Jenderal (Purn) Djoko Santoso sangat berdedikasi punya kemampuan melobi, dekat dengan semua kelompok dan bisa diterima oleh semua kalangan.
Pinterpolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]erang dalam dunia militer dan dunia politik bisa dikatakan mirip-mirip. Keduanya memerlukan strategi yang sama-sama terukur dan seksama agar tujuannya (goals) tercapai. Begitu kira-kira yang dikatakan oleh Carl von Clausewitz – seorang ahli perang Prusia – dalam bukunya On War. Kini Indonesia memasuki perang politik di mana ada dua kontestan yang siap bertarung dalam pemilihan presiden di tahun depan.
Beberapa waktu lalu, semua orang sibuk dengan drama penentuan calon wakil presiden dari masing-masing kubu. Semua tahu, akhirnya nama Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno yang diumumkan. Hal itu akibat tarik-menarik kepentingan dan hasrat partai politik yang ingin mengamankan kursi cawapres.
Sejurus dengan kursi wakil presiden, posisi ketua tim kampanye juga menjadi incaran partai koalisi. Pos-pos tim pemenangan disebut cukup “seksi” dan memiliki daya tawar kedepannya.
Menariknya, di kubu Prabowo muncul nama mantan Panglima TNI, Djoko Santoso untuk mengisi ketua tim pemenangan. Meski baru sebatas wacana, tentu publik bertanya-tanya, apakah ini pilihan yang tepat?
Munculnya Nama Jenderal Djoko Santoso
Sebelumnya, tersiar pula kabar jika nama-nama penting akan mengisi posisi ketua tim pemenangan Jokowi. Sebut saja misalnya Jusuf Kalla (JK), Mahfud MD, hingga Jenderal (Purn) Moeldoko. Kubu Jokowi nampaknya tidak ingin menjatuhkan posisi tersebut ke tangan yang salah. Maka dari itu, nama-nama sekaliber ketiga tokoh itu yang dipertimbangkan.
Berbeda halnya dengan kubu Prabowo. Sejak deklarasinya sebagai calon presiden, Prabowo sudah mengambil ancang-ancang akan menunjuk satu nama untuk menduduki kursi ketua tim pemenangannya. Nama itu adalah Jenderal (Purn) Djoko Santoso.
Djoko Santoso relatif tidak begitu dikenal publik. Namun, sejatinya ia adalah orang berpengaruh yang sempat menduduki posisi tertinggi dalam dunia militer, yakni Panglima TNI di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Nama Djoko memang santer akan mengisi ketua tim pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan tinggal menunggu persetujuan dari partai koalisi saja.
Mendengar bahwa yang menjadi Ketua Timses Prabowo adalah Jenderal Djoko Santoso, saya membayangkan bagaimana jika Ketua Timses Jokowi adalah Jenderal Moeldoko.
— Voter Education (@RustamIbrahim) August 15, 2018
Adapun pertimbangan Prabowo menunjuk Djoko, menurut Waketum Gerindra Edhy Prabowo adalah karena ia berlatar belakang sebagai tokoh nasional, sosoknya dianggap berdedikasi, punya kemampuan melobi, dekat dengan semua kelompok, dan bisa diterima oleh semua kalangan.
Pada pemilihan presiden 2014 lalu, Djoko juga menjadi bagian dari tim pemenangan Prabowo-Hatta Rajasa. Mantan Panglima TNI tersebut membantu mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD yang ketika itu menjadi ketua tim pemenangan.
Jika dikaji secara mendalam, dalam pertarungan politik, peran dan fungsi tim pemenangan cukup penting. Sebagai ketua tim kampanye, orang di posisi tersebut akan menentukan arah, strategi, taktik, manuver, dan juga aliran dana selama masa kampanye.
Selain itu, artikulaasi politik turut dikembangkan melalui tim pemenangan. Mereka juga membentuk strategi kampanye dan lobi-lobi politik terhadap berbagai kelompok. Latar belakangnya yang malang melintang di dunia militer bisa digunakan sebagai bekal oleh Djoko Santoso untuk memenangkan pasangan Prabowo-Sandiaga.
Lalu, apakah tugas tersebut mampu digendong sang jenderal bintang empat itu?
Kiprah Sang Jenderal Kalem
Nama Djoko Santoso tentu tidak asing di kalangan militer. Ia sudah centang-perenang di dunia keprajuritan. Djoko mengawali karir militernya sebagai Komandan Peleton 1 Kompi Senapan A Yonif 121/Macan Kumbang Deli Serdang. Sementara karir perwira tinggi dimulai dengan menjabat Waassospol Kaster TNI tahun 1998, Kasdam IV/Diponegoro pada tahun 2000, dan Pangdivif 2/Kostrad tahun 2001.
Nama Djoko Santoso mulai berkibar setelah menjabat Panglima Kodam XVI/Pattimura dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Pangkoopslihkam) tahun 2002-2003 yang pada saat itu berhasil meredam konflik di Maluku.
Djoko Santoso sendiri sering disebut memiliki kedekatan dengan SBY, hal yang salah satunya membuat ia diangkat sebagai Panglima TNI. Jika ditelususri lebih jauh, kedekatan Djoko dan SBY sudah berlangsung sejak tahun 1990-an. Salah satunya pada 1997, ketika SBY yang berposisi sebagai Kepala Staf Teritorial (Kaster) mengangkat Djoko sebagai Komandan Korem di Yogyakarta.
Kemudian, di era pemerintahan SBY, Djoko Santoso diangkat sebagai Panglima TNI antara tahun 2007-2010, mengantikan Djoko Suyanto. Kiprah sang jenderal ini tidak berhenti hanya di dunia militer, sama seperti kebanyakan pejabat teras atas militer. Pasca pensiun, ia terjun ke dunia politik. Pada 2015 ia akhirnya berlabuh ke Partai Gerindra – bersamaan dengan masuknya Sandiaga Uno ke partai tersebut – dan menduduki jabatan Anggota Dewan Pembina.
Memang, keterlibatan Purnawirawan TNI dalam mengkonsolidasikan politik mendapatkan momentumnya saat SBY meraih tampuk kepemimpinan tertinggi di negeri ini pada Pilpres 2004. Pasca Orde Baru, memang jenderal-jenderal TNI yang berada di lingkaran Suharto menyebar ke bermacam partai politik. Para jenderal ini masih memiliki pengaruh dan kekuatan untuk memainkan peranan politik yang penting.
“Old soldiers never die, they simply fade away”, demikian lirik yang ditulis oleh Eric Partridge, yang populer dinyanyikan oleh para tentara Inggris selama Perang Dunia I. Kalimat tersebut merupakan pembuktian bahwa para purnawirawan itu meski sudah berhenti dari dunia militer akan terus hidup dan mencari eksistensi lain, termasuk dalam dunia politik.
Hal ini terbukti lewat kiprah Djoko yang kini menjadi bagian dari Dewan Pembina Partai Gerindra. Hal ini juga membuktikan bahwa selain dekat dengan SBY, Djoko juga sangat mungkin cukup dekat dengan Prabowo. Djoko adalah lulusan Akmil 1975, sedangkan Prabowo adalah seniornya satu tingkat. Selain itu, kedekatan itu berlanjut ketika ia menjadi wakil Prabowo di Batalyon Infanteri Lintas Udara 328 Kostrad.
Pelobi Ulung?
Di dalam sejarah Indonesia, militer menjadi kaum yang menonjol atau prominen karena hampir selalu terlibat dalam agenda perubahan politik. Bukan suatu hal baru jika banyak tokoh purnawirawan militer yang terjun ke dunia politik.
Kadang dalam berpolitik diperlukan “mulut-mulut” terampil yang bisa menjembatani kepentingan politik ke berbagai pihak. Maka dari itu, seorang politisi tidak bisa hidup tanpa pelobi.
Lantas apa pentingnya pelobi bagi para politisi, utamanya jelang kontestasi Pilpres di tahun mendatang? Faktanya, para pelobi ini bisa berperan menjadi sumber suara karena punya konstituen di daerah pemilihan, serta berhubungan erat dengan ketersediaan dana kampanye. Para pelobi (lobbyist) terkadang bertindak sebagai penyumbang dana kampanye, serta bertindak sebagai ‘bundlers’ (pengepul) dana untuk seorang politisi.
Mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy menerangkan tentang fungsi pelobi dalam koridor yang positif. Menurutnya, pelobi adalah teknisi handal yang mampu menguraikan keinginan yang relatif kompleks dengan cara-cara yang terukur dan dapat dipahami.
Pernyataan Kennedy ini menarik dicermati dalam konteks politik di Indonesia. Kondisi perpolitikan yang saat ini cenderung memanas memang membutuhkan tangan-tangan terampil untuk mempengaruhi bermacam-macam kelompok beserta kepentingannya.
Ayah dari Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo juga dikenal sebagai salah satu pelobi, dalam konteks kenegaraan tentunya. Ia pernah menjadi plenipotentiary representative – semacam wakil resmi pemerintah Indonesia dalam hubungan dengan Amerika Serikat.
Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat @dramirsyamsudin menyatakan, pihaknya tidak mempersoalkan Jenderal (Purn) Djoko Santoso menjadi ketua tim sukses (timses) #PrabowoSandi Amir pun menilai, mantan Panglima TNI itu adalah sosok yang tepat. https://t.co/n3wqzclQiY
— Zara Zettira ZR 1️⃣4️⃣ (@zarazettirazr) August 16, 2018
Lantas bagaiamana dengan Djoko Santoso dengan misi memenangkan Prabowo-Sandiaga?
Sang jenderal memang disebut-sebut memiliki kedekatan dengan berbagai pihak dan diterima oleh banyak kalangan. Sebagai mantan Panglima TNI, tentu pengalamannya di dunia militer sudah cukup memberikan dirinya kemampuan untuk mengatur strategi-strategi yang bisa mewujudkan kemenangan Prabowo.
Djoko dinilai memiliki kapabilitas untuk melakukan lobi, sebagaimana disampaikan oleh Edhy Prabowo. Djoko dapat mengorganisir kepentingan politik Prabowo untuk memenangkan Pilpres 2019. Sebagai purnawirawan TNI, Djoko dikenal dekat dengan berbagai kalangan, networking ini merupakan modal awal untuk mengkonsolidasikan dengan kelompok lainnya.
Apalagi, Prabowo dikenal “kurang disukai” oleh banyak purnawirawan jenderal militer. Harapannya, Djoko mampu menjadi pelobi agar Prabowo mendapatkan dukungan yang dibutuhkan untuk mengalahkan Jokowi pada kontestasi Pilpres tahun depan.
Selain itu, kapabilitasnya juga dibutuhkan untuk meramu strategi, pemetaan friends-enemies, aksi intelijen dan kontra intelijen, hingga membangun aliansi dan koalisi. Sistem komando yang biasa digunakan di dunia militer juga bisa dengan efektif digunakan untuk mengorganisir tiap-tiap bagian dari tim pemenangan Prabowo.
Untuk itu, dengan segala kemampuan yang dimilikinya, nama Djoko Santoso rasanya tepat untuk mengisi jabatan ketua tim pemenangan Prabowo. Dengan kondisi di atas, menarik untuk menantikan sepak terjang sang jenderal sebagai pembawa panji pasangan Prabowo-Sandi, tentu saja jika ia jadi terpilih. (A37)