Mengawali 2018 sebagai tahun politik, Presiden Jokowi melantik kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Djoko Setiadi, untuk menghalau hoax. Djoko Setiadi sudah paham makna hoax belum, ya?
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]aru dilantik, nama Djoko Setiadi langsung melejit di trending topic urutan pertama Twitter. Sayangnya, bukan pujian yang datang, Warganet lebih merasa bingung dan was-was karena pernyataannya.
Bagaimana tidak was-was? Dalam pidatonya, pengagum Roebiono Kertopati (Bapak Sandi Indonesia) ini mengajak untuk memerangi hoax tapi membiarkan hoax yang ‘membangun’. “Tentu hoax ini kita lihat, ada yang positif dan negatif … Kalau hoax itu hoax yang membangun ya silakan saja,” katanya.
Masalahnya, apa yang dimaksud dengan #HoaxMembangun? Apakah benar ada hoax semacam itu?
Presiden @jokowi telah melaksanakan janji kampanyenya utk menyelesaikan kasus2 pelanggaran HAM masa lalu, kasus Trisaksi, Semanggi I – II, Petrus, Tanjung Priok, Talangsari, kasus 1965, Pulau Buru, Papua, pembunuhan Munir, Marsinah, penculikan aktivis, dll. -Blv#HoaxMembangun
— bilven (@sandalista1789) January 3, 2018
Sebelum lebih jauh membahasnya, perlu diketahui kalau Kepala BSSN yang nantinya bertanggung jawab langsung ke Presiden Jokowi ini, sudah lama malang melintang di Lembaga Sandi Negara, yaitu sejak 1977.
Ia pernah menduduki jabatan sebagai Direktorat Pengamanan Sinyal dan Deputi pengaman Persandian (Deputi II), serta lulusan Akademi Sandi Negara (AKSARA). Djoko juga sangat mengidolakan dr. Roebiono Kertopati, salah satu pencetus kode rahasia negara di awal kemerdekaan Indonesia.
Polemik ‘HoaxMembangun’
Akibat ramainya respon masyarakat yang cenderung negatif, Djoko akhirnya mengoreksi pernyataannya tersebut dan meminta maaf. Namun saat dikonfirmasi kembali soal arti ‘Hoax yang Membangun’, ia menerangkan kalau saat ini ada yang namanya kritik menjelekkan dan yang membangun. “Jadi dikurang-kurangi lah (hoax yang menjelekkan) itu,” tegasnya.
Seperti konfirmasinya di sebuah surat kabar nasional, ia memberikan contoh mengenai hoax yang membangun. “Misalnya di Jakarta kan lagi banyak pembangunan jalan untuk infrastruktur. Jalan ditutup, warga bingung mau lewat mana. Dari pihak pemerintah yang berwenang tidak ada solusi, jadi menimbulkan kemacetan kan. Kalau mau belok, berputar jauh sekali. Nah ini, kalau dikritik berarti sifatnya membangun supaya kita mencari solusi, sehingga tidak terjadi kemacetan di mana-mana.”
Menelusuri pemaparan mengenai hoax dari Mantan Direktorat Pengamanan Sinyal dan Deputi Pengamanan Persandian (Deputi II) di atas, kemungkinan besar ia mempersepsikannya dengan ‘kritik membangun’ alih-alih menjadi ‘hoax membangun’.
Padahal berdasarkan kamus Mariam Webster, hoax masuk ke dalam pengertian sebagai sebuah penipuan. Secara kata kerja, kata hoax mengandung arti trik untuk mempercayai atau menerima sesuatu yang salah, bahkan yang tidak masuk akal.
Bahkan Lynda Walsh dalam bukunya berjudul Sins Against Sciences, secara sederhana menyebut hoax adalah kabar bohong. Istilah hoax sendiri muncul dan berkembang secara perlahan sejak era industrial masuk di Inggris tahun 1808.
Pemakaian kata hoax diambil dari frasa hocus pocus (sim salabim) yang biasa disebutkan seseorang ketika hendak bermain sulap. Sama seperti sulap, kehadiran hoax yang tiba-tiba, bisa membuat kaget bahkan geger bagi yang menyaksikannya.
Jika berbicara tentang hoax, maka sulit untuk menghindari pembicaraan tentang penyebarannya. Ini pula yang sudah diteliti oleh Institute Capital di University of Liverpool, Simeon Yates yang memulai penelitiannya dengan pertanyaan, ‘mengapa sih banyak orang bisa percaya hoax dan ikut menyebarkannya?’ Melalui pertanyaan itu, ia kemudian melihat adanya andil dari fenomena gelembung dalam penggunaan media sosial.
Kenapa media sosial? Sebab di sanalah tempat persebaran hoax yang sangat masif dan merajalela. Nah, apa pula maksud dari gelembung dalam media sosial? Gelembung ini dimaksudkan sebagai interaksi dengan orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan diri sendiri. Gelembung ini, membuat seseorang hanya ingin mendengarkan dan menerima berita sesuai dengan keyakinannya saja dan menganggap berita di luar itu sebagai dusta.
Teori lain juga menyebutkan, penyebaran hoax bisa kembali ke model lama, yakni bertumpu pada opini pemimpin atau mereka yang memiliki pengaruh di jejaring sosial. Kabar bohong yang beredar di media sosial menjadi besar ketika diambil oleh situs atau pelaku terkemuka yang memiliki banyak pengikut.
Kembali pada Djoko Setiadi, pengertian yang didapatnya soal hoax agaknya memang keliru sejak awal, sebab tak ada yang dinamakan hoax positif seperti yang diklaimnya itu. TB Hasanudin, anggota DPR RI komisi I juga mengamininya. Ia lugas menyebut kalau Djoko tak memahami pengertian hoax yang sesungguhnya.
Lebih lanjut, politikus dari partai PDI Perjuangan ini menjelaskan hoax adalah kata yang negatif. “Pengertian hoax saja sudah negatif, lantaran bersifat fitnah, memutarbalikkan, dan pencemaran nama baik. Jadi, bagaimana mungkin hoax bisa diartikan positif. Agar dipahami Kepala BSSN, bahwa hoax itu bukan kritik, jadi tidak ada hoax yang membangun,” tegasnya.
Hoax, Soeharto dan Jokowi
Membahas mengenai kritik, pendirian BSSN oleh Presiden Jokowi di tahun politik, di mana Pilkada di tiap provinsi akan diselenggarakan, merupakan langkah ‘antisipasi’ yang logis. Serangan siber berupa hoax pasti akan mengalir deras.
Ini pula yang disampaikan oleh pakar siber nasional Pratama Persadha, “2018 adalah tahun yang akan lebih berat bagi kita melawan ancaman siber dalam berbagai bentuk. Harapannya BSSN dengan segala wewenang dan fungsinya bisa menjalankan tugas untuk mengawal dan mengamankan wilayah siber di tanah air,” tutur petinggi Communication and Information System Security Research Center ini.
Dari catatan Indonesia Security Incident Response Team of Internet Infrastructure (ID-SIRTII), pada Januari hingga November 2017 saja sudah ada lebih dari 200 juta serangan siber di Indonesia. Sementara itu, di tahun 2016, serangan siber hanya terjadi sekitar 100 juta, betul-betul peningkatan yang sangat signifikan.
Cara Presiden Jokowi dalam menghalau serangan siber ini juga dipuji oleh pakar siber nasional. Jika membandingkannya dengan strategi Soeharto dalam mengontrol pemberitaan agar sesuai dengan kehendaknya, cara yang diambil Jokowi memang berbeda.
Di masa Soeharto, di mana perkembangan digital belum maju seperti saat ini. Produksi berita berlangsung secara dominan di media cetak. Soeharto saat itu mengeluarkan aturan konstitusi untuk mengekang kebebasan menyampaikan pendapat di ranah media cetak. Pers yang melakukan kritik dibungkam oleh rezim. Pembungkaman itu secara sistematis dilakukan dengan menerbitkan Undang-Undang Pers tahun 1966 yang menyebutkan bahwa penerbitan surat kabar wajib memiliki dua izin yang berkaitan.
Waktu itu, dua izin yang diterima pemerintah adalah Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan. Sementara yang kedua adalah Surat Izin Cetak (SIC) yang diberikan oleh lembaga militer KOMKATIB. Jikalau suatu lembaga pers tidak memiliki perizinan itu, maka medianya akan dibredel oleh pemerintah.
Di masa Soeharto, bukan berarti hoax tidak ada. Justru hoax diproduksi sendiri oleh pemerintah. Misalnya saja, hoax mengenai G30S PKI. Propaganda ini, disebutkan oleh peneliti senior, Ignatius Haryanto, menjadi hal untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto. Di masa setelahnya, media arus utama, terutama media televisi dan cetak, juga hanya menampilkan pemberitaan yang sifatnya positif saja terhadap pembangunan dan Pemerintahan Soeharto.
Sementara di masa Pemerintahan Jokowi, perkembangan berita hoax di era digital sudah sangat menyebar. Siapapun bisa memproduksi hoax–nya sendiri. Berbeda dengan era Soeharto, hoax di masa Jokowi tidak beredar untuk ‘mendukung’ pemerintah, tetapi malah mencoba merongrong pemerintah.
Salah satu hoax yang pernah menimpa Jokowi dan dinyatakan sebagai berita bohong oleh pihak pemerintah, adalah datangnya pekerja asal Tionghoa untuk mengambil lahan pekerjaan di Indonesia. Padahal itu tak pernah terjadi. Menanggapi kabar tersebut, Jokowi hanya berpesan, kalau keberadaan hoax dan berita bohong seharusnya bisa menjadikan kita lebih dewasa dalam berdemokrasi.
Nah, selain mendewasa seperti yang disebutkan Jokowi, mengenal dan memahami dengan baik pengertian hoax sepertinya juga penting didahulukan. Pasti malu dong di-cengin karena salah ucap? Apalagi yang ‘salah’ ini Kepala BSSN yang akan membasmi hoax. Apa kata dunia? (Berbagai Sumber/A27)