Keputusan hakim adalah mahkota hakim. Layaknya sebuah mahkota, keputusan tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang bernilai tinggi, melainkan juga keputusan itu adalah representasi dari martabat seorang hakim. Namun, bagaimana jika keputusan itu melahirkan ambiguitas, seperti dalam keputusan terkait UU Ciptaker? Apakah keputusan itu masih seperti mahkota yang bermartabat?
Perdebatan konstitusi di Indonesia memasuki babak baru. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hasil putusan MK menetapkan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat, harus diperbaiki dalam dua tahun, jika tidak dilakukan, maka UU tersebut inkonstitusional secara permanen.
Dalam putusan MK, selain pemerintah dan DPR harus melakukan perbaikan atas UU Ciptaker, dilarang juga untuk menerbitkan aturan pelaksana baru atas undang-undang sapu jagat ini. Peristiwa menarik dari mekanisme pangambilan keputusan terhadap UU Ciptaker ini ialah munculnya pendapat berbeda atau dissenting opinion hakim MK. Empat dari sembilan hakim MK mengajukan dalil berbeda dalam putusan tersebut.
Keempat hakim MK tersebut adalah Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh. Dalam pandangan dua hakim MK, Arief dan Anwar, praktik omnibus law sudah menjadi hukum yang diwajarkan oleh sistem common law. Secara sederhana, omnibus law adalah metode pembuatan aturan yang dilakukan dengan cara menghimpun sejumlah aturan dengan substansi yang beragam.
Baca Juga: UU Ciptaker, Untuk Kebaikan Siapa?
Sedangkan, MK memutuskan bahwa pembuatan omnibus law melanggar UUD 1945, dengan menyebut UU Ciptaker melanggar format susunan peraturan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
Dua hakim lain, Manahan dan Daniel memberikan pendapat bahwa dalil para pemohon yang menyatakan pembentukan UU Ciptaker cacat formal tidaklah tepat. Alasan mereka, bahwa ketentuan UU PPP tidak secara ekplisit menyebutkan adanya metode tertentu yang harus digunakan dalam pembuatan undang-undang.
Dalam konteks sosiologi hukum, hal yang menarik dari peristiwa ini bukan hanya permasalahan legal teknis secara hukum, melainkan juga sebuah fenomena perbedaan pendapat para hakim MK yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Perbedaan pendapat ini dalam istilah hukum disebut dissenting opinion. Lantas, seperti apa sebenarnya dissenting opinion itu?
Memahami Dissenting Opinion
Pada awalnya, prinsip aturan hukum atau rule of law sangat dipengaruhi oleh cara, sifat, dan suasana kebebasan para hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Hakim yang mempunyai kebebasan untuk memutuskan suatu perkara, juga dipengaruhi oleh beberapa atribut sebagai kerangka acuan, di mana hakim tidak hanya berpegang pada prinsip legalitas (homo yuridicus), hakim juga mendasari keputusannya pada prinsip etika atau keutamaan moral (homo ethicus), dan juga pada keutamaan teologikal (homo religious).
Miriam Budiardjo dalam bukunya Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa, mengatakan, kebebasan hakim merupakan kebebasan yang tidak bersifat mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan, yang harus didasarkan kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.
Kebebasan hakim dapat dilihat dari cara menyampaikan pandangan yang berbeda dalam suatu perkara, yang juga tentunya akan mendorong hakim untuk kreatif dalam merealisasikan pandangannya secara mandiri.
Kebebasan hakim ini pada dasarnya bukan merupakan kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab dalam menemukan kebenaran materiil. Tentunya, hal ini akan membuat hakim mempunyai pendapat yang berbeda atau dissenting opinion.
Achmad Sodiki dalam bukunya Dissenting Opinion Menuju Living Constitution, mengatakan, dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari mayoritas atau pendapat hakim yang berbeda dalam suatu putusan, mulai dari fakta hukum, pertimbangan hukum, sampai amar putusannya berbeda.
Dissenting opinion merupakan instrumen menuju kualitas penegakan hukum yang lebih baik, pranata ini, memiliki beberapa makna penting dalam pembangunan dan perkembangan hukum di Indonesia. Pertama, menjaga peradilan tetap sehat; kedua, sebagai cerminan kebebasan personal hakim dan imparsialitas hakim; ketiga, memberikan efek psikologi dalam membuat putusan pengadilan di masa depan; keempat, sebagai bahan pengujian publik terhadap putusan pengadilan; dan kelima, sebagai instrumen mengembalikan public trust terhadap putusan pengadilan.
Baca Juga: UU Ciptaker: dari Demonstrasi Menuju MK
Perbedaan pendapat empat hakim MK saat memberikan alasan-alasan pandangannya, melahirkan setidaknya tiga isu hukum yang menghadirkan perbedaan pendapat. Pertama, format susunan UU Ciptaker yang menggunakan teknik omnibus law; kedua, pembentukan UU Ciptaker bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan; ketiga, adanya perubahan materi pasal, paska persetujuan bersama DPR dan Presiden.
Dari ketiga isu di atas, terbagi dua pandangan yang berbeda, yaitu menilai legal dan tidak. Enam hakim menilai UU Ciptaker Illegal, sedangkan empat hakim yang lain menilai legal dengan pandangan dan argumentasi tersendiri.
Argumentasi dissenting opinion empat hakim di atas menjelaskan bahwa, pertama, praktik omnibus law sudah menjadi hukum kebiasaan di sistem common law; kedua, metode pendekatan omnibus law dapat mengatasi permasalahan hyper regulation, sebuah peraturan yang berpotensi tumpang tindih; ketiga, mengatakan UU PPP tidak secara eksplisit menentukan metode pembentukan omnibus law dapat atau tidak dilakukan.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa dissenting opinion merupakan sesuatu yang lumrah terjadi, hal ini diakibatkan karena kebebasan hakim untuk menafsirkan undang-undang, sehingga dalam persidangan majelis hakim pasti punya pandanggan yang berbeda-beda pula.
Dalam konteks persidangan di MK yang membahas UU Ciptaker, dissenting opinion melahirkan sebuah putusan yang dianggap ambigu, yaitu bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat, harus diperbaiki dalam dua tahun, jika tidak dilakukan, maka UU tersebut inkonstitusional secara permanen. Apakah itu bentuk penolakan halus, atau justru penerimaan?
Well, muncul pertanyaan, kenapa putusan yang harusnya menjadi jawaban, malah melahirkan pertanyaan?
Menjawab Ambiguitas
Kritik bahwa putusan MK tentang UU Ciptaker penuh ambiguitas, dapat kita lacak dari tulisan Denny Indrayana yang berjudul Lima Ambiguitas Putusan MK terkait Pembatalan UU Cipta kerja. Disebutkan, putusan uji materi atau judicial review MK bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, menimbulkan ketidakpastian hukum, bahkan menjadi sumber munculnya perselisihan.
Pertama, MK menyatakan UU Ciptaker bertentangan denggan UUD 1945 tapi masih memberi waktu berlaku dua tahun. Kedua, terdapat 10 dari 12 putusan yang kehilangan objek, menurut Denny, dengan masih berlakunya aturan itu seharusnya objek uji materi terhadap UU Cipta Kerja masih ada.
Ketiga, mengkritisi bahaya terjadinya impunitas konstitusi bagi norma-norma dalam UU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar UUD 1945. Impunitas adalah fakta yang secara sah memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Biasanya ini terjadi dari penolakan atau kegagalan sebuah pemerintah untuk mengambil atau melaksanakan tindakan hukum kepada pelaku.
Keempat, terdapat dua pendapat yang muncul, pertama kubu yang berpandangan UU Cipta Kerja masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun. Sedang kubu lainnya berpendapat UU Cipta Kerja tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali, hal ini menimbulkan multitafsir menurut Denny.
Kelima, MK dinilai sangat ketat menerapkan formalitas pembuatan UU, termasuk mengkritisi minimnya ruang partisipasi publik. Namun, standar yang sama tidak berlaku ketika menguji perubahan Undang-Undang KPK dan perubahan Undang-Undang Minerba, yang prosesnya sangat cepat.
Dari kelima poin ambiguitas yang dijelaskan oleh Denny, hal itu akan menjadi akses bagi publik untuk melihat bahwa lembaga seluhur MK, dalam mengambil keputusan terkesan berkompromi atau bernegosiasi. Tentunya konteks politik yang akan menjadi bahan pembanding publik dalam melihat hal ini, seperti yang diketahui UU Ciptaker merupakan produk pemerintah yang kontroversi sejak kemunculannya.
Baca Juga: UU Ciptaker dan Urgensi Reformasi Sistem
Hal ini, seolah membenarkan imajinasi liar publik yang mengaitkan hasil keputusan MK yang penuh ambiguitas ini, dengan menyandingkan pemerintah hari ini yang mempromosikan UU Ciptaker dengan banyak polemik.
Dalam pendekatan sosiologi hukum, seringkali sumber hukum berupa undang-undang sulit dipahami, tidak jelas artinya, kabur dan samar, atau mengandung pengertian yang ambigu. Selain itu, undang-undang atau sumber hukum yang lain, yang menjadi landasan hakim dalam membuat putusan juga bertentangan dengan konstitusi.
Oleh karena itu, hakim dalam menghadapi ambiguitas akibat tafsir hukum, seringkali menggunakan dua pendekatan berpikir yang disebut dengan berpikir aksiomatris dan berfikir problematis.
Bernard Arief Sidharta dalam bukunya Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, mengatakan, kegiatan berpikir seorang hakim dalam upaya menemukan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berfikir aksiomatris dan berfikir problematis.
Berpikir aksiomatris dimulai dari kebenaran yang tidak diragukan lagi, sehingga cukup mudah untuk sampai pada kesimpulan yang mengikat. Berpikir aksiomatris diperlukan untuk menemukan landasan dan pembenaran atas suatu pendapat dengan memperhatikan kesalingterkaitan antara persoalan hukum dengan ketentuan hukum, dan antara ketentuan hukum yang satu dengan hukum yang lainya. Sedangkan berpikir secara problematis, persoalan pertamanya bukanlah menemukan dasar hukum, melainkan alasan hukum yang paling dapat diterima dengan memperhatikan stabilitas dan prediktabilitas putusan yang mengacu pada sistem hukum positif.
Kedua cara berfikir ini, sebenarnya mampu mengurai permasalahan ambiguitas yang berlangsung dalam proses pengambilan keputusan hakim. Begitu pula dalam permasalahan putusan MK yang dianggap oleh publik penuh dengan ambiguitas. Rupanya dalam proses penafsiran hukum, hakim juga seringkali mempunyai penafsiran berbeda-beda.
Sebagai penutup, mungkin dalam proses penafsiran hukum yang menjadi keniscayaaan bahwa dissenting opinion pasti hadir mulai dari tafsir terhadap fakta hukum, pertimbangan hukum, sampai amar putusan. Tapi setidaknya, hakim harus mampu sebisa mungkin untuk membuat putusan yang tidak melahirkan ambiguitas berikutnya, yaitu ambiguitas tafsiran publik terhadap hasil putusan hakim. (I76)