HomeNalar PolitikDoublespeak Anies dan Etika Politik

Doublespeak Anies dan Etika Politik

Seperti yang telah dinanti 58 persen warga Jakarta, Anies-Sandi akhirnya dilantik, Senin (16/10) pekan lalu. Untuk mencapai titik puncaknya saat ini, Anies disinyalir menggadaikan idealisme politiknya.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]M[/dropcap]ungkin 42 persen warga Jakarta lainnya sudah bisa menebak akan ada yang geger saat pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru. Benar saja, ucapan ‘pribumi’ Anies menjadi polemik dimana-mana. Sehingga, sosok Anies sebagai antagonis semakin menjadi-jadi dan kontroversial di mata sebagian orang.

Bila dirunut kembali dalam sejarah karir politiknya, tidak kali ini saja ucapan Anies menuai kontroversi. Ada cukup banyak kontroversi lain yang pernah menyerang dirinya, termasuk ucapan-ucapannya yang bagi sebagian orang sulit dipahami. Ucapan-ucapannya tersebut, sebenarnya merefleksikan sikap politik Anies yang dalam prosesnya mengalami pergeseran.

Sikap politik merupakan penggambaran pandangan politik (political view) maupun kepentingan seseorang dalam berpolitik. Dalam kasus ‘pribumi’, misalnya, secara sederhana tergambar ‘keberpihakan’ yang dimiliki Anies. Ia berpihak kepada siapapun ‘pribumi’ yang ia maksud, dan mempertahankan dari adanya ‘musuh pribumi’, siapapun yang ia maksud.

‘Pribumi’ adalah satu langkah politik Anies yang boleh dinilai sengaja ataupun tidak sengaja, mencuri perhatian. Dari sini, terlihat posisi moral dan etika politik Anies. Apakah ia masih memegang tumpuan etika dalam berpolitik? Ataukah memang batasan etis telah ia langgar, semata untuk meraih perhatian yang dibutuhkan oleh seorang politisi?

Kompas Moral Anies

Skandal, polemik, atau kontroversi semacam ini selalu menjadi pembangkit etika politik. Pro-kontra dalam kasus ini menunjukkan ada lubang dalam etika politik kita, ada celah masalah yang menimbulkan ketidaketisan sikap seorang politisi. Dalam melihat etis atau tidaknya seseorang berpolitik, kompas moral merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur.

Menurut Franz Magnis Suseno, etika politik dapat dilihat melalui beberapa tingkat moral, yakni  prinsip keadilan, prinsip suatu bidang permasalahan tertentu, (misalnya partisipasi politik atau kesenjangan ekonomi), dan prinsip sesuai tuntutan zaman. Berdasarkan pada prinsip-prinsip tersebut, seseorang dapat diukur kadar moral politiknya.

Dalam hal etika, Anies dapat dinilai melalui janji dan sikapnya selama kampanye. Menyoal keadilan, Anies telah menggunakan retorikanya dengan baik. Misalnya dengan menjanjikan pembatalan reklamasi, penerapan OK-OCE, serta KJP-KJS Plus termasuk bagi anak-anak yang tidak bersekolah. Ketiga janji politik ini berlandaskan pada sikap moral yang sama, yaitu keadilan. Atau dalam bahasa kampanyenya, keberpihakan (bagi yang lemah).

Demikian juga dengan moral dalam urusan tertentu, misalnya partisipasi politik dan pembenahan ketimpangan ekonomi di Jakarta. Anies telah sangat baik dalam retorikanya. Misal, berkali-kali menyebut bahwa dia akan menghimpun komunikasi perkotaan yang memungkinkan warga turun tangan menyumbang solusi permasalahan kota. Gagasan yang terdengar rumit, namun cemerlang bagi peningkatan partisipasi politik, bukan?

Juga dalam hal pembenahan ketimpangan, Anies begitu gencar berkampanye untuk menyediakan rumah DP 0% dan menghentikan penggusuran. Anies jelas merasa menang di atas Ahok yang bertangan dingin dan tempramental. Dengan mengunjungi korban-korban penggusuran, secara moral Anies selalu nampak di atas angin terkait penyelesaian ketimpangan sosial di Ibukota.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Namun dalam perkara moral tuntutan zaman, Anies nampak sangat lemah. Moral tuntutan zaman di sini dapat diartikan sebagai apa yang dibutuhkan Jakarta saat ini. Dengan ragam identitas di dalamnya, Jakarta belakangan begitu terkoyak dengan aksi-aksi intoleran dari ormas radikal. Mereka menyerang, main hakim sendiri, dan mengeksploitasi kitab suci.

Anies justru terlihat begitu tenang di tengah ricuhnya Pilkada Jakarta kemarin. Ia bahkan diam melihat warga Jakarta menolak menyolatkan jenazah sesama Muslim, semata karena tidak mendukung Anies Baswedan. Anies sadar diamnya itu menguntungkan.

Menurut Haryatmoko dalam Etika Politik dan Kekuasaan, seseorang kehilangan etika dan moralitasnya apabila mendiamkan kekerasan terjadi dalam nama aksi politik. Perilaku itu secara tragis ditunjukkan Anies sepanjang masa kampanye kemarin.

“We’re deeply committed to the idea of pluralism, tolerance, peace, co-existence and one God — the same God. A bird needs two wings to fly: a left wing and a right wing.”

-Tom Khan-

Sekali lagi, penegasan mengenai kompas moral Anies di sini sama sekali tidak menyentuh sisi teknis, hukum, maupun feasibility gagasan kebijakannya. Namun, gagasan dan janji ini diukur dengan ukuran sederhana; seberapa bermoralkah Anies?

Ia tentu bermoral tinggi. Akan tetapi, gaya politiknya mengindikasikan sikap yang seringkali kurang etis. Anies bermoral namun tak etis dalam berpolitik.

Menyeberang Koalisi, Menyeberang Idealisme?

Seorang politisi yang ‘menyeberang’ ke koalisi atau partai politik lawan adalah hal umum. Terkadang, seiring dengan perpindahan koalisi tersebut, berubah pula cara pandang politik agar dapat diterima oleh kawanan barunya.

Kasus seperti ini pernah terjadi pada Ronald Reagan, Gubernur California yang kemudian menjadi Presiden AS. Saat menjadi gubernur, ia mengidolakan Theodore Roosevelt dan mengikuti jalan Partai Demokrat. Namun sejak kematian Roosevelt dan Partai Demokrat goyah, Reagan berpindah ke aliran konservatif Partai Republikan dan menjadi presiden melalui partai tersebut.

Menurut para ilmuwan politik, dalam budaya demokrasi liberal, seperti di Eropa dan Amerika Serikat, migrasi politik sangat lumrah terjadi. Seorang politisi bisa bersikap berbeda dengan partainya di parlemen, bahkan keluar dari partainya.

Di Inggris, sikap membelot dan melawan partai hingga keluar dari partainya bahkan memiliki istilah tersendiri, yaitu ‘menyeberang lantai’ (crossing the floor). Kultur politik liberal yang cenderung terasa dalam demokrasi kita, pada akhirnya turut membawa kewajaran bagi praktik menyeberang partai ini.

Anies boleh jadi adalah politisi yang pekerja keras. Walau sempat jatuh, namun ia memilih untuk bangkit lagi dengan bantuan lawan orang yang menjatuhkannya, yaitu Prabowo. Tentu sah saja ia ‘menyeberang’, namun konsekuensi dicemooh penggemar lamanya pasti akan datang. Selain itu, sudah barang tentu dia harus beradaptasi dengan kawan barunya, Gerindra dan PKS. Karenanya, politik identitas terus ia mainkan sesuai pesanan-pesanan koalisi.

“Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati.”

-Pramoedya Ananta Toer-

Namun, apabila melihat latar belakang keluarga dan pendidikan yang dimilikinya, sulit rasanya memahami migrasi yang ia lakukan. Anies merupakan cucu dari AR Baswedan, pejuang keturunan Arab yang berjuang mendapatkan pengakuan kedaulatan de jure dan de facto pertama bagi republik ini. Dan itu berhasil ia dapatkan dari Mesir.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Tak hanya bekerja bagi ‘etnisitas’ Arabnya, AR Baswedan juga sosok penggagas ‘Keindonesiaan’ bagi warga keturunan Arab dan Tionghoa, bersama mentornya, Liem Koen Hian. Ya, Baswedan yang keturunan Arab mampu berkolaborasi bersama Koen Hian yang keturunan Tionghoa dalam melahirkan ‘Keindonesiaan’ warga keturunan.

Dalam konteks penjajahan dahulu, jelas hal tersebut adalah tuntutan zaman untuk melawan fasisme Jepang. Akan tetapi, dalam konteks 2017, Anies seharusnya berhati-hati bila memainkan isu rasial seperti ini. Kerusuhan melawan ‘non-pribumi’ terjadi belum sampai 20 tahun lalu, dan dengan gegabahnya Anies menyatakan kemenangan ‘pribumi’ di bawah pimpinannya.

Foto: Detik.com

Begitu pula bila melihat kampus tempat Anies mengajar dulu, Paramadina. Sulit membayangkan seorang mantan rektor dari kampus fasilitator pernikahan beda agama, tiba-tiba lahir kembali jadi gubernur yang rasis dan ‘Muslim salah kaprah’. Saya pribadi tak percaya Anies mengubah political view-nya. Ia ‘terpaksa’ melakukan itu semua karena kendaraan politiknya menuntut demikian.

Tidak terperi bagaimana kecewanya Almarhum Nurcholis Madjid bila beliau masih hidup, kepada Anies satu tahun terakhir. Menjadi guru yang melihat anak didiknya menjual idealisme semata demi populisme Pilkada.

Lima Tahun Penuh Doublespeak?

Dalam kamus komunikasi politik, dikenal istilah doublespeak, yaitu penggunaan kata yang sengaja dipelintir maknanya guna menciptakan efek tertentu di masyarakat. Anies menggunakan doublespeak ini berulang-ulang kali selama gelaran Pilkada.

Ia memberi kredit Fauzi Bowo sekaligus diskredit kepada Ahok, merangkul FPI yang dulu ia serang, sampai membawa ‘pribumi’ dan bualan-bualan lainnya. Semua dilakukan dalam rasionalitasnya untuk mengalahkan 74 persen kepuasan masyarakat kepada Ahok.

Ada pula istilah dalam doublespeak, khusus menjelaskan ‘pribumi’-nya Anies, yakni dog-whistle politics. Ungkapan ini dipergunakan seorang politisi dengan maksud mengganggu kelompok mayoritas, namun dapat menyenangkan kelompok pendukungnya. ‘Asalkan pemilihku senang, apapun kulakukan’. Anies banget, ya?

Tentu saja Anies sadar dia telah terpilih tidak untuk bekerja bagi pemilihnya saja, namun untuk semua. Anies yang saya yakini tetap memahami pluralisme dan tenun kebangsaan. Karenanya, ucapannya yang membelah ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’ tidak perlu berlarut dilanjutkan. Lebih baik bikin adem ya, Pak. Seperti Mantan Presiden SBY yang akhirnya memuji pemerintahan Jokowi-JK, kemarin.

Janji politik Anies merupakan harapan besar bagi warga Ibukota. Melanjutkan bahkan meningkatkan pemerintahan yang baik periode 2012-2017 lalu tidaklah mudah. Sekeras apapun Anies menolak, tentu fakta tersebut tak terbendung.

Lebih-lebih, Anies berjanji membahagiakan. Ingat lho, tidak semua pihak dapat dibahagiakan sekaligus. Paling-paling Anies hanya bisa menjadi jembatan dialog—seperti gagasannya—itupun kalau Anies tidak ambruk di tengah jalan.

Pada akhirnya, Anies tidak peduli dengan kontroversi ini. Dia sudah kadung menjadi dirinya yang sekarang, yang menihilkan ucapannya dahulu. Dia tahu gayanya itu menyenangkan pendukungnya, dan semua itu yang ia perlukan sekarang. (R17)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Mengejar Industri 4.0

Revolusi industri keempat sudah ada di depan mata. Seberapa siapkah Indonesia? PinterPolitik.com “Perubahan terjadi dengan sangat mendasar dalam sejarah manusia. Tidak pernah ada masa penuh dengan...

Jokowi dan Nestapa Orangutan

Praktik semena-mena kepada orangutan mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), praktik-praktik itu terus...

Indonesia, Jembatan Dua Korea

Korea Utara dikabarkan telah berkomitmen melakukan denuklirisasi untuk meredam ketegangan di Semenanjung Korea. Melihat sejarah kedekatan, apakah ada peran Indonesia? PinterPolitik.com Konflik di Semenanjung Korea antara...