Site icon PinterPolitik.com

Ditenggelamkan, FIFA Jadi Penyelamat Erick? 

Hanya Erick yang Didengar FIFA

Menteri BUMN Erick Thohir dan Presiden FIFA Gianni Ifantino (foto: Instagram @erickthohir)

Pasca polemik penolakan tim nasional (timnas) Israel di Piala Dunia U-20 Indonesia, Ketua Umum (Ketum) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, Erick Thohir, bermanuver lincah agar Indonesia tetap bisa dimaafkan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Bagaimana kacamata politik melihat langkah-langkah ini dalam konteks kans Erick sebagai pemain di Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024)? 


“The best revenge is massive success,” – Frank Sinatra 

PinterPolitik.com 

Mungkin sebagian dari kalian pernah merasakan bagaimana rasanya di-PHP-in (pemberi harapan palsu). Yess, memiliki harapan yang besar tentang sesuatu lalu tiba-tiba saja harapan itu direnggut dari jangkauan kita rasanya sangat-sangatlah tidak enak. Mungkin, rasa di-PHP-in adalah salah satu rasa paling pahit yang bisa dirasakan seorang manusia. 

Ngomong-ngomong soal di-PHP-in, pahitnya pembatalan pergelaran Piala Dunia U-20 Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) di Indonesia sepertinya masih membekas di benak sejumlah penggemar sepak bola kita. Bagaimana tidak, kesempatan menjadi tuan rumah salah satu event olahraga terbesar dunia itu hilang begitu saja hanya karena ada perdebatan politik, padahal, belum tentu negara kita diberi kesempatan yang sama di masa depan. 

Namun, tidak semua berita tentang FIFA dan Indonesia berupa kabar pahit semata. Beberapa hari terakhir, amarah publik atas batalnya Piala Dunia itu sepertinya bisa sedikit diredamkan dengan kabar Ketua Umum (Ketum) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, Erick Thohir, berhasil melobi FIFA agar meminimalisir sanksi pada PSSI.  

FIFA diketahui hanya membekukan dana FIFA Forward, padahal sebelumnya disebut akan memberi Indonesia sanksi yang jauh lebih keras atas urgensi pembatalan Piala Dunia U-20 2022. 

Mantan bos klub sepak bola Inter Milan tersebut memang menyebut kesuksesan lobi tersebut adalah karena FIFA melihat komitmen Indonesia untuk menata sepak bolanya lewat manajemen yang lebih tertata dan profesional, akan tetapi mayoritas publik tetap melihat bahwa kedekatan Erick dengan Presiden FIFA, Gianni Infantino juga turut berperan besar. 

Tidak hanya terkait sanksi, lobi Erick juga disebut-sebut mulai coba meyakinkan FIFA untuk menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-17 2023, meskipun untuk selama ini kabar tersebut masih menjadi desas-desus semata. 

Merefleksikan perkembangan ini dengan dugaan adanya motif politik untuk “menenggelamkan” citra Erick seperti yang dibahas dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Ganjar ‘Diperalat’ Tenggelamkan Jokowi-Erick?, tentu jadi hal yang sangat menarik, karena ini artinya Erick mampu memberikan perlawanan terhadap mereka yang ingin melihat dirinya pamor dirinya terpuruk, utamanya dalam mengantisipasi peran Erick di Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) nanti. 

Lantas, dari kacamata politik, mungkinkah FIFA menjadi harapan bagi Erick untuk 2024? 

FIFA Buat Erick ‘Canggih’? 

Ilmuwan politik Amerika Serikat (AS), Edward C. Banfield, dalam bukunya Political Influence, memperkenalkan kita pada suatu konsep politik yang disebut political capital atau modal politik. Banfield menjelaskan bahwa layaknya dunia bisnis, di dalam politik pun terdapat aturan modal dan saham yang bisa menguntungkan para politisi yang mampu menggunakannya.  

Banfield menggambarkan modal politik sebagai “persediaan pengaruh politik” yang dapat dibangun dengan ‘membeli’ kepentingan dan ketertarikan para pemangku kepentingan. Bentuknya bisa beragam, mulai dari hubungan yang transaksional, sampai hanya sekedar kecocokkan personalitas.  

Namun, konsep modal politik dari Bamfield yang menitikberatkan pada saham politik dari aktor pemangku kepentingan negara belakangan mulai dikembangkan untuk mengikuti perkembangan zaman.

Michael Bruch dalam tulisannya Toward a Theory of Modern Domination: From the Capital Relation to the Organizational Relation, misalnya, menyebutkan bahwa kini modal politik yang kuat tidak bisa hanya didapatkan dari aktor-aktor suatu rezim saja, melainkan juga dari aktor-aktor non-negara, seperti sebuah organisasi internasional. 

Karena fenomena globalisasi telah membuat para aktor non-negara mendapatkan kekuatan politik yang begitu kuat, politisi modern mampu memperoleh alternatif modal politik yang besar dari instansi atau organisasi yang sebelumnya mungkin tidak dianggap penting oleh politik kenegaraan. Bagaimana tidak, instansi non-negara seperti FIFA sekarang bisa membuat seluruh masyarakat dalam suatu negara resah bila mereka menjatuhkan sanksi kepada lembaga olahraga negaranya. 

Sebaliknya, selain karena pengaruhnya pada masyarakat yang cukup besar, fitur tanpa keterikatan pada pemerintah juga menjadikan instansi non-negara seperti FIFA sebagai modal politik yang sangat unik dan aman bagi para politisi. Hal ini karena negara atau para pemangku kepentingan domestik akan sangat kesulitan mengatur perilaku para instansi non-negara tersebut. Alhasil, politisi yang bisa dapat dukungan dari aktor besar non-negara bisa menciptakan dominasi citra politik yang sulit ditangkal oleh permainan politik domestik.  

Nah, dari pandangan ini, persoalan Erick dan kemampuannya berkomunikasi secara ‘intim’ dengan FIFA sebetulnya jadi indikasi kuat bahwa ia memiliki modal politik yang tidak dimiliki oleh bakal calon presiden (bacapres) lain, yaitu dukungan sebuah instansi non-negara internasional yang begitu kuat, yakni FIFA.  

Kalau selama ini para tokoh politik Indonesia mungkin mengandalkan ketersukaan dari pemangku kepentingan domestik, Erick barangkali jadi politisi ‘tercanggih’ dengan mendapatkan modal politik non-konvensional bertaraf internasional. Menjadi lebih penting lagi kalau kita mengingat mayoritas populasi Indonesia sangat menggemari cabang olahraga sepak bola. 

Namun, pencapaian Erick dalam melobi FIFA tidak hanya sekadar tentang unjuk gigi modal politik yang ia miliki. Lantas, apa lagi?  

Erick Tampar Balik ‘Penenggelamnya’? 

Kembali mengutip pembahasan dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Ganjar ‘Diperalat’ Tenggelamkan Jokowi-Erick?, ada dugaan bahwa manuver-manuver politik yang berujung pada pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia merupakan suatu desain untuk ‘menampar’ Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Erick bahwa ada kekuatan politik kuat di luar struktur pemerintahan. 

Kalau dugaan itu memang benar, maka upaya-upaya kuat yang dilakukan Erick untuk mendapatkan sisi baik FIFA bisa jadi sebenarnya juga sebagai bukti bahwa dirinya tidak tinggal diam di bawah dominasi suatu pihak dan ingin membalas dendam, tapi mungkin secara sehat.  

Hal ini sebenarnya cukup masuk akal. Michael McCullough dalam wawancaranya di artikel Revenge serves a very useful purpose, menyebutkan bahwa rasa ingin balas dendam adalah hal yang pasti terjadi pada setiap orang jika ia diperlakukan dengan tidak seharusnya. Menurutnya, berkaca pada kepuasan mental seorang manusia, balas dendam pun jadi sesuatu yang dijustifikasi.  

Sebagai contoh, balas dendam, kata McCullough, mampu menjadi sinyal bahwa kita bukan tipe orang yang diam saja bila diintimidasi oleh pihak lain. Dalam jangka panjangnya, aksi balas dendam mampu menjadi deterrent atau penangkal dari upaya seseorang untuk meremehkan kita di masa depan. 

Namun, McCullough mencatat bahwa bentuk balas dendam yang kita sampaikan juga perlu dilakukan secara rapi dan elegan. Terkait itu, mungkin jenis balas dendam yang sedang ingin dilakukan oleh Erick terinspirasi dari adagium psikologi lama: “balas dendam yang terbaik adalah dengan kesuksesan.” 

Yess, dengan menunjukkan bahwa dirinya mampu memberikan kompensasi pada rakyat Indonesia atas batalnya Piala Dunia U-20 dengan Piala Dunia U-17, Erick bisa memberikan sinyal yang begitu kuat pada mereka yang ingin melihat dirinya jatuh. Kendati sudah diserang secara keji, Erick masih bisa memperoleh kesuksesan dengan usahanya sendiri, kalau nantinya memang Piala Dunia U-17 jadi diselenggarakan di Indonesia. 

Kalau memang dugaan ini sedang terlintas dalam pikiran Erick, maka Erick setidaknya berpeluang menghantam dua burung dengan satu batu. Pertama, untuk balas dendam pada pihak yang menjatuhkannya, dan kedua, sekaligus menancapkan pesona politik yang kuat di publik dengan menjadi ‘hero’ sepak bola Indonesia karena mampu menyelesaikan suatu permasalahan internasional yang begitu kompleks.  

Akhir-akhirnya, semua ini berpotensi sangat menguntungkan Erick di 2024 jika memang ia memutuskan untuk maju sebagai seorang capres atau cawapres. 

Pada akhirnya, tentu semua ini hanyalah interpretasi belaka. Yang jelas, sepertinya mayoritas masyarakat kita akan setuju kalau Indonesia bisa diberikan kesempatan kedua untuk menggelar sebuah event olahraga sepak bola bertaraf internasional. (D74) 

Exit mobile version