Ustaz Abdul Somad Batubara alias UAS kembali mendapat penolakan. Kali ini ceramah dan kuliah umumnya di Universitas Gadjah Mada (UGM) dibatalkan oleh pihak rektorat. Pembatalan ini menuai kontroversi karena disebut-sebut terdapat unsur pemerintah dan tekanan dari luar UGM yang pada akhirnya membuat pihak rektorat membatalkan acara tersebut.
PinterPolitik.com
Penolakan ini terjadi ketika UAS dijadwalkan akan memberikan ceramah sekaligus kuliah umum di Masjid Kampus UGM. Menurut Ketua Takmir Masjid Kampus UGM, Mashuri Maschab, pihak rektorat mengatakan bahwa permintaan pembatalan salah satunya datang dari pihak luar.
Pihak luar yang menurut Mashuri disebutkan oleh rektorat adalah alumni-alumni UGM hingga pejabat negara seperti Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno.
Pada awalnya, UGM menolak tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa pembatalan terhadap acara yang akan dihadiri UAS adalah murni keputusan rektorat.
Namun, kemudian UGM mengakui bahwa pembatalan acara dilakukan untuk menjaga stabilitas pelantikan Jokowi, walaupun sejauh ini belum ada penjelasan seperti apa UAS bisa membuat ketidakstabilisan yang dimaksud.
Bukan kali ini saja UAS mengalami penolakan.
Tahun lalu, kegiatan ceramahnya di Jepara dan Semarang juga mendapat penolakan dari beberapa organisasi masyarakat (ormas).
Kemudian, pada tahun 2017 pria kelahiran Asahan, Sumatera Utara tersebut juga mendapat penolakan dari beberapa ormas ketika ingin melakukan safari dakwah di Bali.
Tidak berhenti di situ, pada tahun yang sama kedatangan UAS juga ditolak oleh otoritas Hong Kong yang menurut UAS berkaitan dengan dugaan terorisme.
Menurut Hanafi Rais, mantan Wakil Ketua Komisi I DPR, kasus penolakan UAS di Hong Kong merupakan dampak dari stigma yang pemerintah yang mengkait-kaitkan ustaz dengan radikalisme dan anti Pancasila.
Di luar dari kontroversi yang saat ini terjadi antara UAS, UGM, dan pemerintah, dalam beberapa kasus, pemerintah sudah dinilai beberapa pihak berupaya mencampuri “dunia ustaz” ataupun agama secara keseluruhan.
Lalu, seperti apa negara mencampuri urusan agama? Mengapa Pemerintah Indonesia terkesan semakin mencampuri urusan agama?
Negara dan Agama
Menurut Dawood Ahmed, ada lima bentuk hubungan antara agama dengan negara berdasarkan konstitusi atau hukumnya.
Pertama, sekularisme kuat, di mana negara mengakui dan melindungi kebebasan beragama hanya dalam ranah privat dan personal masyarakatnya. Negara melarang jika unsur-unsur agama seperti lambang, cara berpakaian, hingga acara keagamaan diekspresikan di ruang publik.
Sekularisme kuat ini juga melarang negara ataupun penjabat pemerintah mendukung ataupun mendanai agama manapun.
Kedua, sekularisme lemah yang mirip dengan sekularisme kuat, namun negara tidak melarang ekspresi keagamaan di ruang publik.
Ketiga, akomodasi pluralis, yaitu negara yang tidak mecoba menetralkan dirinya dari agama manapun, namun juga menjamin semua agama yang ada mendapat perlakuan yang sama. Di negara ini institusi ataupun kelompok agama diakui bahkan diberikan peran oleh pemerintah.
Keempat, pengakuan tanpa penetapan (recognition without establishment) yaitu negara yang dalam konstitusinya memberikan pengakuan terhadap agama tertentu, namun pengakuan ini hanya bersifat formal atau simbolis saja tanpa adanya perlakuan khusus negara terhadap agama tersebut.
Kelima, penetapan agama (religion establishment), yakni negara yang mengakui dan memberikan kekhususan terhadap agama tertentu baik dalam hal pendanaan, promosi, hubungan dengan pemerintah, hingga dipilihnya agama tertentu sebagai agama resmi negara dan adanya aturan bahwa posisi pemerintahan tertentu, termasuk presiden, hanya bisa dijabat oleh penganut agama tertentu.
Lalu, hubungan apa yang terjadi di Indonesia?
Pada dasarnya Indonesia adalah negara sekuler, di mana dalam Ayat 2 Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing.
Pun di dalam konstitusi tidak ada satu agama tertentu yang dijadikan agama resmi negara.
Namun menurut Alfitri, dosen asal Institut Agama Islam Negeri Samarinda (IAIN), batasan agama-negara menjadi tidak jelas dan kompleks karena Indonesia juga memiliki kebijakan dan hukum yang mengatur kehidupan beragama dan cenderung memberikan kistimewaan kepada agama mayoritas.
Hukum yang dimaksud misalnya terkait hanya diakuinya enam agama dalam Undang-Undang Nomo 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pendirian rumah ibadah, hingga administrasi zakat dan haji yang diatur negara.
Oleh karenanya, Alfitri mengatakan bahwa Indonesia tidak sepenuhnya sekuler, namun tidak juga menjadi negara agama.
Hal senada juga diungkapkan oleh ahli hukum tata negara Mahfud MD yang mengatakan bahwa Indonesia bukan negara agama ataupun negara sekuler, tetapi bangsa berketuhanan.
Dengan kondisi ini jika menggunakan lima pembagian yang sebelumnya sudah dijelaskan oleh Ahmed, Indonesia nampanya berada di tengah-tengan alias negara akomodasi pluralis.
Kepentingan Politik?
Selain karena adanya hukum yang menjadi dasar keterlibatan pemerintah, campur tangan pemerintah terhadap agama juga ditengarai disebabkan oleh kepentingan politik.
Hal inilah yang menurut beberapa pihak terjadi dalam kontroversi sertifikasi dan standarisasi Mubalig (penceramah) yang diwacanakan oleh Kementerian Agama (Kemenag) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Ketika menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD pernah mengatakan bahwa sertifikasi ustaz berbahaya karena bisa dipolitisasi.
Salah satu Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas, bahkan menuduh bahwa sertifikasi tersebut merupakan politik “belah bambu” pemerintah era Jokowi dan penuh kepentingan politik.
Di antara nama pendakwah-pendakwah tenar negeri ini, ada nama Ustaz Abdul Somad yang petuahnya didengar masyarakat, tak terkecuali dalam bidang politik. Lalu, mengapa sang ustaz bisa begitu didengar anjuran politiknya? pic.twitter.com/zRAkuvmbvE
Kesan politik ini juga terlihat di mana tidak adanya nama-nama penceramah yang berafiliasi dengan Front Pembela Islam (FPI) dan Aksi 212, dua kelompok yang sering berseberangan dengan pemerintah, ketika Kemenag pertama kali mengeluarkan daftar 200 penceramah yang sudah tersertifikasi.
Oleh karena itu, bisa jadi unsur kepentingan politik yang dimaksud dalam sertifikasi ini adalah pemerintah yang dapat “mengendalikan” penceramah mana yang boleh ataupun dilarang tampil sesuai dengan hubungan penceramah tersebut dengan pemerintah.
Pemerintah dan MUI sendiri mengatakan bahwa sertifikasi diperlukan untuk membantu masyarakat dalam memilih penceramah.
Selain itu, sertifikasi ini juga bertujuan untuk menghindari masyarakat memilih para penceramah yang sebenarnya tidak begitu memahami agama, terlebih lagi dengan banyaknya kasus ceramah yang menurut pemerintah mengandung nilai-nilai intoleran dan radikal.
Terakhir, ke depannya campur tangan pemerintah dalam kehidupan beragama di Indonesia bisa jadi semakin bertambah salah satunya karena wakil presiden terpilih, Ma’ruf Amin, memiliki latar belakang agama yang kuat dan diprediksi akan mengejar regulasi-regulasi terkait Islam.
Selain itu ada juga ormas seperti Nahdatul Ulama (NU) yang semakin dekat dengan pemerintah dan terlihat mampu mempengaruhi proses perumusan kebijakan, salah satunya dalam kasus RUU Pesantren yang kini sudah disahkan.
Campur tangan pemerintah, pusat maupun daerah, terhadap kehidupan beragama memang selalu menuai kontroversi.
Bukan tanpa sebab, sudah ada indikasi bahwa beberapa undang-undang ataupun peraturan-peraturan daerah yang menyentuh kehidupan beragama justru menjadi sumber intoleransi. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.