Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tampak cukup lihai dalam memainkan politik pangan jelang Pilpres 2024 setelah menggandeng Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo untuk memastikan ketersediaan kebutuhan pokok di ibu kota jelang Hari Raya Idul Adha. Namun, apakah hal itu cukup berarti bagi misi pencapresannya kelak?
Waktu kian menipis bagi Anies Baswedan untuk “menabung” modal politik jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Meskipun tak pernah secara terbuka menyatakan diri sebagai calon presiden (capres), nama Gubernur DKI Jakarta itu selalu berada di posisi teratas berbagai survei elektabilitas.
Oleh karena itu, berbagai kebijakan dan manuvernya kerap ditafsirkan sebagai upaya mengumpulkan kekuatan menuju kontestasi elektoral kelak.
Satu yang terbaru dan cukup menarik datang saat Anies bertandang ke Kementerian Pertanian (Kementan) di bilangan Ragunan, Jakarta Selatan. Dalam lawatan itu, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) meminta sokongan serta jaminan ketersediaan hewan kurban dan stok pangan jelang Hari Raya Idul Adha.
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) langsung merespons dengan baik dan memastikan akan memenuhi permintaan Anies. Politikus Partai NasDem itu juga menjamin akan mengirimkan pasokan hewan kurban dari zona hijau penyakit mulut dan kuku (PMK) yang sedang merebak.
Selain hewan kurban, SYL turut mendukung penuh penyediaan pangan strategis, seperti beras, minyak goreng, bawang, hingga aneka jenis cabai untuk DKI Jakarta.
Gestur Mentan tampak begitu positif terhadap Anies dengan mengiringi komitmen kementerian yang dipimpinnya itu lewat sebuah janji dan dukungan.
“Saya janji akan back-up penuh. Kami supporting system apa yang engkau mau,” ujar SYL.
Jika dilihat dalam dimensi politik, sokongan SYL tampaknya mencerminkan sinergi konkret antara Partai NasDem dengan Anies sebagai sosok terkuat yang menjadi calon presiden (capres) hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada pertengahan Juli lalu.
Lebih spesifik lagi, sokongan Mentan SYL agaknya juga menggambarkan kelebihan dalam pengelolaan aspek pangan yang ciamik dari Anies sebagai sebuah kapital politik.
Politik pangan kiranya menjadi satu hal yang cukup diperhatikan oleh Anies dalam tupoksinya sebagai DKI-1 dan perjalanannya menuju kontestasi elektoral 2024. Lantas, mengapa hal itu menjadi penting?
Esensi Politik Pangan
Penyair dan penulis naskah drama asal Jerman Bertolt Brecht pernah mengungkapkan sebuah adagium terkenal yang memiliki korelasi dalam derajat tertentu dengan politik pangan.
Brecht mengatakan, “Buta terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik”.
Di dalam kutipan masyhur itu, sangat jelas keterkaitan antara aspek pangan dan politik di mana Brecht melihat fenomena itu kerap diabaikan oleh sebagian besar orang.
Secara teoretis, pangan memiliki fungsi simbolis. Alison Perelman menjabarkan konteks tersebut dalam disertasinya yang berjudul Political Appetites.
Dia melandasi analisisnya dari teori strukturasi sosiolog berkebangsaan Inggris Anthony Giddens tentang penciptaan dan reproduksi sistem sosial yang berbasis pada analisis struktur dan agen.
Intinya, pangan, terutama makanan pokok sebagai kebutuhan dasar, memiliki kaitan erat dengan selera dan konsumsi yang mencerminkan identitas individu dan sosial. Itu kemudian melahirkan sebuah pola konsumsi yang memegang peranan penting dalam mendefinisikan identitas dan struktur bersama terbentuk dari proses interaksi.
Esensi itu terus berkembang hingga peradaban masyarakat modern yang mana Perelman menyatakan interaksi dan struktur yang tercipta bertransformasi menjadi simbol komunikasi politik.
Contoh konkretnya tampak dari bagaimana aktor politik menggunakan diskursus pangan sebagai salah satu variabel kampanye dan promosi politik. Hal ini tercermin dari wacana revolusioner mengenai klaim stabilisator harga makanan serta komoditas pangan pokok lainnya jelang kontestasi elektoral.
Tak hanya itu, terjadinya krisis politik kerap dipantik oleh aspek pangan. Fenomena kelangkaan hingga kenaikan harga pangan tidak jarang berbuah gelombang ketidakpuasan masyarakat luas yang terkonversi menjadi tekanan politik pada penguasa.
Kegentingan politik yang terkenal dengan “Arab Spring” menjadi realitas yang terjadi di negara-negara Asia Barat dan Afrika bagian Utara sekitar satu dekade silam. Kala itu, kenaikan secara drastis harga roti sebagai makanan pokok masyarakat menjadi arang yang memanaskan tensi politik hingga berujung kejatuhan sejumlah pemimpin negara.
Bahkan, sebelum Arab Spring, roti telah menjadi simbol atau variabel spesifik yang selalu mengiringi ketika terjadi gejolak sosial-politik di wilayah tersebut.
Politik pangan juga memiliki irisan tak terpisahkan dengan konsep food security atau keamanan pangan yang kini menjadi tantangan di berbagai negara. Pakar demografi dan ekonom politik Inggris Thomas Robert Malthus dalam bukunya An Essay on the Principle of Population bahkan telah memprediksi hal ini sejak akhir abad ke-18.
Malthus mengemukakan teori laju pertumbuhan populasi, yang menyatakan bahwa peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung dan pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur.
Itu menyebabkan manusia akan mengalami kekurangan pangan dan ancaman kelaparan di masa depan.
Nyatanya, perkembangan teknologi di bidang reproduksi manusia maupun di bidang pangan masih belum mampu menjamin ketersediaan pangan secara merata yang dapat diakses semua orang.
Bahkan, hukum permintaan ekonomi plus faktor inflasi akan membuat harga pangan dipastikan terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu dan akan menjadi “bom waktu” bagi stabilitas politik jika tak dikelola dengan baik.
Eksploitasi dan konversi lahan pertanian yang tampaknya semakin tidak dilakukan dengan bijak juga menjadi faktor pendorong bagi prediksi mimpi buruk Malthus untuk menjadi kenyataan.
Ketidakpastian keamanan dan politik global turut menjadi faktor lain ketika misalnya, tampak dari misi Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Ukraina dan Rusia yang ternyata juga bertujuan mengamankan kembali rantai pasokan bahan pangan seperti gandum ke Indonesia.
Esensi politik pangan itu yang kiranya disadari oleh Anies Baswedan dengan terus membuka relasi positif dengan aktor-aktor terkait, seperti Mentan SYL untuk mengamankan pasokan pangan di ibu kota.
Namun, seberapa signifikan konteks politik pangan bagi pencapresan Anies di 2024?
Anies Tetap Jatuh?
Colum Graham dalam publikasinya yang berjudul Indonesia’s rice racket menjelaskan bahwa pangan, terutama beras, menjadi elemen penting dalam perpolitikan Indonesia.
Ketersediaan bahan pangan utama rakyat Indonesia itu, erat dengan intrik politik para elite dan aktor-aktor yang bermain di balik perdagangan beras atau yang disebut Graham sebagai “rice trader“, bahkan sejak era Soeharto.
Dia menyebut, ada jalinan saling terkait antara para elite, Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (PERPADI), hingga Bulog yang nyatanya memiliki peran di luar hal teknis dalam konteks ketersediaan pangan di Indonesia.
Dengan daya tawarnya, para elite dan trader bahkan memiliki kekuatan politik dan menjadi penentang Jokowi dan PDIP. Hal itu disebut Graham akibat janji infrastruktur Jokowi di bidang pasar pangan Jokowi kala menjadi Gubernur DKI Jakarta tidak dipenuhi.
Graham menyebutkan bahwa hal itu kemudian bermuara pada dukungan terhadap Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa di Pilpres 2014, terus berlangsung hingga era Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat, dan bahkan dampaknya dikatakan membuat Anies memenangkan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017.
Menariknya, Graham menyebutkan nama Jusuf Kalla (JK) dalam konstelasi politik pangan tanah air dalam korelasinya dengan Bulog, Perpadi, dan Bank Bukopin yang menjadi bank pembiayaan off budget Bulog.
Jika ditelusuri, hubungan baik antara Anies dengan JK plus NasDem via SYL agaknya dapat menjadi keunggulan tersendiri bagi Anies dalam konteks politik pangan, paling tidak untuk saat ini.
Terlebih, tahun lalu Anies juga tampak membuka jejaring “broker” politik pangan lain kala bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Ngawi dan Cilacap untuk memenuhi kebutuhan beras di Jakarta.
Jika dikomparasikan dengan kandidat potensial lain seperti Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, Anies pun sekilas masih di atas angin. Proyek food estate yang diampu Prabowo sendiri seolah mandek, sedangkan Ganjar terbentur dengan intrik lahan pertanian dalam kasus Kendeng dan Wadas.
Akan tetapi, politik pangan bukan menjadi faktor tunggal di balik mulusnya sebuah pencapresan maupun pilpres. Apalagi Anies memiliki sejumlah kendala dan pisau bermata dua, antara lain potensi kehilangan panggung politik setelah Oktober 2022, pasang surut dukungan parpol, hingga impresi kedekatan dengan kelompok Islam konservatif.
Apalagi dalam konteks politik pangan, faktor JK saat menjadi wakil presiden juga tak berhasil memenuhi target swasembada padi dan jagung di tahun 2016 serta 2017.
Peluang Anies yang masih sebatas proyeksi hanyalah harapan publisitas ekstra dari media perpanjangan tangan NasDem dan akses ke konglomerat atau insan bisnis yang signifikan, misalnya melalui jejaring pembelot Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sunny Tanuwidjaja.
Yang jelas, koordinasi apik dari politik pangan yang diperagakan Anies diharapkan bukan sekadar manuver demi keuntungan politik semata, namun dapat diimplementasikan secara konsisten, termasuk oleh pemimpin lain, bagi kepentingan masyarakat luas. (J61)