Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara terbuka menegur Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Jokowi menyiratkan ketidakpuasannya terhadap kinerja Luhut terkait pertumbuhan investasi. Akankah ini menjadi momentum bagi Jokowi untuk mengevaluasi keberadaan Luhut di kabinetnya?
Agaknya sudah menjadi rahasia umum bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Kedekatan tersebut terbukti dari langgengnya posisi Luhut kendati keberadaannya dalam kabinet kerap menuai sentimen minor publik.
Tak hanya diberikan posisi strategis sebagai menteri yang mengurusi kemaritiman dan investasi, nyatanya Presiden Jokowi juga kerap mendelegasikan Luhut untuk menangani sejumlah persoalan penting. Hal inilah yang akhirnya membuat publik menjulukinya sebagai Menteri Segala Urusan.
Namun beberapa hari yang lalu, ada kejadian tak biasa dalam konteks hubungan Jokowi-Luhut.
Pada sidang paripurna kabinet, Presiden Jokowi secara khusus menegur Menko Marves Luhut dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia terkait realisasi investasi yang dinilainya tak memuaskan.
Kepala Negara mengisyaratkan kekecewaannya lantaran realisasi tersebut diproyeksikan terkontraksi mencapai 6 persen. Padahal, menurut pengakuannya, Ia sudah mewanti-wanti kedua anak buahnya itu untuk menahan laju kontraksi agak tak melebihi 5 persen.
Konteks teguran Presiden Jokowi kali ini, khususnya kepada Menko Marves menarik untuk didalami lantaran ini bukan kali pertama Luhut dianggap gagal mengeksekusi perintah Presiden. Beberapa waktu lalu, Ia juga dianggap tak berhasil menjalankan titah Kepala Negara yang memintanya untuk menurunkan angka penularan Covid-19 di sejumlah daerah.
Lantas dengan kegagalan berulang yang dilakukan Luhut, mungkinkah akhirnya Presiden Jokowi bakal mempertimbangkan untuk mencopotnya dari jajaran kabinet?
Masih Lebih Baik?
Meski Presiden Jokowi terkesan menyayangkan ketidakmampuan pembantu-pembantunya dalam menahan laju kontraksi pertumbuhan investasi, namun nyatanya sejumlah ekonom justru bersikap sebaliknya. Mereka berpendapat wajar jika di tengah situasi pandemi Covid-19 seperti saat ini, realisasi pertumbuhan investasi bercokol di zona negatif.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics (Indef) Faisal Basri, misalnya, menyebut angka investasi yang bertumbuh negatif bukanlah kesalahan Luhut, melainkan karena dampak pandemi yang mau tak mau memaksa para investor untuk menunda investasi.
Faktanya kontraksi terhadap pertumbuhan investasi tak hanya dialami Indonesia. Bahkan Faisal jugu menilai apa yang dialami Indonesia masih lebih baik dibandingkan negara lain.
Berdasarkan laporan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), rata-rata nilai foreign direct investment (FDI) global memang anjlok hingga 49 persen pada semester I 2020. UNCTAD menilai anjloknya FDI global ini memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap negara-negara berkembang dikarenakan keterbatasan mereka dalam memberikan paket stimulus ekonomi.
Selain itu, menurunnya nilai kesepakatan keuangan lintas batas (cross-border project finance deals) sebesar 25 persen, dengan kontraksi terbesar yang terjadi pada kuartal ketiga 2020, juga menunjukkan bahwa penurunan FDI global masih akan terus berlangsung.
Di sejumlah negara berkembang, kontraksi FDI yang terjadi memang jauh lebih parah daripada yang dialami Indonesia. Di Brasil, nilai investasi langsung asing mereka bahkan jatuh hingga 48 persen di semester I 2020. Di periode yang sama, Bangladesh juga hanya mampu mencatatkan nilai FDI sebesar US$ 1,15 miliar, atau terkontraksi 31,79 persen dari tahun lalu.
Senada dengan Faisal, Ekonom Senior Center of Reforms Economics (Core) Indonesia, Hendri Saparini juga menilai agar pemerintah sebaiknya tak perlu berharap banyak kepada realisasi investasi.
Menurutnya, di situasi seperti saat ini, sebaiknya Presiden Jokowi dan jajarannya fokus untuk mengevaluasi alokasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 695,2 triliun kepada program yang bisa terealisasi lebih cepat, dan memiliki multiplier effect. Dengan begitu, investasi akan tumbuh dengan sendirinya, meskipun nilainya tak begitu besar dan bertahap.
Dengan mempertimbangkan data-data tersebut, maka konteks teguran Presiden Jokowi terhadap Menko Marves Luhut memang bisa dibilang kurang tepat. Faisal Basri bahkan menyamakan teguran tersebut dengan klaim kemenangan sepihak Donald Trump baru-baru ini, meskipun hasil pemilu belum secara resmi diumumkan.
Kendati demikian, tak dapat dipungkiri, Presiden Jokowi tetaplah Kepala Negara yang memiliki hak prerogatif untuk mengangkat atau memberhentikan pembantu-pembantunya. Lantas apakah kekecawaan terhadap Luhut kali ini bisa berujung pada pencopotan dirinya dari kabinet?
Romansa Jokowi-Luhut
Aaron L Connelly dalam tulisannya yang berjudul Indonesian Foreign Policy Under President Jokowi mengatakan bahwa hubungan antara Presiden Jokowi dan Luhut sebenarnya telah terjalin jauh sebelum mantan Wali Kota Solo itu duduk di kursi RI-1. Bahkan Ia menyebut bahwa Luhut menjadi salah satu orang yang berperan besar dalam membuka jalan bagi Jokowi untuk menuju Istana.
Pertemuan mereka berawal di tahun 2008, saat Luhut tengah mencari seseorang yang bisa mengubah kayu mentah dari konsesi kehutanannya di Kalimantan menjadi produk jadi. Kemudian seorang rekan bisnis memperkenalkannya kepada pengusaha eksportir furnitur kayu yang belum lama terpilih sebagai Wali Kota Solo, yakni Jokowi.
Hubungan keduanya nyatanya tak berhenti sampai di situ. Luhut disebut-sebut terus mendukung karier politik Jokowi, termasuk dengan memberikannya ‘bantuan finansial’, hingga akhirnya terpilih menjadi Presiden, bahkan untuk dua periode lamanya.
Melengkapi pendapat Connelly, Kanupriya Kapoor dalam tulisannya di Reuters mengatakan bahwa selain sebagai penyandang dana, Luhut nyatanya juga berperan sebagai gate keeper yang melindungi Jokowi dari kepentingan partai-partai politik, termasuk Megawati Soekarnoputri dan PDIP. Singkatnya, bisa dibilang Luhut adalah ‘bumper’ Jokowi dari tekanan politik yang diarahkan kepadaya.
Maka dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, kiranya mencopot Luhut bukanlah prospek yang menguntungkan bagi Presiden Jokowi, mengingat betapa sentralnya peran mantan Duta Besar Indonesia untuk Singapura tersebut bagi dirinya maupun kabinet.
Selain itu, sebagai pihak yang dianggap menjadi penghubung antara Presiden Jokowi dengan partai-partai politik – begitu juga para investor, Luhut tentu masih akan sangat dibutuhkan terutama dalam konteks pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 nanti.
Lantas jika sekiranya Presiden Jokowi memang tak akan mencopotnya dari kabinet, lantas apa signifikansi teguran Presiden terhadap Luhut?
Politics of Rage
Sentilan Presiden Jokowi terhadap Luhut sejatinya bukanlah teguran pertama terhadap para pembantunya. Mungkin masih segar di ingatan publik, pada Juni lalu, Jokowi juga sempat menegur jajaran kabinetnya dengan nada yang bahkan lebih tinggi dan disertai ancaman reshuffle.
Kemarahan Presiden Jokowi saat itu terkait penanganan pandemi Covid-19 yang dinilainya tak banyak mengalami kemajuan. Saat itu, sang presiden bahkan sampai menyebut menteri-menterinya tak memiliki sense of crisis.
Dalam politik, ekspresi kekecewaan atau kemarahan semacam itu memang memiliki kekuatannya sendiri.
Joanne Freeman dalam tulisannya yang berjudul America Descends Into the Politics of Rage menilai bahwa ekspresi kekecewaan atau kemarahan yang dipertontonkan dengan cara yang tepat, serta kepada audiens yang tepat dapat menarik atensi dan mensignifikan kekuatan politik. Strategi ini bahkan disebut-sebut bisa membuat sesuatu yang bersifat personal menjadi politis, dan sebaliknya.
Dalam konteks kemarahan Presiden Jokowi sebelumnya, Direktur Eksekutif Survei Indikator, Burhanuddin Muhtadi menilai teguran yang disampaikan dengan nada tinggi saat itu tak lebih hanya untuk memuaskan publik lantaran tidak diikuti oleh tindakan nyata seperti reshuffle kabinet.
Namun tak seperti pada kemarahan Presiden Jokowi Juni lalu yang secara umum diarahkan kepada kabinet, dalam konteks teguran kali ini, Presiden Jokowi secara spesifik menyebut dua nama, yakni Menko Marves Luhut dan Kepala BKPM Bahlil.
Lalu jika dipertimbangkan fakta bahwa Luhut lah yang kerap mendapat sorotan karena dianggap sebagai menteri super, maka teguran Presiden Jokowi terhadapnya bisa saja dipandang sebagai cara presiden untuk membantah pandangan tersebut. Singkatnya, bisa dibilang melalui teguran tersebut, Presiden Jokowi ingin menunjukkan kepada publik, Who’s the boss.
Pada akhirnya, meski bersandar pada teori-teori logis, apa sebenarnya motif teguran Presiden Jokowi terhadap Menko Marves Luhut terkait pertumbuhan investasi hanyalah pihak terkait sendiri yang tahu. Namun yang jelas, dengan mempertimbangkan betapa pentingnya posisi Luhut bagi Jokowi, agaknya teguran ini tak akan sampai berujung pada pemecatannya dari kabinet.
Kendati begitu, politik adalah suatu hal yang sangat dinamis. Apapun masih bisa mungkin terjadi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.