HomeNalar PolitikDPR Rela Potong Gaji?

DPR Rela Potong Gaji?

Belakangan ini publik kembali diramaikan oleh isu pemotongan gaji yang diusulkan beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI).  Akan tetapi, akan seberapa efektifkah pemotongan gaji tersebut dalam membantu proses penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia? Ataukah usulan ini hanya cara agar anggota DPR mendapatkan kembali simpati dari rakyat?


PinterPolitik.com

“The best actors are in Hollywood? No, no, they are in the parliaments and political parties” – David Icke, penulis asal Inggris

Dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Rakyat Indonesia (DPR RI) yang diadakan Maret tahun lalu, wacana pemotongan gaji anggota DPR sempat bergulir. Salah satu orang yang mengusulkan pemotongan gaji saat itu adalah anggota DPR dari Fraksi Golkar, Nurul Arifin. Ia mengatakan gaji DPR yang dipotong akan digunakan untuk membantu dalam mengatasi penyebaran virus Covid-19.

Hal serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra, Desmond Mahesa. Ia berpendapat pemotongan gaji lebih solutif daripada pemerintah meminjam uang ke Dana Moneter Internasional (IMF) ataupun Bank Dunia.

Di tengah-tengah pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, publik kembali diramaikan dengan isu pemotongan gaji pejabat pemerintah. Usulan ini disampaikan oleh anggota-anggota DPR RI dari berbagai fraksi.

Junimart Girsang, Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP, menghimbau para pejabat negara, anggota legislatif, dan kepala daerah memotong 50 persen gaji mereka untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Menurutnya, hal tersebut adalah tanggung jawab dari para wakil rakyat dari tingkat pusat sampai daerah.

Baca Juga: Laga DPR vs Dokter Tirta?

Ketua Fraksi Nasdem Ahmad Ali juga ikut bersuara. Menurutnya, gaji anggota DPR yang dipotong dapat digunakan untuk menyewa hotel. Hotel yang disewa nantinya dapat digunakan sebagai tempat isolasi pasien positif Covid-19.

Akan tetapi, sampai saat ini usulan tersebut masih belum terlaksana. Respons dari rakyat dalam menanggapi isu ini pun beragam. Ada yang setuju dengan usulan potong gaji DPR dan pejabat pemerintah lain, tetapi ada juga yang ragu-ragu atas usulan ini.

Memang, apakah gaji pokok anggota DPR saja yang dipotong atau dengan tunjangan sekaligus masih belum jelas. Hal inilah yang menimbulkan keragu-raguan tersendiri pada masyarakat.

Pasalnya, gaji pokok anggota DPR per bulan berkisar antara Rp 4,2 sampai dengan Rp 5 juta. Jika ditambah dengan tunjangan dan komponen lain, jumlah total yang bisa didapat anggota DPR berkisar antara Rp 66,1 juta sampai Rp 80,3 juta.

Anggota DPR berjumlah 575 orang. Jika hanya 50 persen gaji pokok saja yang dipotong, maka dana yang terkumpul untuk penanganan Covid-19 kira-kira sebesar Rp 1,207 miliar per bulannya.

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Lantas, pertanyaan yang muncul adalah mengapa anggota DPR rela berkorban demi rakyat saat pandemi dan mengapa ada rakyat yang ragu atas usulan ini. Padahal, bukankah hal yang baik kalau DPR ingin memotong gajinya?

DPR Berkorban Demi Rakyat?

Menurut survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), DPR RI berapa di posisi paling atas lembaga yang paling tidak dipercaya masyarakat dalam segi pengawasan bantuan sosial terkait penanganan Covid-19.

Hal tersebut terjadi memang karena track record DPR yang sudah buruk di mata publik. Banyaknya kasus korupsi dan arogansi adalah contoh penyebab hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR. Oleh sebab itu, tidak mengherankan rasanya jika masyarakat ragu dengan pengorbanan anggota DPR yang ingin memotong gajinya untuk membantu mengatasi pandemi.

Menurut Peter Levine dalam artikelnya yang berjudul The Question of Sacrifice in Politics pengorbanan yang dilakukan seseorang dapat menjadi tindakan politis.  Bahkan, politisi-politisi terkadang butuh melakukan pengorbanan.

Di era yang masyarakatnya aman tenteram dan situasi negara terkendali, pengorbanan yang dilakukan politisi sepertinya tidak terlalu penting dan bermanfaat. Namun, di masa-masa yang tidak menentu dan butuh perubahan, pengorbanan menjadi penting dan powerful.

Baca Juga: Relawan Jokowi Harusnya Kritik DPR

Meskipun demikian, pengorbanan dalam politik memiliki risiko yang harus kita pelajari. Dalam artikel jurnal yang berjudul Self-Sacrifice in Politics and the Corrective Power of Humility, Peter Rožič berpendapat bahwa pengorbanan dalam politik mirip dengan pedang bermata dua (double-edge sword).

Walaupun pengorbanan pejabat bisa berkontribusi untuk kepentingan umum, pengorbanan tersebut juga bisa menuju ke hal-hal yang buruk, seperti kemunafikan, bentuk manipulasi, ataupun disalahgunakan untuk kepentingan lain selain membantu rakyat. Lantas, bagaimana cara menghindari pedang bermata dua ini?

Santo Agustinus – salah satu filsuf yang paling berpengaruh di Abad Pertengahan atau era Skolastik – memiliki jalan keluar atas persoalan ini. Menurutnya, pedang bermata duadalam pengorbanan ini bisa dihindari dengan memiliki sikap rendah hati atau virtue of humility.

Jadi, jika seorang individu yang melakukan pengorbanan itu tidak rendah hati, maka pengorbanan tersebut akan terjebak di pedang bermata dua tadi. Di satu sisi mungkin pengorbanannya baik bagi kepentingan umum, tetapi di sisi lain pengorbanan tersebut bisa disalahgunakan untuk kepentingan lain, dimanipulasi, dan akhirnya menunjukkan kemunafikan.

Baca juga :  Pak Prabowo! Waspada Indonesia Debt-Su*cide! 

Bukan Fungsi DPR?

Sehubungan dengan itu, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Profesor Hamdi Muluk berpandangan bahwa belakangan ini para anggota DPR berperilaku aneh dan tidak wajar. Menurutnya, para anggota DPR yang memiliki kekuasaan sering lupa diri dan lupa tanggung jawab sehingga tidak sedikit anggota DPR yang mempertontonkan arogansinya di depan publik.

Oleh karena itu, bisa jadi isu pemotongan gaji ini juga merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi bermanfaat buat kepentingan rakyat (yang mana belum terbukti), tetapi di sisi lain dapat dipolitisasi. Apalagi, para anggota DPR saat ini tidak menunjukkan sikap rendah hati, seperti yang Agustinus sarankan.

Fenomena pemotongan gaji ini juga menjadi lebih kompleks karena nantinya akan ada dua jenis pengorbanan, yaitu pengorbanan yang sukarela (voluntary) dan pengorbanan yang tidak sukarela (non-voluntary).

Pasalnya, isu pemotongan gaji DPR ini tidak datang dari semua anggota DPR. Semacam ada permintaan atau paksaan dari beberapa anggota DPR agar seluruh anggota DPR atau pejabat pemerintah lainnya mau berkorban demi rakyat dengan memotong gajinya.

Baca Juga: Saga Panas Menag Fachrul vs DPR

Pada akhirnya, isu pengorbanan dengan memotong gaji ini rawan dimanipulasi dan dipolitisasi demi kepentingan lain selain berkorban untuk rakyat. Selain itu, bisa jadi terdapat free-riders yang mengambil keuntungan dengan pengorbanan orang lain.

Yang paling parahnya, anggota DPR atau pejabat bisa berdalih dengan alasan sudah melakukan “pengorbanan” ketika rakyat meminta pertanggungjawaban lain dalam menyelesaikan pandemi.

Melakukan pengorbanan untuk rakyat dengan memotong gaji bukanlah fungsi dari DPR sebagai lembaga legislatif. Tugas anggota DPR adalah mendesak presiden dan kementerian serta merancang undang-undang agar anggaran yang ada di proyek-proyek pemerintah. Misalnya, infrastruktur dapat direalokasikan untuk penanganan pandemi.

Barang kali, DPR dan presiden dapat mencontoh apa yang dilakukan Amerika Serikat (AS). Sebab, presiden dan anggota parlemen Negeri Paman Sam berhasil merancang undang-undang yang memuat anggaran dana darurat senilai US$ 1,9 triliun (Rp 26.600 triliun) guna mengatasi pandemi Covid-19.

Tampaknya, akan sulit menilai solutif atau tidaknya fenomena pemotongan gaji anggota DPR untuk penanganan pandemi. Sebab, seperti yang telah disebutkan di atas, jika hanya 50 persen gaji pokok anggota DPR saja yang dipotong, maka dana yang terkumpul baru sekitar Rp 1,207 miliar per bulan.

Apakah ini akan efektif untuk membantu jutaan rakyat dan penanganan pandemi? Jawabannya mungkin tidak efektif, karena biaya yang diperlukan akan sangat besar dibanding “pengorbanan” yang akan dilakukan anggota DPR.

Publik sudah seharusnya hati-hati dengan wacana pemotongan gaji yang diusulkan beberapa anggota DPR tersebut. Sebab, mengingat anggota DPR itu adalah politisi dari berbagai partai, bukan tidak mungkin isu ini akan dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk kepentingan politik. (R73)

Baca Juga: Terawan Dilindungi DPR?


spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Di Balik Seteru KPK vs Greenpeace

Sejak Firli Bahuri menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya drama yang menyangkut nama KPK tak pernah usai. Baru-baru ini, lembaga antirasuah tersebut...

Membaca Worst-Case Scenario Luhut

Jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia semakin melonjak. Pemerintah mengklaim telah mempersiapkan beberapa skenario untuk mengatasi pandemi. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko...

Penjajahan Baru Bayangi Jokowi?

Selain hilirisasi nikel, bisnis perdagangan karbon adalah bentuk ekonomi hijau Presiden Joko Widodo. Bisnis ini dinilai mampu meraup keuntungan yang besar untuk Indonesia. Akan...