Seri pemikiran Fareed Zakaria #34
Gelagat kebijakan dan doktrin Presiden AS Joe Biden tampak sedikit terkuak pada bagaimana sejauh ini manuver negeri Paman Sam terhadap Tiongkok di Laut China Selatan, yang tensinya terus memanas. Akankah Indonesia dan Presiden Jokowi diuntungkan dari doktrin itu atau justru sebaliknya?
Teater Laut China Selatan (LCS) belakangan ini kembali mengindikasikan peningkatan tensi yang cukup signifikan.
Dengan justifikasi membendung manuver agresif Tiongkok, keberadaan armada laut lengkap Amerika Serikat (AS) di kawasan itu dalam beberapa bulan terakhir semakin bermakna lebih.
Hal ini setelah sekutu tuanya, Inggris, pada pertengahan bulan lalu menyepakati untuk ambil bagian dalam mengerahkan armadanya di teritori yang sama. Ya, kapal induk Inggris, HMS Queen Elizabeth akan bersanding dengan armada laut AS yang diujungtombaki oleh USS Theodore Roosevelt dalam tajuk operasi Freedom of Navigation Operations (FONOPs).
Seperti dinamika tensi ketegangan sebelumnya, pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang diminta terus memantau dan mewaspadainya. Mengingat wilayah Indonesia di laut Natuna Utara dianggap beririsan dengan klaim wilayah Tiongkok dan tak jarang disusupi kapal milik otoritas negeri Tirai Bambu.
Salah satunya ialah yang disampaikan oleh Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan, yang meminta pemerintah untuk bersiap di perairan Natuna Utara yang berbatasan langsung dengan LCS.
Perseteruan itu disebut tidak boleh dianggap remeh karena aksi Tiongkok yang telah membuat klaim sepihak terhadap LCS, membuat AS dan bahkan belakangan Inggris juga turut ikut campur. Politisi Partai Demokrat itu menyebut kondisi ini berpotensi menjadi perang terbuka yang berakibat fatal.
Baca juga: Bisakah Biden “Bujuk” Jokowi?
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Profesor Arry Bainus, menyebut bahwa Indonesia pantas merasa sangat khawatir jika ketegangan situasi di Laut China Selatan terus meningkat dan berpotensi menjadi perang terbuka. Antisipasi atas berbagai skenario terburuk lantas dinilai memang lazim untuk segera dilakukan Indonesia.
Suara dan kebijakan Presiden Jokowi sebagai panglima tertinggi pun agaknya cukup dinantikan setelah terakhir kali tercatat secara konkret merespons isu serupa ialah pada awal tahun lalu.
Menarik ketika dalam hal ini aktor-aktor yang berseteru, yakni Tiongkok dan AS adalah dua negara yang punya prospek kerja sama positif bagi eks Wali Kota Solo. Terlebih AS, yang kini tengah menatap era baru di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden.
Lalu khusus bagi AS, apakah dinamika dan langkah negeri Paman Sam di LCS belakangan ini telah menggambarkan doktrin kebijakan luar negeri dan geopolitik dari Biden yang sesungguhnya sebagai Presiden anyar AS? Serta apakah dampaknya secara umum justru akan “meresahkan” bagi Indonesia seperti yang terjadi di LCS baru-baru ini?
Biden, Seorang Hawkish atau Dovish?
Doktrin, sejak lama telah menjadi subjek vital di tiap kepemimpinan AS sebagai negara adidaya karena dapat memberikan definisi tertentu dari arah geopolitik dan stabilitas keamanan global.
Doktrin George W. Bush misalnya, ialah memburu teroris dan menyebarkan demokrasi, bahkan dengan menggunakan senjata jika diperlukan. Lalu Barack Obama, yang doktrinnya cenderung menghindari konflik “tak perlu” seperti Perang Irak. Sementara doktrin Donald Trump adalah untuk menghentikan sekutu dan institusi internasional memanfaatkan eksistensi dan “kekayaan” Amerika.
Dalam sebuah publikasi berjudul In Search of the Biden Doctrine, Dominic Tierney dari Foreign Policy Research Institute mencoba menelisik akan seperti apa doktrin Joe Biden kelak jika dilihat dari track record-nya.
Sebagai Presiden, Biden disebut memiliki karakteristik doktrin yang cukup unik, berbeda dengan Bush, Obama, atau Trump. Postulat ini sendiri berangkat dari karakteristik visi sepanjang kiprah politiknya.
Saat menjabat sebagai senator, Biden dianggap cenderung moderat. Di satu sisi, Ia mendukung invasi Grenada pada tahun 1983 dan Invasi Panama pada tahun 1989. Namun di sisi lain Biden juga kemudian menentang pendanaan kontra pemberontak di Nikaragua, serta awalnya memilih untuk tidak sepakat dengan langkah AS di Perang Teluk.
Sementara sejak 1991 sampai 2003, Biden disebut merepresentasikan tendensi hawkish. Dalam sebuah publikasi berjudul Metaphors in International Relations Theory, Michael Marks menjelaskan definisi hawkish atau hawk yang memiliki makna dan simbolisme elang, sebagai sosok yang mengedepankan kebijakan garis keras yang tak ragu untuk berperang, proaktif, intervensionis serta bertendensi militeristik.
Karakter hawkish Biden terlihat saat Ia dengan cepat menyesali sikapnya sendiri karena menentang perang Teluk dan mengkritik Bush senior karena mengakhiri kampanye militer terlalu cepat dan membiarkan Saddam Hussein berkuasa.
Baca juga: Huawei, Rintangan Jokowi dan Biden?
Biden juga kemudian mendukung intervensi militer AS di Balkan, mendukung Perang Kosovo pada tahun 1999, Perang Afghanistan pada tahun 2001, dan sepakat dengan penggunaan kekuatan militer resmi AS di Irak tak lama setelahnya.
Namun pasca menyadari cost dan sentimen Perang Irak, Biden dikatakan cenderung dovish atau yang berupa simbolisasi merpati, di mana Marks definisikan sebagai sosok yang cenderung menghindari konflik militer terbuka dengan mengedepankan negosiasi tertentu.
Hal itu tercermin dari penentangannya atas penambahan pasukan di Irak, Afghanistan, dan Libya. Biden memang mendukung kampanye melawan ISIS dan eskalasi perang drone, namun Ia mengkritik keputusan Trump untuk membunuh Jenderal Iran, Qasem Soleimani.
Dengan berbagai kecenderungan itu, Tierney menyebut bahwa sebagai Presiden yang memiliki keputusan vital, Biden kemungkinan besar akan mengarah kepada tendensi hawkish dalam hal keamanan dan militer, bersamaan dengan tantangan baru yang muncul dari Tiongkok.
Namun, hal itu agaknya akan sulit diartikulasikan secara konsisten oleh Biden, utamanya terhadap Tiongkok. Fareed Zakaria menyoroti hal tersebut secara komprehensif dalam Lowy Lecture 2020 yang diselenggarakan oleh Lowy Institute.
Menurutnya, bipolaritas dua kekuatan yang terjadi tak akan selalu atau sepenuhnya konfrontatif. Zakaria menyebut bahwa dalam isu tertentu seperti perdagangan, hubungan AS dan Tiongkok sesungguhnya cukup hangat dengan catatan sekitar US$ 2 miliar (Rp28,17 triliun) per harinya.
Karena itulah, hubungan AS dan Tiongkok di bawah administrasi Biden diprediksi tetap akan sangat dinamis, dalam bingkai yang merefleksikan berbagai karakteristik relasi yang secara komprehensif telah terbangun selama ini. Relasi seperti kerja sama dan partnership, juga akan diiringi dengan containment hingga deterrence dalam waktu yang bersamaan.
Meski pada konteks LCS kemungkinan besar karakteristik deterrence seperti saat ini memang tampaknya akan tetap terjadi, namun agaknya sangat sulit bagi Biden untuk membiarkan eskalasinya berubah menjadi sebuah perang terbuka. Dan secara umum, tampaknya hal itu juga menggambarkan bahwa doktrin Biden ke depannya yang cenderung dovish.
Lantas, seperti apa pengaruhnya bagi Indonesia?
Peluang Emas Jokowi?
Setidaknya karakteristik dovish memang tepat dianut Biden, yang sekaligus juga tampaknya akan berdampak positif bagi Indonesia. Brad Nelson dalam The ‘Biden Doctrine’ in Southeast Asia menyebut, berbeda dengan Trump – yang mana di balik kerja sama yang ditawarkan, cenderung membuat negara-negara Asia Tenggara harus memilih dan memihak ketika dihadapkan pada isu Tiongkok-AS – Biden dinilai akan lebih terbuka dan inklusif.
Biden dianggap akan memandang hubungan AS-Tiongkok sebagai positive sum game atau semua pihak dapat diuntungkan, di mana hal ini disebut Nelson akan memungkinkan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk lebih bebas berinteraksi dengan AS maupun Tiongkok.
Baca juga: Ada Biden di Reshuffle Jokowi?
Terlebih Indonesia memang menganut politik luar negeri bebas aktif yang berulang kali menegaskan bahwa tak akan berpihak di antara kompetisi yang terjadi antara AS dan Tiongkok.
Selama ini, kemungkinan memang prasyarat itu lah yang menghambat kerja sama Indonesia dan AS, plus membuat Tiongkok lebih leluasa menanamkan pengaruhnya melalui berbagai investasi di Indonesia.
Dengan inklusivitas sebagai dasar doktrinnya, isu apapun yang akan dijajaki Biden dalam merangkul sekutunya boleh jadi akan berjalan dengan mulus.
Kecenderungan doktrin Biden yang demikian plus isu keamanan LCS yang tak akan sampai pada konflik terbuka, sepertinya juga akan membuka peluang besar bagi Indonesia untuk dapat bekerja sama dengan AS.
Sekaligus, dapat pula membantu Presiden Jokowi untuk lebih jernih melihat isu keamanan di LCS, serta pengaruhnya pada fleksibilitas hubungan dengan AS maupun Tiongkok.
Ihwal yang juga punya prospek positif dalam upaya menyeimbangkan pengaruh Tiongkok di tanah air, dengan kerja sama di berbagai aspek seperti di bidang pertahanan, hingga terus membuka penjajakan investasi AS yang lebih intensif dan telah diagendakan sebelumnya.
Seperti yang Zakaria utarakan, tantangannya bagi Biden kini untuk dapat mengimplementasikan doktrin ataupun kebijakan luar negeri lainnya, ialah bagaimana Ia terlebih dahulu dapat mengatasi pandemi Covid-19 dan dampak turunannya di dalam negeri.
Namun yang jelas, probabilitas cukup sulitnya pecah perang terbuka di LCS tetap tak boleh membuat pemerintahan Presiden Jokowi luput untuk meningkatkan kewaspadaan dan memperkuat pertahanan Indonesia. Itulah harapan kita bersama. (J61)
Baca juga: Biden, Jokowi dan Perangkap Pan-Asianisme
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.