HomeHeadlineDitenggelamkan, FIFA Jadi Penyelamat Erick? 

Ditenggelamkan, FIFA Jadi Penyelamat Erick? 

Pasca polemik penolakan tim nasional (timnas) Israel di Piala Dunia U-20 Indonesia, Ketua Umum (Ketum) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, Erick Thohir, bermanuver lincah agar Indonesia tetap bisa dimaafkan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Bagaimana kacamata politik melihat langkah-langkah ini dalam konteks kans Erick sebagai pemain di Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024)? 


“The best revenge is massive success,” – Frank Sinatra 

PinterPolitik.com 

Mungkin sebagian dari kalian pernah merasakan bagaimana rasanya di-PHP-in (pemberi harapan palsu). Yess, memiliki harapan yang besar tentang sesuatu lalu tiba-tiba saja harapan itu direnggut dari jangkauan kita rasanya sangat-sangatlah tidak enak. Mungkin, rasa di-PHP-in adalah salah satu rasa paling pahit yang bisa dirasakan seorang manusia. 

Ngomong-ngomong soal di-PHP-in, pahitnya pembatalan pergelaran Piala Dunia U-20 Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) di Indonesia sepertinya masih membekas di benak sejumlah penggemar sepak bola kita. Bagaimana tidak, kesempatan menjadi tuan rumah salah satu event olahraga terbesar dunia itu hilang begitu saja hanya karena ada perdebatan politik, padahal, belum tentu negara kita diberi kesempatan yang sama di masa depan. 

Namun, tidak semua berita tentang FIFA dan Indonesia berupa kabar pahit semata. Beberapa hari terakhir, amarah publik atas batalnya Piala Dunia itu sepertinya bisa sedikit diredamkan dengan kabar Ketua Umum (Ketum) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, Erick Thohir, berhasil melobi FIFA agar meminimalisir sanksi pada PSSI.  

FIFA diketahui hanya membekukan dana FIFA Forward, padahal sebelumnya disebut akan memberi Indonesia sanksi yang jauh lebih keras atas urgensi pembatalan Piala Dunia U-20 2022. 

Mantan bos klub sepak bola Inter Milan tersebut memang menyebut kesuksesan lobi tersebut adalah karena FIFA melihat komitmen Indonesia untuk menata sepak bolanya lewat manajemen yang lebih tertata dan profesional, akan tetapi mayoritas publik tetap melihat bahwa kedekatan Erick dengan Presiden FIFA, Gianni Infantino juga turut berperan besar. 

Tidak hanya terkait sanksi, lobi Erick juga disebut-sebut mulai coba meyakinkan FIFA untuk menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-17 2023, meskipun untuk selama ini kabar tersebut masih menjadi desas-desus semata. 

Merefleksikan perkembangan ini dengan dugaan adanya motif politik untuk “menenggelamkan” citra Erick seperti yang dibahas dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Ganjar ‘Diperalat’ Tenggelamkan Jokowi-Erick?, tentu jadi hal yang sangat menarik, karena ini artinya Erick mampu memberikan perlawanan terhadap mereka yang ingin melihat dirinya pamor dirinya terpuruk, utamanya dalam mengantisipasi peran Erick di Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) nanti. 

Lantas, dari kacamata politik, mungkinkah FIFA menjadi harapan bagi Erick untuk 2024? 

image 10

FIFA Buat Erick ‘Canggih’? 

Ilmuwan politik Amerika Serikat (AS), Edward C. Banfield, dalam bukunya Political Influence, memperkenalkan kita pada suatu konsep politik yang disebut political capital atau modal politik. Banfield menjelaskan bahwa layaknya dunia bisnis, di dalam politik pun terdapat aturan modal dan saham yang bisa menguntungkan para politisi yang mampu menggunakannya.  

Baca juga :  Goodbye, Erick Thohir?

Banfield menggambarkan modal politik sebagai “persediaan pengaruh politik” yang dapat dibangun dengan ‘membeli’ kepentingan dan ketertarikan para pemangku kepentingan. Bentuknya bisa beragam, mulai dari hubungan yang transaksional, sampai hanya sekedar kecocokkan personalitas.  

Namun, konsep modal politik dari Bamfield yang menitikberatkan pada saham politik dari aktor pemangku kepentingan negara belakangan mulai dikembangkan untuk mengikuti perkembangan zaman.

Michael Bruch dalam tulisannya Toward a Theory of Modern Domination: From the Capital Relation to the Organizational Relation, misalnya, menyebutkan bahwa kini modal politik yang kuat tidak bisa hanya didapatkan dari aktor-aktor suatu rezim saja, melainkan juga dari aktor-aktor non-negara, seperti sebuah organisasi internasional. 

Karena fenomena globalisasi telah membuat para aktor non-negara mendapatkan kekuatan politik yang begitu kuat, politisi modern mampu memperoleh alternatif modal politik yang besar dari instansi atau organisasi yang sebelumnya mungkin tidak dianggap penting oleh politik kenegaraan. Bagaimana tidak, instansi non-negara seperti FIFA sekarang bisa membuat seluruh masyarakat dalam suatu negara resah bila mereka menjatuhkan sanksi kepada lembaga olahraga negaranya. 

Sebaliknya, selain karena pengaruhnya pada masyarakat yang cukup besar, fitur tanpa keterikatan pada pemerintah juga menjadikan instansi non-negara seperti FIFA sebagai modal politik yang sangat unik dan aman bagi para politisi. Hal ini karena negara atau para pemangku kepentingan domestik akan sangat kesulitan mengatur perilaku para instansi non-negara tersebut. Alhasil, politisi yang bisa dapat dukungan dari aktor besar non-negara bisa menciptakan dominasi citra politik yang sulit ditangkal oleh permainan politik domestik.  

Nah, dari pandangan ini, persoalan Erick dan kemampuannya berkomunikasi secara ‘intim’ dengan FIFA sebetulnya jadi indikasi kuat bahwa ia memiliki modal politik yang tidak dimiliki oleh bakal calon presiden (bacapres) lain, yaitu dukungan sebuah instansi non-negara internasional yang begitu kuat, yakni FIFA.  

Kalau selama ini para tokoh politik Indonesia mungkin mengandalkan ketersukaan dari pemangku kepentingan domestik, Erick barangkali jadi politisi ‘tercanggih’ dengan mendapatkan modal politik non-konvensional bertaraf internasional. Menjadi lebih penting lagi kalau kita mengingat mayoritas populasi Indonesia sangat menggemari cabang olahraga sepak bola. 

Namun, pencapaian Erick dalam melobi FIFA tidak hanya sekadar tentang unjuk gigi modal politik yang ia miliki. Lantas, apa lagi?  

Baca juga :  Adu Mekanik Endorse Anies vs Jokowi
image 11

Erick Tampar Balik ‘Penenggelamnya’? 

Kembali mengutip pembahasan dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Ganjar ‘Diperalat’ Tenggelamkan Jokowi-Erick?, ada dugaan bahwa manuver-manuver politik yang berujung pada pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia merupakan suatu desain untuk ‘menampar’ Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Erick bahwa ada kekuatan politik kuat di luar struktur pemerintahan. 

Kalau dugaan itu memang benar, maka upaya-upaya kuat yang dilakukan Erick untuk mendapatkan sisi baik FIFA bisa jadi sebenarnya juga sebagai bukti bahwa dirinya tidak tinggal diam di bawah dominasi suatu pihak dan ingin membalas dendam, tapi mungkin secara sehat.  

Hal ini sebenarnya cukup masuk akal. Michael McCullough dalam wawancaranya di artikel Revenge serves a very useful purpose, menyebutkan bahwa rasa ingin balas dendam adalah hal yang pasti terjadi pada setiap orang jika ia diperlakukan dengan tidak seharusnya. Menurutnya, berkaca pada kepuasan mental seorang manusia, balas dendam pun jadi sesuatu yang dijustifikasi.  

Sebagai contoh, balas dendam, kata McCullough, mampu menjadi sinyal bahwa kita bukan tipe orang yang diam saja bila diintimidasi oleh pihak lain. Dalam jangka panjangnya, aksi balas dendam mampu menjadi deterrent atau penangkal dari upaya seseorang untuk meremehkan kita di masa depan. 

Namun, McCullough mencatat bahwa bentuk balas dendam yang kita sampaikan juga perlu dilakukan secara rapi dan elegan. Terkait itu, mungkin jenis balas dendam yang sedang ingin dilakukan oleh Erick terinspirasi dari adagium psikologi lama: “balas dendam yang terbaik adalah dengan kesuksesan.” 

Yess, dengan menunjukkan bahwa dirinya mampu memberikan kompensasi pada rakyat Indonesia atas batalnya Piala Dunia U-20 dengan Piala Dunia U-17, Erick bisa memberikan sinyal yang begitu kuat pada mereka yang ingin melihat dirinya jatuh. Kendati sudah diserang secara keji, Erick masih bisa memperoleh kesuksesan dengan usahanya sendiri, kalau nantinya memang Piala Dunia U-17 jadi diselenggarakan di Indonesia. 

Kalau memang dugaan ini sedang terlintas dalam pikiran Erick, maka Erick setidaknya berpeluang menghantam dua burung dengan satu batu. Pertama, untuk balas dendam pada pihak yang menjatuhkannya, dan kedua, sekaligus menancapkan pesona politik yang kuat di publik dengan menjadi ‘hero’ sepak bola Indonesia karena mampu menyelesaikan suatu permasalahan internasional yang begitu kompleks.  

Akhir-akhirnya, semua ini berpotensi sangat menguntungkan Erick di 2024 jika memang ia memutuskan untuk maju sebagai seorang capres atau cawapres. 

Pada akhirnya, tentu semua ini hanyalah interpretasi belaka. Yang jelas, sepertinya mayoritas masyarakat kita akan setuju kalau Indonesia bisa diberikan kesempatan kedua untuk menggelar sebuah event olahraga sepak bola bertaraf internasional. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia?