Site icon PinterPolitik.com

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

antarafoto mk sidang sengketa pilpres 020424 ak 3

Sidang MK (Foto: Antara)

Dengarkan artikel ini:

https://www.pinterpolitik.com/wp-content/uploads/2024/04/diskualifikasi-full.mp3
Audio ini dibuat menggunakan AI.

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024. Menariknya, opsi ini punya risiko politik dan bisa berdampak pada masalah baru akibat kekosongan hukum yang ditimbulkannya. Efek sosial politik yang ditimbulkan juga dinilai cukup besar dan berisiko.  


PinterPolitik.com

Masalah sengketa hasil Pemilu kerap jadi pemandangan yang umum terjadi di Indonesia pasca hasil pemungutan suara diumumkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mungkin banyak dari para penggugat percaya pada kata-kata pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin, soal kepercayaan pada legitimasi sebuah kontestasi elektoral.

Salah satu kutipan paling menarik dari Stalin berbunyi: “Those who vote decide nothing. Those who count the vote decide everything.” Kurang lebih kata-kata itu berarti: “Mereka yang menyalurkan hak suaranya tidak menentukan apapun. Mereka yang menghitung suaralah yang menentukan segalanya”.

Pemaknaan kata-kata Stalin ini adalah ungkapan secara tidak langsung bahwa Pemilu dan pemungutan suara dalam sistem demokrasi hampir pasti selalu melibatkan kecurangan atau pelanggaran. Kata-kata Stalin itu memang dipakai untuk menjustifikasi model kepemimpinan tangan besi yang dijalankannya di Uni Soviet, sekaligus untuk “memburukkan” citra demokrasi.

Apapun itu, yang jelas pertanyaan soal legitimasi hasil Pemilu itulah yang sedang diujikan oleh para penggugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Para penggugat yang berasal dari kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD mempermasalahkan kemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Salah satu poin utama dalam gugatan adalah soal status pencalonan Gibran yang dianggap inkonstitusional karena melibatkan pelanggaran etika yang dilakukan oleh Hakim MK. Poin gugatan inilah yang didorong agar Gibran didiskualifikasi dan Pemilu ulang – demikian tuntutan yang diinginkan – bisa dilakukan.

MK setidaknya akan membacakan putusan sengketa perselisihan Pemilu ini pada 22 April 2024 mendatang. Pertanyaannya adalah opsi hasil putusan mana yang paling mungkin diambil oleh lembaga tinggi negara ini?

Tiga Opsi Yang Bisa Diambil

Secara sederhana, ada 3 opsi utama hasil putusan yang mungkin saja diambil oleh MK. Opsi pertama adalah menolak gugatan yang diajukan oleh para pemohon. Dengan demikian, Prabowo-Gibran sah menang dalam Pilpres 2024 dan kemudian bisa dilantik pada saatnya nanti.

Opsi ini secara rasional mungkin jadi yang paling mudah untuk diambil. Pasalnya, bagaimanapun juga gejolak hasil Pemilu ini cenderung ada di level atas alias di level elite. Sedangkan di masyarakat bawah, kondisi ekonomi yang kondusif dan negara yang bergerak stabil ke depan cenderung dianggap sebagai pilihan yang paling baik.

Di sana-sini mungkin akan ada riak-riak ketidakpuasan. Namun, levelnya tak cukup besar untuk menjadi konflik yang hebat. Apalagi, peluang merangkul elite-elite yang saling bertikai cenderung terbuka lebar. Prabowo misalnya, sedang menyusun jadwal untuk bertemu dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri yang menjadi elite kunci di kubu Ganjar-Mahfud. Sebelumnya Prabowo pun telah berkunjung ke Ketum Nasdem Surya Paloh yang jadi elite kunci di kubu Anies-Cak Imin.

Adapun opsi kedua yang bisa diambil MK adalah mendiskualifikasi pencalonan Gibran serta keseluruhan hasil pemilihan pasangan Prabowo-Gibran ini. Prabowo kemudian diminta untuk memilih ulang cawapres dan kemudian KPU akan melakukan Pemilu ulang dengan 3 kandidat pasangan calon seperti pada Februari 2024 lalu.

Secara waktu pelaksanaan, mungkin akan jadi lebih lama dan kembali menghabiskan anggaran yang besar. Dalam timeline KPU, waktu Pemilu ulang ini bisa dialokasikan ke jadwal putaran kedua yang sedianya akan dilaksanakan pada 26 Juni 2024. Namun, pertanyaan kemudian muncul: Bagaimana jika Pemilu ulang ini belum memenuhi syarat 1 putaran alias kandidat yang menang belum mencapai 50 persen plus 1 suara?

Secara ketentuan Undang-Undang, tentu saja Pemilu ulang ini harus berlanjut ke putaran kedua. Pasalnya, dengan 3 pasang kandidat, pemenang hanya bisa ditentukan dalam satu putaran jika perolehan suaranya mencapai 50 persen plus 1 suara.

Jika ini yang terjadi, segala sesuatunya harus kembali digeser. Efeknya akan sangat besar. Pelantikan presiden akan bergeser. Pemerintahan Presiden Jokowi harus diperpanjang. Kabinet dan kepemimpinan di lembaga-lembaga negara yang harus berakhir sesuai dengan masa kekuasaan presiden pun harus diperpanjang.

Secara ekonomi dan bisnis, kepastian usaha serta berbagai masalah yang berkaitan dengannya juga akan makin lama menggantung.

Belum lagi bicara soal potensi gesekan sosial dan ketidakpuasan yang muncul dari para pendukung Prabowo-Gibran – utamanya dari para pendukung Gibran dan Presiden Jokowi sendiri – yang bisa saja ikut membuat situasi negara makin tak kondusif. Dengan kata lain, opsi Pemilu ulang ini punya efek negatif yang sangat besar.

Sedangkan opsi terakhir yang bisa diambil MK adalah hanya mendiskualifikasi pencalonan Gibran, dan tetap mengesahkan kemenangan Prabowo. Dengan demikian, tak perlu melaksanakan Pemilu ulang. Setelah Prabowo dilantik, MPR lah yang akan memutuskan siapa yang menjadi pengganti Gibran lewat mekanisme kekosongan kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945.

Pilihan ini terlihat ideal. Namun, tetap punya konsekuensi. Selain karena belum ada aturan hukum terkait pembatalan hanya satu kandidat capres atau cawapres, mekanisme penunjukan wapres di MPR dimungkinkan apabila Prabowo telah dilantik. Ketika sudah menjabat, MPR bisa mengisi jabatan wapres melalui penunjukan dalam sidang MPR, meskipun mekanisme itu cukup sulit secara ketatanegaraan.

Sementara, saat ini status Prabowo belum dilantik. Selain itu, gesekan sosial juga sangat mungkin terjadi dari para pendukung Gibran dan Jokowi yang tentu saja akan mengklaim bahwa kemenangan Prabowo bisa diraih berkat Gibran yang membawa gerbong dukungan para pendukung Jokowi.

Dari ketiga opsi tersebut, pilihan untuk menolak gugatan yang disampaikan para pemohon adalah yang paling rasional dan paling sedikit efek negatifnya. Selain itu, pilihan itu punya pendasaran hukum karena putusan kelolosan pencalonan Gibran telah diputuskan oleh MK kala itu yang artinya punya kekuatan hukum mengikat.

Hakim MK: Makhluk Politik Sekaligus Makhluk Hukum

Secara keseluruhan, pertarungan di MK ini menjadi penegas posisi para Hakim MK sebagai makhluk hukum sekaligus makhluk politik. Hakim MK memiliki tanggung jawab untuk menjaga keadilan, keberlanjutan demokrasi, serta stabilitas politik, namun sering kali keputusan yang mereka ambil memiliki implikasi politik yang signifikan.

Sebagai makhluk hukum, Hakim MK diharapkan memutuskan sengketa Pemilu berdasarkan hukum dan konstitusi yang berlaku. Mereka harus mengacu pada prinsip-prinsip hukum yang objektif, seperti keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum.

Dalam konteks ini, hakim diharapkan menjaga independensi mereka dari tekanan politik dan memastikan bahwa keputusan mereka didasarkan pada analisis yang cermat terhadap fakta dan bukti yang diajukan.

Namun demikian, Hakim MK juga merupakan makhluk politik dalam arti bahwa keputusan mereka dapat memiliki dampak politik yang besar. Karena MK merupakan lembaga yang memiliki kewenangan puncak dalam menafsirkan konstitusi dan memutuskan sengketa politik, keputusan mereka bisa memengaruhi dinamika politik secara substansial. Terutama dalam konteks sengketa Pemilu, keputusan MK dapat mempengaruhi legitimasi pemerintahan dan stabilitas politik negara.

Pandangan ahli seperti Larry Diamond, seorang ilmuwan politik terkemuka, menekankan bahwa hakim-hakim konstitusi tidak dapat sepenuhnya menghindari faktor politik dalam pengambilan keputusan mereka. Dalam lingkungan politik yang terbagi atau konflik, tekanan politik bisa sangat kuat, dan hakim-hakim tersebut mungkin harus mempertimbangkan implikasi politik dari keputusan mereka.

Namun demikian, Diamond juga menekankan pentingnya menjaga independensi dan integritas lembaga peradilan konstitusi untuk memastikan keputusan yang diambil tetap berlandaskan hukum.

Posisi Hakim MK sebagai makhluk hukum sekaligus makhluk politik dalam memutuskan sengketa Pemilu adalah sebuah realitas yang kompleks. Perimbangan antara dua status itulah yang menjadi poin penting bagaimana putusan yang berkeadilan bisa dihasilkan.

Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

Exit mobile version