Site icon PinterPolitik.com

DKI Kini Anti-Transparansi?

DKI Kini Anti-Transparansi?

Foto: Reuters

“Kalau masalahnya adalah transparansi silahkan telusuri. Kami open kimono kok, enggak ada masalah. Problem tentang akuntabilitas enggak ada masalah sama sekali,” Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno


PinterPolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]emewahan yang selama ini dinikmati warga Jakarta untuk menyaksikan pembuatan kebijakan di provinsi mereka sepertinya akan berakhir. Transparansi proses pembuatan kebijakan tersebut akan mengalami perubahan. Pemprov DKI Jakarta nampaknya akan menghentikan pengunggahan video rapat pimpinan (rapim) di kanal Youtube mereka.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menilai bahwa kebiasaan mengunggah video tersebut lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat. Ia menyebut bahwa video rapat tersebut menimbulkan perpecahan di antara warga Jakarta. Menurutnya hal tersebut memiliki potensi menimbulkan cibir-mencibir dan ejek-mengejek di antara masyarakat.

Sandiaga menilai bahwa keputusan ini tidak berarti Pemprov DKI Jakarta tidak lagi transparan. Ia menuturkan bahwa tidak ada yang ditutup-tutupi dari pemerintahannya. Baginya transparansi tetap ada meski kini dengan prosedur berbeda.

Wakil Ketua Dewan  Pembina Partai Gerindra tersebut menyebut bahwa Pemprov DKI akan meniru negara dengan transparansi yang baik yaitu Belanda. DKI akan mengadopsi prosedur di Belanda di mana untuk mengakses video rapat diperlukan surat permohonan terlebih dulu.

Untuk menentukan apakah pemerintahan Jakarta masih transparan atau tidak, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa makna dari transparansi.

Membedah Teori Transparansi

Transparansi merupakan hal yang  penting untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Secara umum, orang cenderung sepakat jika semakin transparan suatu pemerintahan maka semakin demokratis dan akuntabel pemerintahan tersebut.

Meski dianggap amat penting, belum ada kesepakatan umum mengenai apa yang disebut dengan transparansi dalam pengambilan kebijakan publik. Konsep ini kerapkali terancukan dengan istilah lain  seperti akuntabilitas, partisipasi publik, dan deliberasi.

Salah satu teori yang cukup komprehensif  menjelaskan istilah ini adalah dari Vishwanath dan Kauffmann. Menurut keduanya, transparansi diartikan sebagai meningkatnya aliran informasi ekonomi, sosial, dan politik secara rutin dan dapat dipercaya kepada pemangku kepentingan yang relevan.

Jika diturunkan menjadi indikator, pengukuran dapat dilakukan dengan menilai akses keterbukaan informasi dan publisitas. Oleh karena itu, penting untuk melihat frekuensi dan kualitas dari kedua hal tersebut untuk menilai transparansi.

Ada yang Dibuka, Ada yang Ditutup

Melihat pemerintahan DKI di bawah Anies-Sandi ada beberapa langkah yang mereka lakukan terkait aliran informasi. Memang, beberapa kebijakan pemerintahan sebelumnya tetap dipertahankan, tetapi ada pula beberapa kebijakan lain yang ingin diubah.

Untuk menilai keterbukaan informasi pemerintahan Anies-Sandi, ada beberapa kebijakan yang dapat dinilai. Kebijakan ini umumnya berkaitan dengan kemudahan akses masyarakat untuk mendapat informasi tentang penggodokan suatu kebijakan.

Dalam pembuatan anggaran, pemerintahan DKI saat ini masih mempertahankan sejumlah sistem yang ditinggalkan pendahulunya. Masyarakat dapat mengakses informasi anggaran yang tengah digodok melalui apbd.jakarta.go.id.

Beragam kenaikan anggaran yang terjadi pada APBD 2018 dapat dipantau oleh masyarakat. Masyarakat juga bisa melakukan kritik terhadap anggaran yang dirasa tidak wajar. Keterbukaan sistem ini diakui oleh Anies amat membantu. Kritik dari masyarakat yang melihat anggaran tersebut membantunya untuk melakukan sejumlah perbaikan.

Anies-Sandi juga masih mempertahankan Jakarta Smart City – sebuah sistem informasi yang ada di DKI Jakarta. Mereka menggunakan sistem ini sebagai sumber informasi utama warga Jakarta. Hal ini berlaku pula untuk media. Sandiaga menyebut media sebaiknya menggunakan portal ini terlebih dahulu untuk mendapat informasi awal.

Meski mempertahankan sistem tersebut, pemerintahan Anies-Sandi juga melakukan perubahan. Semula, pemerintahan DKI Jakarta di bawah Jokowi-Ahok memulai tren pengunggahan video rapat. Di era Anies-Sandi awalnya tren tersebut akan dilanjutkan. Meski begitu mereka melakukan perubahan dan memutuskan untuk menghentikan tren tersebut.

Sandiaga menuturkan bahwa keputusan tersebut tidak berarti mereka tidak mendukung keterbukaan informasi. Ia menyebut bahwa video rapim atau informasi apapun dapat didapatkan warga. Meski begitu kini caranya tidak lagi semudah dulu.

Wagub DKI ini menyebut bahwa warga yang ingin mengakses informasi seperti video rapim maka mereka perlu melakukan pengajuan resmi menggunakan surat. Ia menilai hal ini serupa dengan praktik yang terjadi di Belanda. Belanda disebutnya sebagai negara dengan transparansi terbaik.

Dalam unsur publisitas, salah satu pengukuran yang paling mudah dilakukan adalah dengan menilai kebebasan pers. Di era Jokowi-Ahok, pintu balai kota DKI cenderung dibuka lebar untuk para pewarta. Para jurnalis dapat melakukan doorstop pada kedua pemimpin tersebut.

Di era Anies-Sandi unsur publisitas tersebut mengalami perubahan. Banyak wartawan yang menggambarkan bahwa kini gubernur dan wakil gubernur lebih irit berbicara. Ada banyak pertanyaan yang enggan dijawab oleh orang nomor satu dan nomor dua di DKI tersebut.

Tidak hanya irit berbicara, di era ini juga ada pembatasan dalam aktivitas peliputan di balai kota. Wartawan yang biasanya bebas melakukan doorstop di manapun, kini hanya dapat melakukannya di area Balairung saja. Selain itu terdapat pula penyeleksian pertanyaan yang akan diajukan wartawan. Langkah ini disebut agar jalannya wawancara menjadi lebih tertib.

Selain itu, ada beberapa rapat yang tidak dapat diliput media. Salah satu rapat yang biasanya terbuka adalah rapat pembahasan Kebijakan Umum Anggaran Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS). Di era Anies-Sandi para pewarta dilarang masuk ke dalam ruangan dan meliput jalannya rapat tersebut.

Sudahkah Anies-Sandi Transparan?

Melihat sisi keterbukaan informasi, ada langkah yang menjadi penanda Anies-Sandi masih berusaha mempertahankan transparansi. Langkah mengunggah anggaran di apbd.jakarta.go.id adalah salah bentuk usaha tersebut. Masyarakat dapat melihat dan bahkan membangun beragam wacana terkait pengganggaran di ibukota.

Meski begitu, langkah untuk menghentikan pengunggahan video rapim dapat dinilai sebagai langkah mundur. Akses video yang semula dapat dilakukan dengan mudah, kini perlu melewati jalur resmi yang tentu saja akan lebih sulit. Tidak semua orang akan bisa mengakses informasi tersebut. Jika dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, kondisi ini adalah sebuah langkah mundur.

Pemprov DKI menyebut prosedur ini mirip dengan Belanda, salah satu negara dengan transparansi terbaik. Negeri kincir angin tersebut bisa digunakan sebagai salah satu pembanding untuk transparansi. Belanda menduduki posisi kelima dalam indeks transparansi global. Di Belanda memang diperlukan surat resmi untuk mendapatkan informasi semacam itu.

Meski begitu, aturan hukum di berbagai negara terkait transparansi dapat bermacam-macam. Meksiko sebagai salah satu negara yang dianggap memiliki keterbukaan yang baik, memiliki aturan bahwa untuk mengakses informasi apapun tidak perlu surat bahkan kartu identitas pun tidak diperlukan. Baik warga negara Meksiko atau bukan memiliki hak untuk mendapat informasi seluas-luasnya.

Beberapa negara lain bahkan menyiarkan langsung pertemuan-pertemuan city council secara live streaming.  Hal ini terjadi misalnya di Selandia Baru dan Kanada.Melihat konteks tersebut, apa yang dilakukan Anies-Sandi dapat dikatakan menunjukkan kemunduran dalam keterbukaan informasi. Informasi yang sudah sangat mudah didapat kini perlu melalui alur yang cenderung formal.

Dari sisi publisitas, kebebasan pers di era Anies-Sandi juga mengalami kemunduran. Interaksi antara orang nomor satu dan dua di Jakarta dengan media kini berkurang. Banyak wartawan yang mengeluhkan peliputan di area balai kota DKI tidak seterbuka dulu. Para pejabatnya kini lebih irit berbicara dan terkesan mengelak dari media. Ada pula batasan dalam aktivitas peliputan di balai kota DKI Jakarta.

Meski tidak sepenuhnya menghilangkan, hal ini menjadi indikasi adanya pengurangan kebebasan pers di balai kota. Media yang semula lebih bebas bertanya dan meliput kini harus mengalami sejumlah pembatasan.

Terlepas dari kondisi-kondisi tersebut, cap tidak transparan nampaknya masih terlalu buru-buru diberikan. Pemerintahan Anies-Sandi masih mempertahankan sejumlah sistem yang memberikan keterbukaan tentang jalannya pemerintahan. Situs APBD dan Jakarta Smart City adalah contohnya.

Walaupun demikian, perlu diakui pula ada kemunduran dari pemerintahan mereka yang baru seumur jagung ini. Kebijakan menghentikan pengunggahan video rapim adalah salah satu kemunduran jika dibandingkan dengan kebijakan pendahulu mereka. Keputusan untuk membatasi interaksi dengan media juga merupakan ciri dari kemunduran dalam hal publisitas. (Berbagai sumber/H33)

Exit mobile version