarah panjang hubungan dengan Indonesia.

Pada tahun 2015, misalnya, saat itu Biden dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden AS meresmikan “Kemitraan Strategis Indonesia – AS”.

Kembali ke dalam konteks peranan Dubes RI untuk AS, Presiden Jokowi sendiri pernah  memerintahkan agar Dubes Indonesia di sana untuk melakukan kegiatan yang sebagian besar lebih difokuskan pada diplomasi ekonomi.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Jokowi menambahkan investasi dan kerja sama ekonomi, termasuk meningkatkan ekspor, harus menjadi perhatian para diplomat RI di AS.

Instruksi Presiden Jokowi tersebut sedikit banyak tercermin dari dua program prioritas yang dicanangkan  Muhammad Lutfi ketika menjabat menjadi Dubes lalu.

Lutfi sendiri menjabarkan dua prioritas utamanya sebagai Dubes AS. Pertama memastikan AS memperpanjang persetujuan fasilitas pembebasan tarif bea masuk (generalized system of preference/GSP) ke Indonesia.

GSP sendiri adalah fasilitas pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak tahun 1974.

Lobi-lobi yang dilakukan Lutfi beserta tim perundingan pun berhasil. Pada akhir 2020, AS sepakat untuk memperpajang fasilitas GSP untuk indonesia.

Fasilitas GSP ini penting mengingat implementasinya terbukti menguntungkan dua pihak, baik Indonesia maupun AS. Pada tahun 2020, misalnya, nilai ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP tercatat US$ 1,87 miliar atau naik 10,6 persen dibanding periode tahun 2019.

Terkait hal ini Indonesia berada di urutan ketiga negara yang banyak memanfaatkan fasilitas GSP AS. Hal ini juga sedikit banyak membuktikan kepercayaan AS kepada Indonesia sekaligus kesuksesan dari lobi-lobi yang dilakukan para diplomat RI.

Baca Juga: Jokowi-Biden Buat Tiongkok Gentar?

Robert Lighthizer selaku perwakilan United States Trade Representative (USTR)awalnya memperkirakan pencabutan GSP yang dilakukan kepada India dan Turki juga akan dilakukan kepada Indonesia.

Namun, hal ini tidak terjadi karena kuatnya diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia dalam proses perundingan.

Seperti yang diketahui, sesaat sebelum AS memberikan perpanjangan fasilitas GSP bagi Indonesia, beberapa negara lain seperti Turki, India dan Thailand gagal mendapat perpanjangan fasilitas ini.

Jelas perpanjangan GSP ini memiliki banyak keuntungan bagi Indonesia. Salah satunya, dengan fasilitas GSP, Indonesia berpeluang menggeser Thailand dalam hal intensitas perdagangan internasional dengan AS.

Tugas besar bagi Rosan Roeslani adalah tetap menjaga kepercayaan pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden dalam pelaksanaan kerja sama fasilitas GSP ini.

Selain itu yang lebih penting adalah mendorong lebih banyak pelaku ekonomi di Indonesia untuk memanfaatkan fasilitas ini.

Kemudian, Rosan perlu memulai pembicaraan untuk melakukan negosiasi terkait perjanjian dagang bebas terbatas atau limited trade deal (LTD) dengan AS. Skema LTD ini sedikit banyak masih berkaitan dengan fasilitas GSP.

“LTD ini pintu masuknya adalah GSP, kalau sudah GSP, LTD semakin simpel,” papar Muhammad Lutfi.

Baca juga :  Arti Kesetiaan Politik: Jokowi vs Prabowo

Adanya LTD diprediksi akan menggenjot perdagangan kedua negara sebesar 2 kali lipat dari nilai perdagangan saat ini sebesar US$ 27,1 miliar. Ditargetkan nilai perdagangan akan mencapai US$ 60 miliar dalam 5 tahun.

Skema LTD sendiri saat ini masih dalam tahap negosiasi dengan USTR. Proses perundingan sempat tertunda saat Lutfi yang sebelumnya memimpin perundingan ini keburu ditarik menjadi Menteri Perdagangan.

Melanjutkan Misi Besar Ekspansi

Tugas besar bagi Rosan Roeslani adalah menggantikan peran Muhammad Lutfi untuk meng –goal-kan skema ini.

Rosan sendiri seharusnya sudah tidak asing lagi soal ini. Usulan untuk meningkatkan kerja sama perdagangan RI-AS melalui limited trade deal pernah digaungkan olehnya ketika masih menjadi Ketua Umum Kadin.

Masa jabatan Muhammad Lutfi yang hanya selama tiga bulan membuat banyak misi besar dan program Dubes Indonesia di AS sementara tertunda. Rosan dengan kedekatan dan latar belakang yang sama diharapkan bisa menggantikan peran Lutfi tersebut.

Rosan sendiri ketika menjabat nanti diprediksi hanya akan melanjutkan program-program prioritas Lutfi yang belum sempat berjalan.

Sampai di sini sebenarnya sudah bisa sedikit terjawab mengapa Dubes Indonesia di AS seringkali dijabat oleh pengusaha atau minimal orang yang memiliki latar belakang ilmu ekonomi yang kuat.

Lagi-lagi hal ini kembali kepada instruksi Presiden Jokowi yang memperintahkan para diplomatnya untuk melakukan kegiatan yang sebagian besar lebih difokuskan pada diplomasi ekonomi, khususnya di masa pandemi seperti saat ini.

Ditambah, di bawah kepemimpinan Joe Biden sendiri Indonesia diprediksi menjadi salah satu mitra penting AS di Asia Tenggara melalui visi Strategi Indo-Pasifik. AS perlu mengimbangi pengaruh Tiongkok di kawasan.

Baca Juga: Jokowi Mau “Gratisan” Biden?

Di tengah kondisi pandemi dan kenyataan bahwa ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk memang menjadi masuk akal ketika Presiden Jokowi menempatkan dubes dengan latar belakang ekonomi yang kuat untuk membangkitkan perekonomian di Indonesia.

Terutama khusus untuk Amerika Serikat, langkah memperkuat diplomasi ekonomi diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya Indonesia memperbaiki perekonomian di tengah pandemi.

Apalagi AS merupakan mitra dagang terbesar ke-4 bagi Indonesia setelah Tiongkok, Jepang, dan Singapura.

Mungkin ini adalah momentum yang pas bagi Jokowi untuk “mendekati” Biden terutama terkait perekonomian kedua negara.

Tentunya kita semua berharap agar langkah-langkah “diplomasi ekonomi” Dubes Indonesia di AS sukses sehingga dapat membantu perekonomian negara ini menjadi lebih baik. (A72)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

More Stories

Mengapa Megawati “Kultuskan” Soekarno?

Megawati Soekarnoputri mengusulkan agar pembangunan patung Soekarno di seluruh daerah. Lantas, apa tujuan dan kepentingan politik yang ingin diperoleh Megawati dari wacana tersebut?  PinterPolitik.com Megawati Soekarnoputri...

Mungkinkah Jokowi Tersandera Ahok?

Nama Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok kembali menjadi perbincangan publik setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku mantan wakilnya di DKI Jakarta itu punya...

PKS Mulai “Gertak” Anies?

Majelis Syuro PKS telah memutuskan untuk menyiapkan Salim Segaf Al-Jufri sebagai kandidat yang dimajukan partai dalam kontestasi Pilpres 2024. Apa strategi PKS di balik...