Site icon PinterPolitik.com

Dituduh Spionase, Indonesia Terima Huawei?

Dituduh Spionase, Indonesia Terima Huawei?

Peresmian Kerjasama BSSN - Huawei. (Foto: arenalte)

Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bekerja sama dengan perusahaan teknologi informasi dan telekomunikasi asal Tiongkok, Huawei, untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM) terkait kemanan siber Indonesia. Namun, kerja sama ini dilakukan ketika beberapa negara, khususnya Amerika Serikat (AS) mengklaim Huawei sebagai alat spionase pemerintah Tiongkok. Lalu, mengapa pemerintah mau bekerja sama dengan Huawei?


PinterPolitik.com 

Huawei bukanlah pemain baru dalam pasar teknologi di Indonesia. Perusahaan ini setidaknya sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 2005 dengan memasarkan produk telepon seluler yang setidaknya sejak tahun 2017 terus tumbuh.

Tidak hanya telepon seluler, perusahaan ini juga berperan dalam perkembangan jaringan telekomunikasi di Indonesia seperti implementasi teknologi 4G.

Peran Huawei yang terbaru adalah kerja sama dengan beberapa perusahaan domestik seperti Telkom Indonesia dan XL Axiata untuk mengembangkan teknologi 5G di Indonesia.

Sementara di level global, perusahaan yang berdiri pada tahun 1987 ini sudah menjadi perusahaan penjual telepon seluler terbesar kedua di bawah Samsung dengan produknya yang mewakili 19 persen dari total pasar handphone dunia.

Huawei Yang Kontroversial

Tidak hanya karena pertumbuhan bisnisnya, beberapa tahun ke belakang Huawei juga ramai dibicarakan karena adanya kontroversi terkait isu spionase.

Kontroversi utamanya datang dari pemerintah AS yang mengklaim bahwa perangkat-perangkat elektronik yang dipasarkan oleh Huawei memiliki back door alias pintu belakang yang dapat diakses oleh pemerintah Tiongkok untuk mencuri data ataupun memata-matai penggunanya.

Selain itu, badan intelijen AS, Central Intelligence Agency (CIA), juga menuduh Huawei memiliki kedekatan dan menerima dana dari militer Tiongkok.

Tuduhan ini semakin serius ketika pada Januari 2019 lalu Departemen Kehakiman AS menjatuhkan dakwaan penipuan terhadap bank, mengganggu proses penegakan hukum, hingga pencurian teknologi terhadap Huawei dan Meng Wanzhou, Direktur Keuangan yang juga merupakan putri pendiri Huawei, Ren Zhengfei.

Tidak hanya itu, pada Mei 2019 lalu, pemerintah AS juga memasukkan Huawei ke dalam black list alias daftar hitam yang berakibat pada pelarangan beberapa perusahaan di AS untuk bekerja sama dengan Huawei, salah satunya Google.

Pelarangan ini sendiri berdampak besar pada Huawei yang penjualan telepon selulernya di luar Tiongkok diprediksi akan turun 40 persen dan untuk dua tahun ke depan akan menerima kerugian sebesar Rp 420 triliun.

Langkah AS ini juga diikuti oleh beberapa negara lainnya seperti Jepang, Australia, dan Selandia Baru yang juga memblokir Huawei karena alasan keamanan nasional dan dugaan spionase.

Huawei sendiri membantah seluruh tuduhan terhadap dirinya dan pada September lalu balik menuduh pemerinah AS melakukan serangan siber, ancaman serta penahan secara ilegal terhadap karyawannya untuk mendapatkan informasi rahasia seputar Huawei.

Namun, tidak sedikit pula pihak-pihak yang meragukan tuduhan negara-negara di atas terhadap Huawei.

Ambil contoh Centre for Cybersecurity Belgium yang tidak menemukan bukti digunakannya perangkat-perangkat Huawei untuk kebutuhan spionase.

Hal serupa juga diungkapkan Kepolisian Filipina yang tidak menemukan bukti bahwa Huawei melakukan spionase untuk Pemerintah Tiongkok.

Pun negara-negara yang nota bene merupakan sekutu dekat AS seperti Inggris, Prancis, dan Norwegia tetap mengizinkan Huawei untuk beroperasi dan mengembangkan teknologi 5G di negaranya.

Terlepas dari perdebatan dan kontroversi di atas, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa Indonesia membutuhkan Huawei untuk meningkatkan kemanan siber dan 5G?

Kebutuhan Ekonomi

Menurut peneliti politik dan teknologi Stephanie Hare, dibanding perusahaan lain Huawei mampu menyediakan teknologi 5G dalam 18 bulan lebih cepat dengan harga yang 30 persen lebih murah.

Hal inilah yang membuat beberapa negara, termasuk Indonesia, lebih memilih Huawei dibanding perusahaan barat lainnya.

Berdasarkan Global Cybersecurity Index tahun 2018, Indonesia menempati peringkat 41 sebagai negara dengan pengelolaan keamanan siber terbaik. Ini merupakan kenaikan 29 peringkat di mana pada tahun 2017 Indonesia berada di tingkat 70.

Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih berada jauh di bawah Singapura dan Malaysia yang mampu menempati posisi 6 dan 8.

Kondisi yang sama juga terjadi pada teknologi 5G, di mana Indonesia diprediksi baru akan menikmatinya pada tahun 2022 alias urutan keempat di Asia Tenggara setelah Singapura, Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sendiri mengatakan bahwa Indonesia harus mengejar pemerataan jaringan 4G terlebih dahulu, yang saat ini sudah mencakup 95,7 persen wilayah Indonesia, sebelum melangkah ke 5G.

Tidak hanya kebutuhan keamanan dan teknologi, usaha meningkatkan kemanan siber dan 5G juga menjadi faktor penting untuk mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Publik sudah mengetahui bahwa untuk lima tahun ke depan, salah satu fokus pemerintahan Jokowi-Ma’ruf di bidang ekonomi adalah bagaimana membawa Indonesia keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi lima persen yang sudah terjadi sejak tahun 2013.  

Kepentingan pertumbuhan ekonomi ini kemudian membuat Industri 4.0. memiliki peran penting karena jika berhasil diterapkan, industri ini dapat meningkatkan kinerja sektor manufaktur 20-50 persen dan menambah pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2 persen.

Namun, industri 4.0 sendiri sangat memerlukan tekonologi 5G mengingat industri ini meniktikberatkan pada adopsi teknologi, seperti Internet of Things (IoT), teknologi robotik, dan Artificial Intelligence (AI), yang membutuhkan koneksi internet serta bandwidth tinggi.

5G kemudian menjadi solusi dari kebutuhan jaringan dan internet tersebut mengingat kecepatannya yang bisa mencapai 10 kali lipat dibanding 4G.

Sedangkan keamanan siber diperlukan untuk melindungi industri yang sudah berorientasi pada teknologi dan potensi perekonomian digital Indonesia.

Sedikit catatan bahwa serangan dan kejahatan siber dapat merugikan eknomi Indonesia hingga Rp 400 triliun.

Hubungan 5G dengan industri 4.0 ini juga diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang melihat bahwa belum diterapkannya teknologi 5G sebagai salah satu penghambat industri 4.0.

Terakhir, masuknya Huawei ke Indonesia juga didasari oleh prinsip politik bebas aktif pemerintah.

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Deteksi Ancaman BSSN Sulistyo yang mengatakan bahwa Indonesia memiliki prinsip netral dalam memilih kerja sama teknologi dari negara manapun selama hal tersebut menguntungkan bagi Indonesia.

Ia juga mengatakan bahwa BSSN tidak hanya menggunakan produk Huawei dan mencontohkan bagaimana tahun lalu BSSN juga melakukan kerja sama dengan Cisco, perusahaan teknologi asal AS.

Ya, beberapa pihak juga melihat bahwa buruknya hubungan AS-Huawei bukan disebabkan oleh dugaan spionase.

Buruknya hubungan ini sebenarnya disebabkan oleh sedang terjadinya rivalitas AS-Tiongkok, melalui perusahaan-perusahaan teknologinya, dalam menguasai pasar teknologi global.

Tidak menutup kemungkinan bahwa persaingan Huawei dengan perusahaan-perusahaan barat juga berkaitan dengan nilai ekonomis terkait teknologi 5G.

Adanya 5G diperkirakan bisa membuat operator seluler di Indonesia menerima pendapatan tahunan sebesar Rp 24 triliun.

Kemudian pada tahun 2022, potensi bisnis IoT, yang bergantung pada 5G, mencapat Rp 444 triliun.

Dengan demikian penerimaan BSSN dan perusahaan domestik terhadap masuknya Huawei cukup beralasan.

Pertama, bahwa kontroversi seputar spionase pemerintah Tiongkok melalui Huawei masih diperdebatkan.

Kedua, adanya kebutuhan Indonesia untuk segera mengadopsi teknologi 5G dan meningkatkan keamanan sibernya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di mana Huawei bisa jadi dilihat pemerintah sebagai perusahaan yang paling menguntungkan untuk diajak bekerja sama. (F51)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version