Sebagian pengamat politik menilai komentar Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menunjukkan rasa percaya diri yang berlebihan sehingga perseteruan Cak Imin dengan NU berpotensi menggerus suara PKB di Pemilu 2024. Lantas, benarkah komentar Cak Imin buat PKB melemah?
Komentar Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin), yang mengatakan mempunyai dukungan solid 13 juta pemilih PKB, menyulut api pertentangan yang semakin panas antara PKB dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Cak Imin percaya bahwa konstituen PKB merupakan pendukung yang ideologis, sulit untuk berpaling. Dalam komentarnya, Cak Imin juga mengatakan bahwa pendukungnya tidak terpengaruh siapapun, termasuk Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya).
Seperti yang diketahui sebelumnya, kebijakan PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya yang menempatkan NU berada di atas partai politik manapun, memberi angin segar bagi warga dan santri NU.
Meski keputusan ini mengembalikan NU ke marwahnya yang suprematif di atas semua kekuatan partai politik, pada saat yang sama juga ditafsirkan sebagai upaya membatasi diri dengan PKB yang selama ini dianggap punya ikatan ideologis di antara keduanya.
Sikap PBNU mempertegas saluran politik NU tidak lagi dimonopoli oleh hanya satu partai saja, sebagaimana yang selama satu dasawarsa kepemimpinan NU sebelumnya dimonopoli oleh PKB. Seolah satu suara, suara PKB adalah suara NU dan sebaliknya.
Jadi, komentar Cak Imin yang bernada sindiran bagi pengurus PBNU bisa dianggap wajar. Karena dengan sikap dari kepengurusan PBNU yang baru ini, seolah ingin “membuang” PKB dari arena kultural NU.
Sebagian pengamat politik menilai komentar Cak Imin menunjukkan rasa percaya diri yang berlebihan. Akibatnya, perseteruan Cak Imin dengan NU berpotensi menggerus suara PKB di Pemilu 2024. Suara Warga Nahdliyin berpotensi beralih ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Jika perseteruan ini tetap berlanjut dan semakin memanas, tentu akan menjadi angin segar bagi partai lainnya, khususnya PPP. Lantas, langkah seperti apa yang membuat PPP dapat merebut suara dari kalangan Nahdliyin?
Meraba Kemesraan NU-PPP
Banyak indikator-indikator yang mengarah kepada pernyataan, bahwa saat ini NU dan PPP sedang mengupayakan konsolidasi politik di antara keduanya. Dalam penilaian NU, PPP merupakan partai yang sempat menjadi media perjuangan para tokoh NU di masa lalu.
Pada tahun 1973 saat rezim Soeharto berkuasa, NU yang sebelumnya juga merupakan partai politik kemudian dilebur ke dalam PPP sebagai fusi partai-partai Islam. Unsur NU memiliki kedudukan yang cukup menentukan di awal-awal keberadaan PPP.
Namun, sejak 1984, NU telah mendeklarasikan diri untuk kembali ke khitah 1926 sehingga keluar dari arena politik praktis. Selanjutnya, dalam perkembangannya, terjadi dualisme dalam internal PKB yang berujung didepaknya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) oleh Cak Imin.
PKB versi Cak Imin kemudian diakui sebagai PKB yang sah yang di masa depan menjadi akar konflik yang membekas hingga saat ini. Konflik ini memuncak setelah terpilihnya Gus Yahya menjadi ketum PBNU yang dianggap merupakan pendukung setia Gus Dur – membuat Cak Imin mulai resah.
Di sisi lain, PBNU gencar melakukan silaturahmi dengan PPP. Kunjungan Gus Yahya bersama Sekjen PBNU Gus Saifullah Yusuf beserta sejumlah pengurus PBNU yang hadir dalam harlah PPP di Malang. Dinilai oleh sebagian pihak sebagai momentum yang memperlihatkan signal politik mereka.
Upaya yang dibangun oleh keduanya – yaitu NU dan PPP – seolah ingin mengikat kembali persaudaraan yang telah lama terjalin. Konsep ini rupanya terdapat pula dalam teori perilaku politik yang menggambarkan sebagai bentuk ikatan familisme.
Sederhananya familisme dapat didekatkan dengan konsep patron-klien, dalam hal kepemilikan privilege (keistimewaan) yang dimiliki sekelompok orang yang memiliki hubungan dekat, baik karena aspek kekeluargaan maupun aspek sosial yang lain.
Fenomena familisme ini adalah konsekuensi dari ajaran nilai-nilai Islam, yaitu saling menjaga silaturahmi. Menariknya, dalam partai Islam, hubungan kekeluargaan tersebut tidak hanya dimaknai secara sempit sebagai hubungan genealogis.
Hubungan itu juga terbentuk secara sosiologis melalui relasi historis dan ideologis. Jejak rekam perjuangan PPP melalui jalur politik mengkonfirmasi tentang kesamaan semangat dan pandangan dalam melihat persoalan kebangsaan, ke–Indonesia–an dan ke–Islam–an dengan NU.
Choirul Sholeh Rosyid dalam tulisannya Relasi PPP dan NU mengatakan bahwa pluralitas unsur di PPP yang merepresentasikan kelompok Islam di Indonesia tak menyurutkan posisi NU sebagai faktor penting dalam dinamika dan gerak partai. NU telah menginternalisasi dalam pikir, sikap, dan laku partai.
Hal ini dapat dilihat dari pengisian pucuk jabatan partai baik di pengurus harian partai maupun di majelis syariah partai yang senantiasa diisi oleh kader atau ulama NU – menjadikan PPP dan NU secara substansial memiliki hubungan batin yang lekat dan dekat.
Terlihat jelas bahwa indikator sejarah, ideologi, dan bahkan konflik internal PBNU dan PKB membuat arah politik NU seolah menuju ke PPP. Namun, apakah kedekatan yang dibangun simbolik ini akan berpengaruh pada tataran operasional?
Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai pernyataan Cak Imin soal 13 juta suara loyal masuk akal. Hal itu mungkin terjadi lantaran suara warga Nahdliyin di PKB sudah digarap sejak lama sehingga tidak akan tergoyahkan.
Artinya, komentar Cak Imin tidak bisa dianggap hanya sebagai upaya menggertak. Sangat terbuka dan memungkinkan komentar tersebut punya basis data dan informasi yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain.
Lantas, apa strategi tersembunyi dibalik komentar Cak Imin tersebut?
Strategi Paradoks Cak Imin?
Terlihat naif jika menilai komentar Cak Imin hanya sebagai pernyataan harfiah belaka. Sebagai aktor politik, pernyataan Cak Imin mestinya ditafsirkan dengan berbagai nada yang berbeda, hal ini dikarenakan dalam dunia politik seni tafsir perilaku merupakan instrumen penting memahami kepentingan politik.
Sikap politik yang ditampilkan oleh Cak Imin dalam komentarnya bisa jadi merupakan pesan politik yang ditujukan bagi petinggi NU lainnya, yaitu mereka yang masih melihat bahwa PKB merupakan kekuatan politik yang paling realistis bagi kepentingan NU.
Bisa jadi, Cak Imin melakukan strategi yang diistilahkan dengan reverse psychology, sebuah teknik di mana maksud dari pesan, posisi atau tindakan adalah kebalikan dari apa yang dinyatakan atau dilakukan.
Sinha dan Foscht dalam tulisannya Reverse Psychology Tactics in Contemporary Marketing, menjelaskan reverse psychology melibatkan metode yang digunakan secara paradoks dari sudut pandang teoritis, artinya upaya paradoksal menjadi poin dari sikap psikologis ini.
Seseorang dianggap bereaksi dengan cara yang tidak diminta, sehingga tampak paradoks. Reverse psychology menampilkan kontras dan reaktansi, keduanya merupakan konsep yang terkenal di bidang psikologis. dalam banyak situasi, orang secara psikologis berkeinginan untuk bereaksi terhadap stimulus untuk menentangnya atau mengambil sikap kebalikannya.
Kesimpulannya, reverse psychology adalah teknik manipulasi yang membuat orang melakukan sesuatu dengan mendorong mereka untuk melakukan yang sebaliknya. Reverse psychology dapat berbentuk seperti melarang perilaku, mendorong kebalikan dari perilaku, dan mempertanyakan kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu.
Akhirnya para kader NU yang masih punya simpati terhadap PKB akan berpikir ulang dengan adanya komentar Cak Imin ini. Jangan-jangan komentar Cak Imin bukan pernyataan yang berlebihan tentang suara PKB yang solid.
Meskipun kenaikannya tidak signifikan, tetapi PKB berhasil naik satu tingkat dari yang sebelumnya berada pada urutan kelima menjadi keempat. Suara PKB pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 yaitu 9,04 persen. Sementara, pada Pileg 2019 mendapatkan 13 juta suara atau 9,69 persen.
Sementara, perolehan suara PPP pada Pileg 2019 mengalami penurunan. Pada Pileg 2019, PPP mengantongi 8 juta atau 6,53 persen suara. Kini, perolehan suaranya menurun menjadi 6 juta atau 4,52 persen suara. Perolehan suara PPP nyaris berada pada ambang batas parlemen.
Apalagi menurut beberapa riset, mengatakan suara NU selama ini juga banyak tersebar ke partai lain, bukan hanya PKB. Bahkan PKB tidak mendapat 50 persen suara dari warga NU. JIka data ini benar, maka wajar PKB semakin percaya diri pisah dengan NU.
Sebagai penutup, bisa jadi wacana PBNU dekat dengan PPP tidak akan merugikan PKB secara harfiah, dikarenakan prestasi PKB dari dua pemilu terakhir dan juga data yang menunjukkan bahwa PKB tidak tergantung terhadap pemilih NU. (I76)