Rencana Hary Tanoesoedibjo bangun Disneyland di Lido, Jawa Berat, mendapatkan perhatian publik. Proyek ini kini mendapatkan restu pemerintah sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata. Mengapa Hary Tanoe bisa berhasil menggolkan rencana tersebut?
Babak baru bagi rencana pembangunan Disneyland dimulai. Setelah pemerintah merestui proyek ini untuk menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK), PT MNC Movieland Indonesia menggelar prosesi cut and fill sebagai tanda dimulainya pembangunan Movieland di kawasan tersebut.
Restu tersebut – sebagaimana diharapkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno – dapat menciptakan 21 ribu tenaga kerja langsung. Selain itu, Lido Music and Arts yang akan dibangun di sana diharapkan dapat diminati anak muda.
Proyek ini bisa dibilang menjadi salah satu proyek terbesar Hary Tanoe. Klaim ini tidak berlebihan sejak dirinya angkat suara bahwa proyek ini akan dibangun di atas lahan 2.000 hektar yang seluruhnya sah milik MNC dan setengah dari lahan inilah yang direstui menjadi KEK.
Baca Juga: Netflix Bikin Hary Tanoe Kepanasan?
Nilai proyek ini sebesar 2-3 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Setelah pengumuman KEK tersebut, saham PT MNC Land Tbk (KPIG) melambung hingga 34,31 persen pada 15 Februari 2021.
Punggawa bisnis global juga terlibat dalam mega proyek ini. Presiden AS ke-45 Donald Trump memiliki andil besar dalam proyek ini melalui Trump Hotel Collection dan golf course yang akan dibangun di sana. Bukan hanya AS, China Metallurgical Corporation (MMC) Group dari Tiongkok akan turut menggarap pembangunan proyek tersebut.
Bukan hanya restu pemerintah pusat, pemerintah daerah tampak senang dengan proyek ini. Bupati Bogor Ade Munawaroh Yasin menganggap proyek ini dapat menumbuhkan potensi ekonomi. Proyek ini juga dapat membuka lapangan kerja dan investasi dan mendukung program Pemda yang mengedepankan sport dan tourism. Meski begitu, 600 kepala keluarga (KK) yang terdiri atas 1.300 jiwa Kampung Ciletuh Hilir masih enggan untuk melepas lahannya untuk proyek ini.
Jalan Hary Tanoe tampaknya sangat mulus tanpa celah meski karier politiknya tidak begitu cerah. Bagaimana mungkin dia bisa mendapatkan restu tersebut? Mungkinkah Hary Tanoe masih memiliki pengaruh politik yang luas
Mega Proyek dan Pemerintahan Neoliberal
Jalan mulus Hary Tanoe diperoleh tampaknya berkat corak pemerintahan neoliberal. Amparo Tarazona Vento dalam tulisannya yang berjudul Mega-project Meltdown: Post-politics, Neoliberal Urban Regeneration and Valencia’s Fiscal Crisis menyebutkan bahwa mega proyek memiliki dua karakteristik kaitannya dengan pembangunan.
Pertama, mega proyek menjadi conduits of neoliberal governance (saluran pemerintahan neoliberal). Berbagai pembangunan mega proyek hari ini dianggap buah hasil dari kerja sama pemerintah dan swasta yang berfokus pada efisiensi, kolaborasi, dan partisipasi.
Bentuk kerja sama ini khas pada pemerintahan hari ini seperti pengerjaan mega proyek tidak terbelenggu birokrasi yang kaku (berbeda dengan proyek di negara-negara komunis) cukup memberikan mandat pada swasta. Di waktu yang sama, pihak swasta berfokus memilih berbagai mitra yang dapat membantu pembangunan tersebut, baik untuk membangun maupun berinvestasi.
Dalam konteks Indonesia, corak neoliberal itu mungkin dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus. Pada Bab VII tentang Fasilitas dan Kemudahan Pertanahan dan Tata Ruang, ayat 78 menyebut bahwa Pengadaan tanah dalam lokasi KEK yang penetapannya berdasarkan usulan kementerian/lembaga dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan pertanahan bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan konteks undang-undang tersebut, pembangunan Kawasan Lido akan semakin mudah jika pemerintah secara eksplisit menentukan lokasi tanah yang akan dibangun untuk KEK.
Bukan hanya soal tanah, kemudahan lain pun akan diperoleh Hary Tanoe. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang KEK yang merupakan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menyebutkan pada pasal 71 bahwa badan usaha atau pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan fasilitas dan kemudahan berupa perpajakan, kepabeanan, dan cukai, lalu lintas barang, ketenagakerjaan, dan keimigrasian.
Baca Juga: PPP-Perindo ‘Abaikan’ Orang Papua?
Tahukah, #SobatParekraf?
Terletak di Bogor, Jawa Barat, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Lido nantinya menawarkan berbagai atraksi menarik, yaitu taman hiburan kelas dunia, resor berbintang, studio film, serta aneka event seru seperti festival musik. pic.twitter.com/GfZWsoobTB— Pariwisata & Ekonomi Kreatif (@Kemenparekraf) March 10, 2021
Bahkan, penunjukan lahan ini menjadi KEK terbilang ajaib. Proyek ini awalnya tidak masuk kandidat KEK yang ada hanyalah KEK akan dibangun di Sukabumi, Tangerang, Sungailiat, dan Tanjung Gunung. Adapun yang akan dibangun di Sukabumi milik PT Bintang Raya Lokalestari dengan luas 880 hektar.
Sejumlah pihak mencoba menafsir alasan penunjukan lahan tersebut. M. Baiquni – seorang dosen di Program Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) – menilai bahwa penunjukan ini disinyalir ada kaitannya dengan Angela Tanoesoedibjo, putri Hary Tanoe yang sekaligus menjabat Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf).
Namun, pakar lain punya perspektif berbeda. Fithra Faisal Hastiadi sebagai ekonom dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa dikelolanya Kawasan Lido oleh Hary Tanoe justru tepat karena pengembangan KEK yang selama ini lelet karena digarap BUMD. Jika benar yang Hastiadi sampaikan, ini masuk ke dalam ciri kedua, mega proyek menjadi tools of depolitization.
Istilah depolitization merujuk pada penyempitan politik menjadi ekonomi dengan cara berbagai mega proyek dianggap menjadi solusi bagi masalah sosial. Lambatnya pengelolaan BUMD bukan sekedar soal keterlambatan pembangunan, melainkan juga menjadi penghambat bagi terbukanya lapangan kerja dan lahan bisnis bagi usaha mikro kecil dan menegah (UMKM). Boleh jadi, cara berpikir itulah yang terbersit dalam pikiran pemerintah pusat dan daerah yang menempatkan harapan pada proyek ini.
Bukan hanya soal corak neoliberalisme dan depolitisasi, mega proyek juga erat kaitannya dengan globalisasi. Ini ditandai makin banyaknya diadopsi berbagai kebijakan yang berorientasi pada kemudahan akses untuk berbisnis.
Dalam konteks kasus ini, kerja sama dengan Trump menjadi satu dari gambaran umum dari proses globalisasi. Bukan tidak mungkin, ini menjadi bagian dari upaya AS untuk memperkuat kembali hubungan ekonomi di Asia Tenggara yang terlihat dengan kunjungan sejumlah pejabat tingginya ke Indonesia.
Lantas, apakah jalan mulus Hary Tanoe sekadar berkah yang diterimanya atas corak neoliberal pemerintah? Atau, mungkin, ini juga berkaitan dengan pengaruh politik yang dimiliki oleh pebisnis tersebut?
Hary Tanoe dan Konglomerasi Media
Karier bisnis Hary Tanoe dimulai menjelang runtuhnya Orde Baru. Sebagai anak pengusaha Ahmad Tanoesoedibjo, dia merintis PT Bakti Investama yang memiliki bisnis dengan membeli perusahaan yang akan collapse yang kemudian dibenahi dan setelahnya dijual. Bisnis ini dianggap sangat menguntungkan dit engah krisis moneter pada akhir dekade 1990-an yang menimpa Indonesia dan berdampak pada banyaknya perusahaan yang bangkrut.
Di tahun-tahun awal reformasi, Hary Tanoe boleh dibilang menjadi rajanya media. Klaim ini tidak berlebihan mengingat sejumlah jabatan presiden direktur dipegangnya di berbagai media seperti Presdir PT Global Mediacom Tbk (2002), PT Media Nusantara Citra Tbk (2002), PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) (2003). Dia juga menjabat sebagai komisaris di PT Mobile-8 Telecom Tbk, Indovision.
Baca Juga: Manuver Sandi dan Hary Tanoe
Karier awal reformasi yang ditempuh Hary Tanoe membuatnya menjadi apa yang Ross Tapsell sebut dalam tulisannya yang berjudul The Media and Democratic Decline sebagai digital conglomerate. Istilah ini merujuk pada mereka yang memiliki kemampuan melakukan konvergensi dalam produksi berita yang ditempuh dengan cara membeli sejumlah kompetitor media skala kecil. Lahirnya jenis konglomerat ini menjadi jawaban di saat media mulai menghadapi kompetitor baru yaitu internet.
Peran konglomerat ini adalah menguasai media-media tersebut untuk menguasai arus modal yang menentukan bertahannya media tersebut. Peran ini tampaknya sesuai dengan Hary Tanoe yang ditunjukkan dengan bertahannya media-media yang dia pegang sejak tahun 2002.
Konglomerasi media oleh Hary Tanoe bersamaan dengan keinginannya terjun ke dunia politik pada 2011. Konglomerat yang menguasai media dan juga terjun politik menjadi fenomena khas sejak 2009.
Pada tahun tersebut Indonesia memasuki masa ketika konglomerasi media tampaknya bermanfaat dalam politik – ditandai munculnya sejumlah nama politisi yang memiliki media seperti Dahlan Iskan dengan Jawa Pos Grup, Chairul Tanjung dengan Trans. Corp, Aburizal Bakrie dengan TVOne, serta Surya Paloh dengan Metro TV.
Pada 2011, Hary Tanoe bergabung dengan Partai Nasdem dan menjabat sebagai Ketua Dewan Pakar dan Wakil Ketua Majelis Nasional di Partai Nasdem hingga 2013. Lalu, kariernya dilanjutkan dengan menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Partai Hanura dan sempat dicalonkan menjadi calon wakil presiden (cawapres) – berpasangan dengan Wiranto. Pada 2015, dia mendirikan Perindo dan menjabat sebagai ketua umum.
Kariernya di media tidak selalu cerah. Pada 2017, namanya terseret ke dalam kasus SMS ancaman terhadap penyidik kejaksaan saat menyelidiki kasus dugaan korupsi restitusi pajak PT Mobile 8 periode 2007-2009. Ross Tapsell menduga kasus ini membuat dia banting setir untuk mendukung Jokowi.
Karier politiknya juga tidak selalu cerah. Meskipun mendukung Jokowi, Perindo tidak memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen di mana Perindo hanya memperoleh suara sebesar 2,67 persen. Ironisnya, pada waktu yang sama, Perindo telah mengeluarkan uang Rp82,73 miliar untuk iklan partainya dan ini paling tinggi dibanding yang lainnya. Namun, Perindo dinilai masih mendapatkan jatah untuk mengajukan Angela Tanoe dan dia mendapatkan posisi sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Karier mentereng Hary Tanoe tampaknya masih diimbangi dengan keuntungan yang diperolehnya dari pemerintahan Jokowi yang dinilai banyak orang bercorak neoliberal. Pembangunan Disneyland yang diproyeksikan akan selesai dalam 30 tahun ini akan terus mengundang aktor-aktor baru yang terlibat yang itu masih bisa menguatkan atau melunturkan peran Hary Tanoe.
Meski begitu, terlepas dari berbagai persoalan dalam perjalanan politik dan bisnis Hary Tanoe, bukan tidak mungkin pemilik MNC Group ini masih memiliki pengaruh pada tingkat tertentu. Lagipula, seperti yang dibilang Kimberly Casey dalam tulisannya yang berjudul Defining Political Capital, modal sosial dan ekonomi seperti ini bisa saja ditransformasikan dan diutilisasi menjadi modal politik.
Meski konsep modal politik ala Casey ini bisa saja memang benar adanya dimiliki oleh Hary Tanoe, itu semua kembali kepada bagaimana Hary Tanoe memanfaatkannya dalam memengaruh kancah politik. Mari kita nantikan saja bagaimana kelanjutan langkah politik-bisnis pengusaha satu ini. (F65)
Baca Juga: Jokowi Harus Hindari Kakistokrasi Trump
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.