HomeNalar PolitikDramaturgi Kekalahan Gerindra

Dramaturgi Kekalahan Gerindra

Hasil hitung suara resmi KPU telah keluar, namun Gerindra dikabarkan akan menggugat KPU atas beberapa kekalahan yang dialaminya. Prabowo melakukan dramaturgi politik?


PinterPolitik.com

“Dalam demokrasi, seseorang yang gagal berkuasa dapat selalu menghibur dirinya dengan pemikiran akan adanya tidakadilan.” ~ Thucydides

[dropcap]S[/dropcap]ebagai seorang sejarawan Yunani Kuno, Thucydides yang mendapat julukan sebagai “Bapak Sejarah Ilmiah” dikenal sebagai orang yang anti-demokrasi akibat pandangan-pandangan realistisnya. Penulis buku History of the Peloponnesian War ini juga sosok yang lebih percaya pada kekuatan, dibanding kebenaran.

Meski begitu, perkataan saksi mata Perang Sparta yang bersejarah di atas, faktanya masih tetap lekang selama berabad-abad. Sebab hampir di setiap kontestasi politik di berbagai negara, pasti akan ada pihak-pihak yang tidak dapat bersikap sportif menerima kekalahannya, tak terkecuali di tanah air.

Setelah menunggu sekitar dua minggu, akhirnya hasil penghitungan suara resmi (real count) Pilkada Serentak lalu diumumkan oleh KPU. Hasil tersebut memperlihatkan hasil yang tak jauh berbeda dengan hasil penghitungan cepat (quick count) dari sejumlah lembaga survei yang telah lebih dahulu beredar.

Termasuk penghitungan suara di Pilgub Jawa Barat yang mengukuhkan kemenangan pasangan Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum (Rindu) dengan perolehan 32,88 persen atas Sudrajat dan Syaikhu (Asyik) yang meraih 28,74 persen. Hasil ini juga diperkuat oleh hasil penghitungan internal PKS yang memperlihatkan selisih suara sebesar 4,14 persen.

Namun bila PKS akhirnya secara suportif mengakui kekalahan pihaknya, tidak begitu dengan Gerindra. Prabowo Subianto sebagai ketua umum, mengatakan kalau ia yakin Jabar dimenangkan oleh Pasangan Asyik. Menurutnya, kemenangan Rindu tak lain disebabkan oleh kecurangan yang ia ibaratkan sebagai “Tuyul pun ikut mencoblos”.

Tudingan Prabowo ini, tak hanya ia lontarkan atas kekalahan di Jabar saja, tapi juga di sejumlah wilayah lainnya, seperti di Jateng dan Jatim. Seperti yang banyak diberitakan, calon yang didukung Gerindra di Jateng yaitu Sudirman Said dan Ida Fauziah, serta Gus Ipul dan Puti Guntur Soekarno di Jatim, juga mengalami kekalahan.

Sikap tidak menerima kekalahan Prabowo ini, mengingatkan kembali pada sikapnya yang sama saat Pilpres 2014 lalu. Kala itu, Prabowo bersama Hatta Rajasa menggugat kemenangan Jokowi – Jusuf Kalla ke Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, gugatan tersebut ditolak karena Gerindra tak mampu memberikan data dan bukti yang diperlukan.

Baca juga :  Goodbye, Erick Thohir?

Sikap Prabowo ini akhirnya menciptakan polarisasi besar antara pendukung Prabowo dan Jokowi, bahkan hingga kini. Sehingga tak heran, bila kekalahan Prabowo diibaratkan sebagai dramaturgi perpolitikan tanah air. Jadi, apakah sikap tidak menerima kekalahannya kali ini, juga merupakan upaya mempertahankan persepsi para pendukung?

Pertahankan Citra Melalui Penyangkalan

“Tetap dikatakan demokratis, ketika kekuatan masyarakat dipersatukan; dan sebagai oligarki saat terpilih dalam Pemilu.” ~ Aristoteles

Pernyataan salah satu “Bapak Demokrasi” di atas, diambil dari bukunya The Politics of Aristotle VI yang di dalamnya terangkum pemikiran-pemikirannya mengenai bagaimana demokrasi harus mampu melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Salah satu bentuk partisipasi itu, tentu saja melalui pemilihan umum seperti Pilkada lalu.

Sebagai sebuah ajang kontestasi demokrasi, tentu harus ada yang menang dan juga kalah. Sayangnya dalam Pilkada lalu, kekalahan telak diraih oleh Gerindra. Dibanding partai-partai lainnya, Gerindra berada diurutan buncit karena hanya menang di 3 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Maluku, dari 17 provinsi yang melakukan Pilgub.

Namun kekalahan di Jabar, Jateng, dan Jatim lah yang paling membuat Prabowo begitu terpukul. Sebagai pulau terpadat di Nusantara, Jawa dipercaya sebagai lumbung suara dan barometer kemenangan di Pilpres nanti. Sehingga kekalahan para cagub yang diusungnya di 3 wilayah tersebut, tentu menjadi awal buruk pencapresannya.

Berdasarkan fakta ini pula, sangat wajar bila Prabowo mulai berpikir seperti yang dikatakan Thucydides sebelumnya, yaitu melakukan penyangkalan dengan menuding adanya kecurangan yang dilakukan oleh KPU. Penyangkalan (denial), menurut Pakar Psikoanalisis Sigmund Freud, wajar terjadi saat menghadapi kenyataan yang menyakitkan.

Menurut Freud, penyangkalan merupakan pernyataan atas informasi yang dirasakan tidak benar. Umumnya, sikap ini dilakukan sebagai mekanisme pertahanan psikologis saat seseorang menerima fakta yang tak mampu diterima atau ditolak. Sehingga, ia berkeras kalau fakta itu tidak benar, meskipun telah ada bukti-bukti pendukungnya.

Dalam politik, penyangkalan ini dikenal sebagai politics of denial dan sangat umum dilakukan di dalam negeri maupun seluruh dunia. Kenyataan ini didukung oleh Michael A. Milburn dan Sheree D. Conrad dalam buku Politics of Denial. Menurutnya, kehidupan politik suatu negara sering menunjukkan penolakan atas kenyataan yang menyakitkan.

Sementara menurut William Benoit, dalam buku Accounts, Excuse, An Apologies: A Theory of Image Restoration Strategies, penyangkalan juga kerap dilakukan untuk mempertahankan citra baik suatu partai sebab elemen ‘wajah parpol’ sama pentingnya dengan citra diri ‘sang pemimpin’.

Menurut Benoit, mempertahankan citra sebagai partai yang kuat dan bersih umumnya memang merupakan tujuan utama dari komunikasi politik yang dilakukan selama kontestasi politik. Oleh karena itu, untuk memulihkan citra dari label partai yang kalah, Gerindra mau tak mau harus proaktif menggunakan metode pemulihan citra.

Baca juga :  Anies Di-summon PKS!

Dramaturgi Kekalahan Gerindra

“Pilih olehmu menjadi pihak yang kalah tapi benar. Dan janganlah sekali-sekali engkau menjadi pemenang tetapi zalim.” ~ Pythagoras

Selain dikenal sebagai “Bapak Bilangan”, Pythagoras dari Samos juga dikenang sebagai salah satu filsuf Yunani. Walau keahliannya di bidang matematika, pada suatu masa, ia juga sempat tertarik pada dunia politik. Saat itu, ia yakin kalau politik akan membantunya menyalurkan pemikiran tentang kebaikan, keadilan, dan kebijaksanaan.

Hanya saja, setelah mengikuti pertemuan dan perdebatan politik, Pythagoras memutuskan keluar – seiring dengan banyaknya filsuf yang dihukum mati akibat keterlibatannya di politik. Terlebih prinsip Pythagoras untuk menerima kekalahan selama berada di pihak yang benar, akan sulit dilakukan oleh para politikus.

Bahkan hingga sekarang pun, prinsip ideal dari Pakar Matematika tersebut masih banyak yang tidak mampu melakukannya. Terkait dengan masalah ini, tentu akan sulit bagi Gerindra untuk legowo dengan kekalahannya di Jawa, sebab pertaruhannya cukup besar, yaitu kemungkinan mengalami kekalahan di Pilpres tahun depan.

Sebagai partai oposisi yang menjadi penantang kuat petahana, sangat penting bagi Gerindra untuk membangun citra partai yang kuat. Oleh karena itu, citra sebagai partai yang bersih dan ditakuti pemerintah sangat penting dipertahankan untuk menciptakan keyakinan yang sama bagi para pemilihnya.

Berdasarkan teori citra yang diungkap Benoit sebelumnya, pada akhirnya Gerindra – dalam hal ini Prabowo, kembali menggunakan metode shifting the blame, yaitu menggeser kesalahan tersebut pada pihak lain, yaitu KPU. Apalagi secara undang-undang, upaya ini sangat dimungkinkan.

Sikap Prabowo yang enggan menerima kekalahan, dapat dikatakan konsisten dengan sikapnya saat menolak hasil Pilpres 2014, meskipun MK telah menyatakan kemenangan rivalnya. Sikap Prabowo yang selalu konfrontal terhadap kekalahannya dan menuding adanya kecurangan ini, disinyalir memang sengaja dilakukan demi menciptakan citra teraniaya atau terzalimi.

Upaya play victim Prabowo melalui sikapnya yang membesar-besarkan dugaan kecurangan atas kekalahan partainya tersebut, menurut Erving Goffman dapat disebut sebagai aksi dramaturgi. Prabowo secara sengaja mempertunjukkan dugaan tersebut, untuk mempertahankan keyakinan dan dukungan simpati dari para pendukungnya.

Berkaca dari pengalaman di Pilpres 2014 lalu, aksi dramaturgi Prabowo ini mampu menciptakan pendukung yang fanatik, bahkan menciptakan gerakan anti-Jokowi yang begitu masif di media sosial. Jadi, akankah upaya menjaring simpati dari dramaturgi kekalahan Gerindra di Pilkada ini, juga mampu memenangkannya tahun depan? (R24)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...