Kekerasan dan demokrasi dianggap berjalan bersandingan dalam kehidupan sosio-politik Indonesia. Apakah Indonesia akan terus terjebak dalam siklus kekerasan?
PinterPolitik.com
“The violence and the killin’, so given” – Joey Bada$$, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Drama politik di Indonesia memang tidak ada habis-habisnya. Drama ini bisa dibilang selalu mencapai klimaksnya dengan terjadinya kekerasan-kekerasan yang menyertainya.
Buruknya, drama yang disertai kekerasan ini sering kali meninggalkan luka dengan munculnya korban-korban meninggal. Ambil saja kerusuhan 22 Mei lalu yang turut meninggalkan luka serupa.
Luka akibat drama kekerasan ini sempat membuat kita terkenang dengan masa lampau. Katakanlah, Tragedi Mei 1998 yang menjadi titik kulminasi konflik sosial dan politik di era Orde Baru – menyebabkan tewas dan hilangnya para demonstran serta kekerasan terhadap kelompok minoritas.
Belum lagi, drama kekerasan politik ini turut dimainkan beberapa pihak di kalangan politisi. Ada yang bilang bahwa beberapa orang pun tercancam dibunuh, seperti Menkopolhukam Wiranto dan Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya.
ok, ada rencana jahat minggu lalu. nah, sekarang kapan Pemerintah umumkan nama dan jumlah korban peristiwa 21-22 Mei? colek ah @jokowi tipis aja…
— Jogging bukan joget (@haris_azhar) May 28, 2019
Ada yang bilang bahwa kerusuhan tersebut telah direncanakan. Kivlan Zen dan politisi PPP Habil Marati misalnya, dituding terlibat dalam mendorong terjadinya kekerasan dalam Kerusuhan 22 Mei.
Beberapa pihak juga mengkritik pihak berwajib karena tampak bias dalam mengungkap penyebab kerusuhan tersebut. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) misalnya, menilai polisi tidak mengutamakan korban dalam kerusuhan tersebut.
Mungkin benar bahwa drama ini memang sulit menemui akhirnya. Apalagi, banyak pihak turut mengaduk polemik ini. Namun, mengapa siklus kekerasan semacam ini terus terjadi di Indonesia? Lantas, apakah siklus ini akan terus berlanjut di masa mendatang?
Budaya Indonesia?
Mungkin, drama kekerasan dalam peristiwa tersebut memang telah mendarah daging dalam cetakan biru budaya kita. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Prabowo Subianto pada tahun 2001 silam, budaya kekerasan merupakan bagian dari budaya Indonesia. Bahkan, kata dalam bahasa Inggris “amok” berasal dari kata Melayu “amuk” – memiliki arti sebagai kerusuhan yang melibatkan banyak orang.
Pernyataan serupa turut diungkapkan oleh penulis dan peneliti dari Human Rights Watch, Andreas Harsono. Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh South China Morning Post, Andreas mengatakan bahwa kekerasan Indonesia itu tergambarkan dalam kata tersebut.
Mungkin benar apa yang diungkapkan oleh Prabowo dan Andreas bahwa kekerasan telah tercetak dalam budaya Indonesia. Pasalnya, kekerasan memang menjadi tradisi dalam beberapa kelompok etnis Indonesia.
Sebut saja, kelompok etnis Madura. Etnis yang menempati pulau di timur Jawa ini memiliki tradisi carok. Tradisi ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Madura dengan melakukan duel antara dua pihak apabila terjadi sengketa yang tak terselesaikan, seperti permasalahan wanita.
Mungkin, DNA budaya inilah yang membuat masyarakat Indonesia rentan untuk jatuh pada jurang kekerasan politik. Pasalnya, sepanjang sejarah Indonesia berdiri, transisi politik biasanya turut dihantui oleh kekerasan.
Kata dalam bahasa Inggris “amok” berasal dari kata Melayu “amuk” yang memiliki arti sebagai kerusuhan yang melibatkan banyak orang. Share on XTragedi Mei 1998 misalnya, merupakan salah satu kekerasan politik yang hingga kini masih menjadi perdebatan. Kekerasan politik ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto.
Transisi politik yang terjadi di akhir abad ke-20 ini turut dihantui oleh konflik sosial antar-etnis, di mana kelompok minoritas Tionghoa menjadi kambing hitam dari keresahan masyarakat.
Lebih lampau lagi, terjadinya transisi politik dari Orde Lama yang dipimpin Soekarno ke Orde Baru juga disertai dengan kekerasan politik. Pada saat itu, target utama dari Gerakan 30 September pada tahun 1965 adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pendukung-pendukungnya. Sebagian anggota kelompok etnis juga menjadi korban.
Namun, apakah benar kekerasan sepenuhnya bagian dari budaya Indonesia?
Uniknya, kekerasan yang terjadi saat itu bukan hanya dipengaruhi oleh kondisi sosio-politik Indonesia. Pihak asing disebut-sebut turut mengeksploitasi kekerasan politik tersebut.
Amerika Serikat (AS), berdasarkan tulisan Vincent Bevins di the Atlantic, turut memainkan peran penting. Berdasarkan dokumen-dokumen AS, Central Intelligence Agency (CIA) disebutkan telah menyediakan peralatan komunikasi bagi Soeharto untuk menyebarkan laporan-laporan palsu.
Dokumen tersebut menjelaskan bahwa pemerintah AS memiliki informasi menyalahkan pihak-pihak PKI dalam upaya kudeta. Namun, menurut tulisan Bevins, informasi tersebut tidak akurat tetapi tetap digunakan oleh Soeharto untuk menyebarkan narasi anti-PKI.
Hal tersebut boleh jadi masih sangat sulit dibuktikan. Meski demikian, kemungkinan adanya campur tangan pihak-pihak di belakang kekerasan ini menunjukkan bahwa, kekerasan politik di Indonesia bisa saja tidak hanya berasal dari DNA budaya Indonesia.
Kolonisasi yang dilakukan Belanda di Indonesia bisa jadi turut mendorong budaya kekerasan masyarakat. Strategi divide et impera (memecah-belah dan menguasai) yang banyak diterapkan oleh penjajah dari negara-negara Barat merupakan strategi yang memiliki dampak pada masyarakat pos-kolonial.
Menurut Richard Morrock dalam tulisannya yang berjudul Heritage of Strife, strategi tersebut sebagai warisan kolonial memiliki dampak berkelanjutan yang turut tertanam dalam masyarakat negara-negara berkembang. Salah satu dampak tersebut adalah antagonisme etnis – turut menghantui kelompok etnis Tionghoa di Indonesia.
Siklus Kekerasan?
Mungkin, selain budaya, warisan kolonial, dan campur tangan asing, tendensi kekerasan masyarakat Indonesia bisa jadi berkaitan dengan sifat alamiah manusia. Banyak yang bilang bahwa kekerasan di masyarakat berasal dari sifat kehewanan yang dimiliki oleh manusia.
Beberapa penelitian juga menemukan bahwa manusia dan hewan memiliki kemiripan dalam perilaku kekerasan. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa perilaku kekerasan antara manusia dan tikus memiliki proses dan dampak yang mirip.
Namun, apakah benar manusia benar-benar memiliki kesamaan dengan hewan dalam perilaku kekerasan dan konfliknya?
Tampaknya, tidak semua ahli berpendapat sama. Peter Verbeek dalam tulisannya yang berjudul “An Ethological Perspective on War and Peace” berpendapat bahwa manusia tidak memiliki dorongan natural yang sama seperti hewan.
Verbeek melihat bahwa manusia memiliki pilihan berbeda. Menurutnya, baik manusia maupun hewan, memilih untuk berkonflik untuk mengatasi ketakutan dan empati. Perbedaannya terletak pada faktor-faktor kognitif dan emosional yang dimiliki khusus oleh manusia.
Faktor emosional ini memang dapat membuat manusia memiliki ikatan sosial tersendiri. Mengacu pada konsep asabiyyah (solidaritas atau kohesi) milik filsuf Ibnu Khaldun yang dijelaskan oleh Douglas H. Garrison dalam tesisnya, manusia membentuk kohesi dan solidaritas sosial yang didasarkan pada persamaan.
Konsep asabiyyah ini bisa juga dikaitkan dengan emosi yang dimiliki oleh manusia. Menurut Ibn Khaldun yang banyak dipengaruhi oleh prinsip-prinsip Islam, agama turut menjadi pelekat emosi bagi asabiyyah.
Selain itu, asabiyyah terbentuk dengan kesamaan kepentingan untuk meraih hasil-hasil sosiopolitik. Dalam hal ini, konflik dapat terjadi antar-asabiyyah. Menurut Mehmet Orhan dalam tulisannya yang berjudul “Political Violence, Asabiyya and Identity,” solidaritas kolektif ini dapat menjadi repertoar terhadap kekerasan politik.
Ibnu Khaldun sebagai filsuf yang melihat proses sejarah sebagai sebuah siklus menjelaskan bahwa konflik antar-asabiyyah yang disertai dengan kekerasan ini membawa pergantian dominansi. Dengan mengamati pergantian kekuasaan suku Badui di Afrika Utara, Ibnu Khaldun meyakini bahwa asabiyyah yang kuat akan menggantikan asabiyyah yang lebih lemah.
Dari sinilah, siklus kekerasan ala Ibn Khaldun akan terjadi. Keadaan ekonomi, sosial, dan politik yang dinamis membuat siklus Khaldunian terus berlanjut, di mana pergantian ke asabiyyah dominan yang baru akan selalu melibatkan kekerasan hingga generasi-generasi berikutnya.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Apakah kekerasan akan terus terjadi di Indonesia?
Bila mengacu pada filsafat ala Ibn Khaldun, siklus kekerasan di Indonesia bisa saja tetap berlanjut di masa mendatang. Situasi ekonomi, sosial, dan politik antar-asabiyyah di Indonesia bisa jadi mendorong kekerasan untuk terjadi.
Tendensi suatu kelompok untuk melalukan kekerasan dapat berujung pada keberhasilannya dalam meraih tujuan sosio-politiknya. Terdapat tiga faktor yang dapat mendorong keberhasilan tersebut, yaitu kesalihan asabiyyah dalam beragama, masyarakat yang sebagian besar homogen, dan melemahnya rezim yang sudah uzur.
Bisa jadi, dua dari tiga faktor tersebut dapat menggambarkan kondisi Indonesia pada masa kini. Kombinasi antara homogenitas masyarakat Indonesia dan kesalihannya dalam beragama yang meningkat bisa jadi membuat kekerasan semakin berpotensi untuk terjadi di Indonesia.
Apalagi, budaya kekerasan dan demokrasi yang sejalan turut menjadi fitur bagi masyarakat Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Verena Beittinger-Lee dalam bukunya yang berjudul (Un)Civil Society and Political Change in Indonesia, kehadiran kelompok-kelompok yang mempromosikan kekerasan di masyarakat turut menggambarkan persaingan politik dalam demokrasi Indonesia.
Pada akhirnya, lirik rapper Joey Bada$$ di awal tulisan menjadi relevan. Kekerasan pun mungkin telah menjadi fitur yang telah melekat di Indonesia, entah ke arah mana masa depan negara ini akan berlabuh. (A43)