Site icon PinterPolitik.com

Doni Lawan Fundamental Attribution Error

Doni Lawan Fundamental Attribution Error

Ketua Satgas Covid-19, Doni Monardo (foto: Republika)

Hari demi hari, kasus positif Covid-19 terus dilaporkan meningkat, bahkan mencapai 3.000 kasus per hari. Tidak sedikit yang menyorot minor kinerja pemerintah dan Satgas Covid-19 terkait statistik ini. Lantas, benarkah Doni Monardo selaku Ketua Satgas Covid-19 telah gagal dalam menjalankan tugasnya?


PinterPolitik.com

Sejak pertama kali diidentifikasi pada awal Maret lalu, kasus Covid-19 di Indonesia terus mengalami lonjakan setiap harinya. Bahkan baru-baru ini, 3.000 kasus per hari menjadi rekor tersendiri. Tentu saja, statistika ini menjadi catatan minor yang dipersepsikan oleh publik.

Kritik datang bertubi-tubi. Mulai dari epidemiolog, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), hingga dari ekonom. Semuanya kompak menyebut pemerintah “salah resep” dalam menangani pandemi Covid-19.

Berbagai kritik tersebut memang cukup beralasan. Dalam keterangan Juru Bicara (Jubir) Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, disebutkan bahwa rasio jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 atau positivity rate  di Indonesia mencapai 14 persen. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan data 29 Juli lalu yang sebesar 13,3 persen.

Mengacu pada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang menetapkan standar positivity rate sebesar 5 persen dan ambang batas berbahaya di atas 10 persen, jelas sekali penularan Covid-19 di Indonesia dapat disebut dalam kondisi mengkhawatirkan. 

Situasi ini tentu akan membuat publik semakin menyorot kinerja pemerintah, khususnya Satgas Covid-19. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah dapat dinilai bahwa Ketua Satgas Covid-19, Doni Monardo telah gagal dalam menjalankan tugasnya?

Vitalnya Peran Pemimpin

Para penikmat olahraga sepakbola, tentu tidak asing dengan nama-nama pelatih beken seperti Zinedine Zidane, Jose Mourinho, Pep Guardiola, Jurgen Klopp, hingga Antonio Conte. Tidak hanya harus memboyong pemain-pemain top, sosok pelatih juga dinilai sangat penting untuk menunjang kesuksesan tim memenangkan gelar.

Kesuksesan Real Madrid dalam meraih gelar Liga Champions tiga kali berturut-turut misalnya, sosok Zidane selaku pelatih dinilai sebagai faktor kunci. Ini terlihat jelas ketika Zidane dipanggil kembali untuk melatih Los Blancos ketika tengah terpuruk pada Maret 2019 lalu. Dan sepertinya terbukti, pada tahun ini, si Putih berhasil mengalahkan Barcelona dalam perebutan gelar La Liga.

Tidak hanya pada kasus Zidane, menitikberatkan kesuksesan suatu tim sepakbola juga dialami oleh berbagai pelatih lainnya. Sebut saja contoh kasus Jose Mourinho yang dipecat dari Manchester United. Kendati terdapat faktor seperti stagnan hingga memburuknya performa pemain, kegagalan si Setan Merah meraih gelar justru dialamatkan kepada sang pelatih.

Tidak hanya pada kasus pelatih sepakbola, salah satu pemikir politik ternama, Niccolo Machiavelli dalam bukunya Discourses juga menyinggung bagaimana pentingnya kualitas suatu pemimpin berperan vital dalam keberhasilan dalam mempertahankan kekuasaan.

Machiavelli, misalnya, mencontohkan kasus David (Daud), putranya Solomon (Sulaiman), dan cucunya Rehoboam. David adalah seorang pemimpin yang luar biasa dalam perang, belajar, dan semua penilaian unggul. Karena kemampuannya yang hebat di bidang militer, Ia dapat mempertahankan kerajaan dan menaklukkan musuh-musuhnya.

Begitu pula dengan putranya Solomon, Ia mampu menjaga kerajaan peninggalan sang ayah karena mewarisi kemampuan militer dan kebijaksanaannya. Akan tetapi, ketika kerajaan diwariskan ke putra Solomon, Rehoboam, yang tidak memiliki kecakapan militer dan kebijaksaan, Rehoboam terlihat bersusah payah mempertahankan enam bagian kerajaannya. 

Sama halnya dengan sorotan kepada pelatih sepakbola dan pemimpin kerajaan seperti dalam tulisan Machiavelli, sosok Doni Monardo selaku Ketua Satgas Covid-19 tentu menjadi pusat perhatian di masa pandemi ini.  Akan tetapi, perlu untuk dipertanyakan dengan serius, tepatkah berhasil dan gagalnya suatu organisasi harus diasosiasikan kepada pemimpin/ketua/kepala organisasi terkait?

Fundamental Attribution Error

Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly turut mengulas hal ini. Pada tahun 1967 di Duke University, diadakan sebuah eksperimen, di mana partisipan diminta untuk menyampaikan argumentasi antara memuji atau menyudutkan Fidel Castro. 

Yang menarik adalah, kendati para peserta diberitahu bahwa pihak yang mengeluarkan argumentasi ditentukan berdasarkan lemparan koin, hampir sebagian besar menilai bahwa argumentasi yang dikeluarkan memang merupakan pendapat asli pihak terkait.

Temuan dalam eksperimen ini kemudian melahirkan bias kognitif yang disebut sebagai fundamental attribution error, yakni adanya kesalahan fundamental dalam melakukan atribusi atas suatu peristiwa.

Pada eksperimen tersebut terlihat jelas telah terjadi kesalahan atribusi, di mana argumentasi yang dikeluarkan dikaitkan dengan pandangan pribadi penutur. Padahal, sebagaimana diketahui, argumentasi ditentukan berdasarkan lemparan koin.

Menurut Dobelli, fundamental attribution error kerap kali terjadi pada level individu. Artinya, terdapat tendensi kuat untuk menaksir terlalu tinggi peran individu pada suatu peristiwa. Kasus pelatih sepakbola seperti Zidane dan Mourinho, ataupun kisah putra Solomon, Rehoboam dari Machiavelli adalah contoh dalam hal ini.

Padahal, jika dianalisis secara menyeluruh, terdapat faktor kompleks yang menyebabkan suatu peristiwa terjadi. Akan tetapi, karena kognisi manusia sulit menangkap informasi yang begitu kompleks dan bertentangan, informasi yang ada kemudian disederhanakan agar penarikan kesimpulan dimungkinkan untuk dilakukan. Tidak hanya sekedar disederhanakan, informasi yang dikumpulkan juga yang dinilai paling menonjol.

Oleh karenanya, pada kasus meningkatnya pandemi Covid-19, adalah suatu atribusi yang keliru untuk mengatakan bahwa Doni Monardo telah gagal dalam menjalankan tugasnya. Pasalnya, terdapat faktor-faktor kompleks yang sejatinya sulit dikontrol oleh Doni.

Ini misalnya dapat dilihat dari pernyataan epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman ketika mengingatkan agar pemerintah daerah (pemda) mengoptimalkan kebijakan testingtracing, dan treatment (3T) guna mengendalikan pandemi Covid-19. Menurut Dicky, pemda yang tidak optimal melakukan 3T, seperti menyimpan “bom waktu” yang dapat mengakibatkan ledakan kasus Covid-19.

Sekarang pertanyaannya, mungkinkah Doni memiliki kewenangan memberikan sanksi atau mengintervensi langsung kebijakan pemda? Tentu saja tidak. Bahkan, sekalipun memiliki kewenangan tersebut, aktualisasi kebijakan tetap di tangan pemda terkait.

Pada Mei lalu, Doni juga menyinggung persoalan ego sektoral sejumlah instansi saat menangani pandemi. Salah satunya adalah proses pemeriksaan spesimen di laboratorium yang belum terintegrasi. Ungkapnya, ternyata terdapat hasil pemeriksaan yang tidak dilaporkan kepada gugus tugas percepatan penanganan Covid-19, melainkan hanya dilaporkan kepada instansi terkait yang berwenang.

Konsekuensi Metodis?

Di luar persoalan fundamental attribution error, terdapat satu hal penting yang juga keliru dimaknai jika menyebut meningkatnya kasus positif Covid-19 adalah kesalahan Doni. Dalam keterangannya pada 30 Agustus lalu, jenderal bintang tiga ini mengungkapkan bahwa peningkatan kasus Covid-19 diakibatkan karena semakin tingginya pemeriksaan spesimen harian. Pada awalnya, pemeriksaan spesimen hanya di kisaran angka 2-3 ribu, namun dalam beberapa hari terakhir, jumlahnya meningkat drastis menjadi 30 ribu.

Artinya, meningkatnya kasus Covid-19 belakangan ini adalah konsekuensi dari peningkatan drastis pemeriksaan spesimen harian yang dilakukan. Kasus ini juga dapat kita temukan dalam laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah pimpinan Susi Pudjiastuti ketika menyebut stok ikan mencapai 12,54 juta ton dari estimasi awal 6,5 juta ton pada 2019 lalu.

Ketua Asosiasi Marikultur Nasional, Muhibudin menyebutkan bahwa pertambahan tersebut terjadi karena adanya perbaikan dalam metode penghitungan stok ikan, seperti menambah sampling dan item pengamatan. KKP sendiri juga mengafirmasi hal ini dengan menyebutkan penilaian stok ikan dengan beragam metodologi terus dikembangkan untuk mendapatkan data yang lebih akurat.

Dengan kata lain, tanpa bermaksud menyepelekan peristiwa, statistik peningkatan jumlah kasus Covid-19 memang merupakan konsekuensi logis dari perbaikan metodis. Oleh karenanya, dalam kacamata metode, ini sebenarnya adalah hal yang positif.

Pada akhirnya, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa adalah sebuah pemikiran yang prematur dan tidak tepat apabila menitikberatkan tingginya kasus Covid-19 kepada Doni Monardo selaku Ketua Satgas Covid-19. Di luar itu semua, tentu kita berharap agar Doni bersama dengan pihak-pihak lainnya dapat membawa Indonesia keluar dari pandemi Covid-19. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version