HomeCelotehDrama TNI dan Ancaman AS-Tiongkok

Drama TNI dan Ancaman AS-Tiongkok

Seri Pemikiran John Mearsheimer

Di tengah ancaman maritim yang terus memanas di Laut Natuna Utara dan Laut China Selatan (LCS), Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono meluncurkan sebuah kapal rudal cepat (KRC) Trimaran yang diberi nama KRI Golok-688. Apakah ini mencerminkan ambisi penguasaan laut ala pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?


PinterPolitik.com

“Whoever rules the waves rules the world” – Alfred Thayer Mahan

Siapa yang tidak tahu dengan gim-gim video berbasis strategi dan geopolitik seperti franchise Civilization? Hampir semua tahu – atau paling tidak pernah mendengar – franchise gim satu ini.

Bagi yang berjiwa nasionalis – layaknya yang digembor-gemborkan pemerintah, pemain mungkin bisa memilih peradaban Indonesia untuk dimainkan di Civilization VI (2016). Seperti seri-seri sebelumnya, peradaban Indonesia di gim ini berpusat pada Kerajaan Majapahit yang diperkirakan berkuasa di bumi Nusantara pada tahun 1293–1527.

Peradaban satu ini dipimpin oleh Gitarja di Civilization VI – di seri sebelumnya (Civilization V)dipimpin oleh Gajah Mada. Karakter Gitarja sendiri mungkin terinspirasi oleh seorang Ratu Majapahit yang berkuasa pada tahun 1328-1350, yakni Dyah Gitarja (Tribhuwannottunggadewi Jayawishnuwardhani).

Ada salah satu kelebihan yang bakal didapatkan oleh pemain bila memilih peradaban Indonesia, yakni poin bonus yang didapatkan bila memiliki tiles laut atau danau yang dekat dengan ibu kota. Selain itu, Indonesia juga bisa menguasai teknologi berlayar lebih dulu dibandingkan dengan peradaban-peradaban lain, yakni dengan menggunakan unit kapal yang bernama jong – atau djong.

Mungkin, gim ini terinspirasi oleh kejayaan masa lampau dari kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara. Kala itu, banyak kerajaan di Asia Tenggara maritim menggunakan kapal jenis djong ini.

Baca Juga: Saatnya Jokowi Belajar dari Majapahit?

Curhat Bakamla Hadapi Tiongkok

Dalam sejumlah catatan sejarah, ada berbagai bentuk dan ukuran djong yang digunakan. Bahkan, beberapa disebut memiliki fitur dan ukuran yang lebih canggih dibandingkan dengan kapal-kapal galleon ala negara-negara Eropa.

Boleh jadi, keunggulan kapal ala Nusantara ini ingin berusaha ditiru oleh Indonesia di masa kontemporer. Beberapa waktu lalu, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono meresmikan sebuah kapal rudal cepat (KRC) Trimaran yang diberi nama KRI Golok-688.

KRI Golok-688 ini merupakan salah satu kapal fast attack yang dikembangkan oleh Indonesia sendiri dan diproduksi oleh perusahaan dalam negeri, PT Lundin Industry Invest Banyuwangi. Klaimnya, KRI ini menjadi salah satu kapal siluman fast attack tercanggih di dunia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa upaya Indonesia untuk memperkuat armada laut ini menimbulkan sejumlah pertanyaan – apalagi KRI Golok-688 ini dikabarkan akan beroperasi di Laut Natuna Utara. Mengapa pengadaan kapal seperti ini menjadi penting bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)? Lalu, mampukah Indonesia mewujudkan tujuan di balik pengadaan kapal perang ini?

Saatnya ‘Rajai’ Laut (Lagi)?

Dalam geopolitik, kekuatan militer seperti ini merupakan hal yang penting bagi sebuah negara. Mengacu pada buku The Tragedy of Great Power Politics milik profesor politik dari University of Chicago, Amerika Serikat (AS), yang bernama John J. Mearsheimer, setiap negara akan berusaha memaksimalkan kekuatannya – terutama kemampuan militer – di tengah ketidakpastian anarki politik dunia.

Maka dari itu, setiap negara akan berusaha menjaga diri mereka masing-masing dengan memperkuat diri. Tidak heran apabila anggaran pertahanan Indonesia terus meningkat dari ke tahun ke tahun. Kini, anggaran untuk Kementerian Pertahanan (Kemhan) di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 mencapai Rp133,9 triliun (lebih besar 13,28 persen dari outlook APBN 2021).  

Baca juga :  Soldiers and Politactical Gambit

Upaya pengadaan kapal perang ini menjadi semakin masuk akal apabila melirik situasi geopolitik yang terjadi di sekitar Indonesia, yakni situasi Laut China Selatan (LCS) yang semakin panas antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan AS serta negara-negara sekutunya. Apalagi, baru-baru ini, Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI mengeluh akan banyaknya kapal asing yang masuk ke wilayah Laut Natuna Utara – bahkan hingga ratusan dan ribuan kapal yang berbendera Tiongkok dan Vietnam.

Keluhan Bakamla menunjukkan bagaimana anarki – situasi di mana tidak ada kekuatan yang lebih besar yang dapat mengatur – di kawasan Indo-Pasifik semakin tidak menentu. Setidaknya, ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki urgensi besar agar bisa kembali “merajai” laut – bak peradaban Indonesia di Civilization VI.

Baca Juga: Tiongkok dan Strategi “Lempar Tangan” Jokowi

Situasi juga semakin diperparah dengan kabar baru bahwa Australia, Britania Raya (Inggris), dan AS membentuk sebuah pakta aliansi yang disebut AUKUS. Kabarnya, Australia akan mendapatkan sebuah kapal selam bertenaga nuklir (nuclear submarine) dari negara Paman Sam – sebuah teknologi kapal yang baru dikuasai oleh sedikit negara di dunia, yakni hanya enam negara (AS, Rusia, Prancis, Britania Raya, Tiongkok, dan India).

Bisa jadi, kepemilikan kapal selam jenis ini juga menentukan seberapa besar kekuatan maritim sebuah negara. Isu ini pun dapat menjadi ancaman keamanan yang besar bagi Indonesia – mengingat negara dengan kekuatan besar dapat melakukan deterrence, yakni mempengaruhi sikap dan perilaku negara lain.

Siapa tahu tiba-tiba Australia bersama AS dan Britania Raya melakukan hal itu pada Indonesia di masa mendatang – memaksa negara kepulauan Asia Tenggara ini untuk memilih kubu antara AS dan Tiongkok? Padahal, pemerintahan Jokowi selama ini berupaya untuk menjaga status-quo agar tidak harus berpihak pada salah satu pihak.

Menyadari anarki dan geopolitik kawasan yang semakin tidak menentu ini, lantas bagaimana pemerintahan Jokowi harus menyikapinya? Mungkinkah Indonesia kembali menjadi the exalted ruler of the seas layaknya Gitarja di Civilization VI agar bisa lepas dari desakan bangsa-bangsa asing?

TNI AD vs TNI AL, Sebuah Penentuan?

Kerajaan-kerajaan Indonesia di masa lampau memang memiliki kekuatan yang cukup masif dalam hal kekuatan maritim. Namun, Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi tampaknya akan menghadapi banyak tantangan untuk mewujudkan kejayaan masa lalu tersebut.

Lagipula, kekuatan laut seperti ini sebenarnya penting bagi sebuah negara untuk memperkuat pengaruhnya – mengacu pada Alfred Thayer Mahan dalam bukunya The Influence of Sea Power upon History. Mahan pun mencontohkan Britania Raya yang berhasil menguasai lautan – bahkan hingga dunia.

Apa yang dijelaskan Mahan ini pun juga disebutkan oleh Mearsheimer. Setidaknya, menurut profesor politik di University of Chicago tersebut, laut dan samudra menjadi batas bagi negara manapun untuk menjadi hegemon global yang menguasai dunia. Namun, bukan tidak mungkin, siapa pun yang mampu menguasainya juga mampu menguasai dunia, bukan?

Namun, jika pemerintahan Jokowi ingin Indonesia bisa kembali merajai lautan, tentunya diperlukan juga investasi yang lebih di kekuatan maritim. Namun, meski Presiden Jokowi sempat mencanangkan doktrin Poros Maritim Dunia (PMD) di periode kepresidenannya yang pertama, pemerintah sepertinya belum sepenuhnya menuangkan usaha optimal dalam meningkatkan kemampuan militer lautnya.

Baca juga :  Rahasia Rotasi Para Jenderal Prabowo

Anggaran pertahanan, misalnya, harus dibagi ke tiga matra TNI – yakni Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU) – meskipun porsi Kemhan terus bertambah dari tahun ke tahun. Sulitnya lagi, anggaran untuk tiga matra ini tidak didistribusikan secara merata.

Baca Juga: Siasat Indonesia-Tiongkok Geser Dolar AS?

KSAL Yudo Jadi Panglima TNI

Dalam anggaran pada tahun 2020, misalnya, TNI AD mendapatkan porsi anggaran terbesar dengan bilangan Rp55,9 miliar. Sementara, TNI AL hanya mendapatkan porsi sebesar Rp22,08 miliar. TNI AU mendapatkan porsi terkecil, yakni sebesar Rp15,5 miliar.

Bukan tidak mungkin, distribusi porsi anggaran keamanan dan pertahanan ini menunjukkan bahwa terdapat dominasi salah satu matra. Banyak ahli dan pengamat – seperti Abdoel Fattah dalam tulisannya Demiliterisasi Tentara – menilai matra AD memiliki dominasi yang besar.

Padahal, matra AL dinilai membutuhkan perhatian lebih besar dengan persoalan-persoalan laut yang dialami oleh Indonesia – seperti apa yang tengah terjadi di Laut Natuna Utara saat ini. Setidaknya, asumsi soal dibutuhkannya peran matra AL yang lebih besar ini diungkapkan oleh Arif Satria dalam tulisannya Politik Kelautan dan Perikanan.

Besarnya dominasi matra AD ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh minimnya peran matra lainnya – seperti AL – dalam menentukan strategi pertahanan Indonesia. Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, misalnya, juga merupakan mantan Komandan Jenderal (Danjen) di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) AD.

Padahal, bukan tidak mungkin, penentuan strategi pertahanan dan keamanan jangka panjang seperti ini merupakan hal yang sangat vital bagi sebuah negara. Mari ambil AS sebagai salah satu contohnya.

Pasca-Perang Dunia II, AS juga dibingungkan dengan pengambilan opsi kebijakan pertahanan yang akan diambil di Mikronesia – sebuah sub-kawasan Pasifik. Pasalnya, AS mulai mempertimbangkan kemungkinan ancaman yang bisa saja datang dari Asia Timur – setelah Jepang membombardir Pearl Harbor, Hawaii.

Persoalan yang dihadapi pun sama, yakni persaingan antar-matra (intraservice rivalry) – khususnya antara Navy (AL) dan Army (AD). Perdebatan soal orientasi kebijakan ini akhirnya berujung pada penempatan unit-unit penyerangan yang gesit – dalam hal ini AS menempatkan Navy sebagai kekuatan utama guna menghalau kemungkinan ancaman dari kekuatan-kekuatan Asia Timur di masa mendatang.

Bukan tidak mungkin, Indonesia juga perlu mempertimbangkan kembali matra mana yang harus diutamakan dalam geo-strategi jangka panjang ke depannya – apalagi persoalan ini merupakan persoalan yang harus dihadapi di halaman depan Indonesia sendiri. Boleh jadi, Indonesia harus mempertimbangkan bagaimana strategi yang dapat melibatkan kekuatan lain di luar darat, seperti sea power dan air power.

Meski begitu, upaya untuk mewujudkan distribusi yang lebih merata guna membangun geo-strategi yang mumpuni bukanlah perkara mudah bagi Indonesia. Apalagi, Presiden Jokowi dihadapkan dengan dua pilihan berat dalam memilih Panglima TNI berikutnya, entah itu akan jatuh pada KSAL Laksamana Yudo Margono atau Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa yang berasal dari matra yang selama ini memiliki dominasi. Namun, pada akhirnya, seperti gim Civilization VI, semua outcome kembali kepada pilihan sang pemain. (A43)

Baca Juga: Tak Mungkin Jokowi Lepas Tiongkok?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?