Site icon PinterPolitik.com

Drama Arteria, Superioritas Pejabat Publik?

Drama Arteria, Superioritas Pejabat Publik?

Anggita Pasaribu (kiri) ketika meminta maaf ke ibu Arteria Dahlan, Wasmiar Wahab (Foto: Detikcom)

Beberapa waktu lalu atensi publik berfokus pada drama perseteruan Arteria Dahlan dengan Anggita Pasaribu. Fenomena menarik dari drama itu adalah ungkapan anak jenderal dan sebagainya, yang dianggap oleh banyak orang sebagai upaya memperlihatkan superiotitas diri. Lantas, seperti  apa fenomena pejabat publik yang selalu menunjukkan superiotitas di tengah masyarakat?


PinterPolitik.com

The superior man blames himself. The inferior man blames others.” – Don Shula, Pelatih American Football.

Pekan lalu, berita tentang perselisihan Arteria Dahlan, anggota Komisi III DPR RI dengan Anggita Pasaribu seorang perempuan yang mengaku anak seorang Jenderal TNI, ramai jadi perbincangan warganet. Terlepas dari siapa yang memulai pertikaian, melalui radar media sosial dan media massa, terlihat terjadi pertengkaran yang membawa-bawa jabatan. DPR RI vs Jenderal TNI, kira-kira begitu.

Fenomena seseorang yang mengatribusikan diri terhadap sebuah jabatan tertentu, dapat dijelaskan dengan pendekatan psikologis. Nuzulia Rahma Tristinarum, psikolog klinis dari Pro Help Center, mengungkapkan, bahwa konflik yang berujung membawa nama jabatan memang kerap terjadi karena ada kecenderungan rasa inferioritas. Dengan mengatribusikan diri pada sebuah jabatan, dapat memperlihatkan diri lebih superior dibanding orang lain.

Baca Juga: Jokowi Tidak Sadar Otoriter?

Superioritas dapat ditafsirkan sebagai upaya mengintimidasi atau mengambil benefit tertentu dari orang lain. Mungkin terpikir dalam benak kita, jika permasalahan ini hanya muncul pada beberapa orang, mungkin dapat diasumsikan bahwa ini fenomena yang jarang terjadi. Tapi yang kita lihat dalam realitas, fenomena semacam ini sering terjadi, meminjam istilah sosiolog Émile Durkheim, ini merupakan fakta sosial.

Lantas, apa yang melatarbelakangi fenomena superioritas, dalam hal ini fenomena mengatribusi diri dengan pangkat dan jabatan pada konteks sosial?

Lahirnya Superiotitas Sosial

Pada konteks sosial, fenomena superioritas dapat kita temukan saat mengkaji salah satu bagian dari teori sosiologi, yaitu stratifikasi sosial. Mungkin dalam pengalaman sehari-hari, kita mengenal istilah stratifikasi sosial, namun penulis ingin mendemonstrasikan bagaimana stratifikasi sosial dapat dipahami dengan cara sederhana, yang tujuannya untuk menemukan pemahaman tentang superioritas.

Layaknya sebuah struktur bumi yang mempunyai banyak lapisan, stratifikasi sosial pun demikian. Demikian juga yang dilakukan oleh para sosiolog awal untuk melihat fakta sosial, mereka menyandarkan kajian sosial pada fakta-fakta alam.

Dalam ilmu geologi, dapat dilihat bahwa lapisan permukaan bebatuan adalah pelapisan terhadap sebagian besar batuan sedimen dan batuan beku yang terbentuk di permukaan bumi, akibat dari aliran lava dan endapan fragmen vulkanik. Akibat gejala alam yang acak, lapisan-lapisan permukaan bumi relatif tidak merata, ada lapisan yang kuat/solid, ada juga lapisan yang lunak, pada permukaan bumi.

Seperti halnya lapisan bebatuan, dalam kehidupan sosial, lapisan sosial masyarakat terbentuk oleh individu, dan sumber daya masyarakat yang terdistribusi secara tidak merata. Orang-orang yang memiliki lebih banyak sumber daya mewakili bagian atas struktur lapisan sosial. Kelompok lain, dengan sumber daya yang semakin sedikit, mewakili bagian bawah dari lapisan sosial.

Dalam lapisan masyarakat ini, terbentuk struktur yang hirarkis, hal ini yang disebut dengan stratifikasi sosial. Bukan hanya masyarakat modern, bahkan masyarakat  primitif pun memiliki bentuk stratifikasi sosial.

Fakta sosial ini dijelaskan oleh sosiolog Pitirim Sorokin, yang menggambarkan kesetaraan dalam masyarakat sebenarnya adalah mitos yang tidak dapat direalisasikan sepanjang sejarah umat manusia. Masyarakat primitif dalam kebudayaan mempunyai stratifikasi yang itu kuat dan mengikat, disebut dengan kasta. Sedangkan pada masyarakat modern, stratifikasi ini diperkenalkan dengan istilah kelas sosial.

Baca Juga: The King of Lip Service, Apa Salahnya?

Stratifikasi sosial berarti diferensiasi populasi tertentu ke dalam kelas yang ditata secara vertical (atas-bawah) yang hierarkis. Dasar dan intinya terdiri dari distribusi beragam hak dan keistimewaan, tugas dan tanggung jawab, nilai sosial, kekuatan sosial dan pengaruh di antara anggota masyarakat.

Semua masyarakat terstratifikasi. Stratifikasi melibatkan pembagian hak istimewa yang tidak setara di antara anggota masyarakat. Stratifikasi sosial adalah pembagian masyarakat ke dalam kelompok atau kategori tetap yang saling terkait satu sama lain melalui hubungan superioritas dan subordinasi.

Di sini tergambar jelas bahwa stratifikasi sosial yang terbentuk secara hierarkis dan tidak merata melahirkan kelas superioritas dalam masyarakat.

Paulus Wirutomo, sosiolog Universitas Indonesia, menilai, orang yang mempunyai kedudukan memang memiliki kecenderungan untuk menunjukkan superioritasnya saat berkonflik dengan orang lain. Kedudukan itu digunakan untuk menakuti dan menekan orang yang melawan.

Pada konflik yang terjadi di Bandara Soekarno-Hatta, antara Arteria dan Anggita, kita dapat melihatnya sebagai pertarungan modal sosial, sebagai wujud memamerkan superioritas. Satu pihak mengatribusi keluarga pejabat militer, di pihak lain mengatribusi sebagai anggota dewan.

Jika fenomena ini dibiarkan, maka akan muncul peristiwa-peristiwa serupa pada masa yang akan datang. Negara harus hadir dan mampu memberikan batas-batas melalui hukum. Seperti yang kita ketahui, hukum hadir untuk menjaga moralitas, hukum juga mampu membentuk rekayasa sosial agar menjaga moralitas tersebut.

Lalu, bagaimana cara hukum bisa hadir dan membentuk rekayasa sosial yang diharapkan?

Hukum dan Rekaya Sosial

Realitas sosiologis di atas, yaitu seringkali pejabat menggunakan atribut kekuasaan untuk menunjukkan posisi dominan di tengah masyarakat bukanlah sesuatu yang bisa diterima secara konformis. Konformitas secara sederhana ditafsirkan sebagai sikap dan tingkah laku seseorang agar sesuai dengan norma sosial yang ada.

Perlu adanya regulasi atau hukum yang mampu mengikat perilaku tidak konformis di atas. Hal ini sejalan dengan pemikiran Roscoe Pound, seorang ahli hukum yang beraliran sociological jurisprudence, mengatakan, bahwa fungsi hukum adalah social engineering atau alat rekayasa sosial. Dalam pemikirannya, ia menyatakan bahwa putusan hukum yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan mampu merubah perilaku manusia.

Pada kondisi yang demikian, maka hukum menjadi alat pengendali penguasa terhadap rakyatnya. Hukum menjadi alat legitimasi penguasa untuk berbuat terhadap rakyatnya. Ketika kekuasaan  berada di tangan orang-orang yang baik maka hukum akan baik pula. Sedangkan penguasa yang zalim akan menggunakan hukum untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya, nyaris tanpa kendali. Hal ini terjadi di banyak negara berkembang yang mengadopsi teori Roscoe Pound.

Jika hukum sebagai rekaya sosial dapat terbentuk, maka akan muncul keharmonisan antara pejabat dan rakyat. Sebagai kelas sosial atas (pejabat publik), harusnya dapat menjadi contoh bagi masyarakat karena sikap arogansi akan mereduksi status sosial dan menimbulkan ketidakpercayaan publik. Seperti yang kita ketahui, pejabat merupakan cerminan rakyat, begitu pula sebaliknya rakyat adalah cerminan dari para pejabatnya.

Baca Juga: Indonesia Perlu Terapkan Electoral College?

Pejabat publik, seharusnya mempunyai semacam etika kewajiban untuk mempromosikan keteraturan dibandingkan menyulut  kekacauan. Konsep etika kewajiban diperkenalkan oleh Immanuel Kant dengan mempromosikan konsep imperatif kategoris dan imperatif hipotetik.

Immanuel Kant dalam bukunya Foundations of the Metaphysic of Morals, menjelaskan tentang konsep perbedaan yang mendasar antara imperatif hipotesis dan kategoris. Setiap imperatif kategoris menentukan kehendak baik seseorang, murni dalam dirinya sendiri. Sedangkan imperatif hipotesis menentukan kehendak baik seseorang, tetapi dengan tujuan atau motivasi tertentu. Seharusnya, pejabat memiliki imperatif kategoris, yakni menunjukkan etika yang baik.

Sebagai penutup, masyarakat akan menilai buruk jika tingkah para pejabat tidak mencerminkan status sosial yang dimilikinya. Hukum harus hadir mengikat perilaku tidak konformis seperti itu, karena hukum dapat menjadi alat rekayasa sosial. Selain itu, kesadaran pejabat juga dituntut, yaitu kesadaran untuk mempraktekan kewajiban moral, kewajiban untuk menjaga kondisi harmonis di tengah masyarakat.

Well, untungnya drama ini telah berakhir. Anggita telah meminta maaf ke ibu Arteria. (I76)

Exit mobile version