Munculnya berita palsu sebagian besar dipengaruhi oleh politisi ~Paul Elmer
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]aru beberapa hari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar deklarasi kampanye damai untuk sambut Pilpres 2019, muncul sebuah situs hoaks berjudul “skandalsandiaga.com”. Situs tersebut memuat konten berita negatif mengenai calon wakil presiden Sandiaga Uno dengan tuduhan bahwa mantan Wakil Gubernur DKI itu telah melakukan perselingkuhan.
Sebagai pihak tertuduh, Sandiaga pun angkat suara. Ia mengatakan bahwa konten berita dari situs tersebut adalah fitnah. Sandiaga terkesan tidak ambil pusing dengan tuduhan tersebut. Dia justru mengatakan bahwa koalisi Indonesia Adil dan Makmur tetap komitmen untuk menolak aspek hoaks, SARA, kampanye hitam, dan politik uang.
Berbeda dengan Sandiaga, tim Pemenangan Prabowo-Sandi justru geram., Mereka menganggapi situs tersebut kubu Prabowo-Sandi dengan menunjuk hidung lawan. Juru Bicara tim pemenangan Prabowo- Sandi Dahnil Anzhar Simanjuntak mengatakan fitnah kepada Sandiaga adalah konsekuensi ketika Sandiaga memutuskan untuk berhadapan dengan petahana.
Para produsen hoax dan Fitnah seringkali rela mengorbankan siapa saja demi kuasa politik, dan seringkali korban utama adalah perempuan dan anak. Martabat mereka diperhinakan.
— Dahnil A Simanjuntak (@Dahnilanzar) September 26, 2018
Fadli Zon tidak mau kalah. Wakil Ketua DPR RI itu berpendapat bahwa situs tersebut diproduksi oleh pusat hoaks nasional. Walaupun Fadli tidak menyebut secara langsung pihak mana yang berada di balik pembuatan situs tersebut, publik bisa menilai bahwa ia sedang menuduh lawan politik.
Menarik untuk dijadikan catatan, mengapa akhirnya di setiap tahun politik berita hoaks kembali muncul ke permukaan? Apakah memang berita hoaks digunakan untuk menundukkan lawan? Lantas, apakah berita hoaks ini bisa menguntungkan para politisi di balik pembuatan tersebut?
Hoaks Menjadi Alat Politik?
Cyber Crime Distrekrimsus Polda Metro Jaya berhasil mendapatkan informasi dari tool “Whois” mengenai situs “skandalsandiaga.com”. Disebutkan bahwa situs tersebut dibuat pada tanggal 22 September 2018 dan hanya didaftarkan untuk satu tahun sampai tanggal 22 September 2019.
Tanggal pembuatan dan batas akhir situs website tidak bisa berbohong. Website itu dibuat sehari setelah pengambilan nomor urut capres-cawapres dan akan berakhir setelah Pilpres 2019 selesai. Maka bisa dikatakan motif dari pembuatan situs hoaks tersebut adalah untuk kepentingan politik.
Analis seperti Craig Silverman berpendapat bahwa hoaks memanglah sebuah rekayasa untuk menarik partisan. Pada tahun politik, hoaks terbukti mampu mempengaruhi banyak orang. Pakar komunikasi Effendi Gozali menyatakan ada tiga faktor kuat mengapa hoaks berkembang di berbagai negara seperti Indonesia, Filipina hingga Amerika. Tiga faktor itu adalah perkembangan teknologi, rendahnya literasi pengguna media sosial, dan ketidakpastian hukum.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat membuat masyarakat menjadi ketergantungan terhadap gadget dan media sosial. Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia mencapai 63 juta orang pada tahun 2018. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses media sosial.
Candu terhadap media sosial tersebut dibaca sebagai peluang oleh para pemangku kepentingan, tidak terkecuali para politisi. Maka selain kampanye darat, dikenal pula istilah digital campaign untuk mempromosikan figur politik tertentu di dunia digital, ataupun berguna untuk melakukan serangan terhadap lawan politik seperti pada kasus situs Sandiaga.
Antropolog digital Nik Pollinger mengatakan mengapa berita hoaks mudah sekali tersebar dan menjadi berita viral, hal itu dikarenakan dalam dunia informasi kebenaran objektif telah dinomorduakan. Ketika masyarakat sepakat dengan konten berita, maka kebenaran objektif menjadi hal sekunder. Hal ini tentu saja dikarenakan tingkat literasi pengguna media sosial tergolong rendah.
Kerja algoritme juga sangat membantu penyebaran berita-berita hoaks di media sosial. Penulis buku Language of Social Media Philip Seargeant mengatakan bahwa algoritme yang digunakan oleh Facebook dan situs media sosial serupa berpengaruh dalam menyaring berita.
Ringkasnya, para peminat sepak bola akan melihat berita-berita seputar sepak bola ketika mereka membuka akun media sosial. Begitupun para penggemar shopping, sudah pasti media sosial mereka penuh dengan berbagai iklan produk.
Maka ketika seseorang tertarik dengan berita bahwa “bumi itu datar” atau semisal “Jokowi itu PKI” algoritme pun akan membantu menyuguhi berita-berita tentang hal itu di media sosial orang tersebut. Artinya, para pembuat berita hoaks akan merasa untung karena berita hoaks akan tersebar luas dengan sendirinya melalui kerja algoritme.
Data-data di atas menunjukan bahwa perkembangan teknologi sangat membantu persebaran berita-berita hoaks. Belum lagi sebagian masyarakat mudah sekali percaya terhadap berita-berita tersebut.
Dapat dipahami bahwa pembuatan situs skandal Sandiaga adalah untuk kepentingan politik. Para pemangku kepentingan coba memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mengelabui masyarakat dengan berita bohong. Di tahun 2014, Jokowi diserang habis-habisan dengan berita hoaks bahwa ia adalah “keturunan PKI” sekarang giliran Sandiaga.
Akan sangat sulit untuk mengatakan bahwa ini bukanlah kerja para politisi. Mengingat berita hoaks tersebut selalu saja muncul di tahun-tahun politik dan tidak mungkin muncul begitu saja. Seperti kata Paul Elmer, para politisi marah ketika mendengar adanya berita palsu, padahal sebagian besar dari mereka bertanggungjawab dalam mengembangkan berita-berita palsu tersebut.
Tuduhan untungkan Prabowo-Sandi
Tuduhan skandal terhadap Sandiaga di tahun politik pernah terjadi juga pada pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1992. Ketika itu, calon presiden dari partai Demokrat Bill Clinton dituduh telah memiliki simpanan lama bernama Gennifer Flowers. Berita itu bahkan ditulis dalam tabloid Star.
Pemberitaan itu hampir menenggelamkan karir politik Bill Clinton. Apalagi kabar tersebut muncul ketika masa kampanye pemilihan presiden di Amerika. Namun Bill tidak kehilangan akal, ia menggandeng sang istri Hillary Clinton untuk membantah kabar perselingkuhannya dalam sebuah wawancara di program 60 Minutes.
Sekalipun diterpa kabar skandal perselingkuhan, Bill tampil sebagai pemenang dalam pemilihan presiden saat itu. Ia berhasil mengalahkan calon presiden dari partai Republik George H. W. Bush. Terlepas benar atau tidak berita tersebut, bukan tidak mungkin Bill justru mendapatkan simpati dari rakyat Amerika atas tuduhan yang menyerangnya, sehingga dia dapat memenangkan pilpres.
Begitupun dengan tuduhan terhadap Jokowi di tahun 2014. Ketika itu tersebar kabar Jokowi adalah keturunan PKI dan Tionghoa. Dapat dikatakan, isu komunis tidak muncul secara alamiah, melainkan hasil mobilisasi opini oleh kekuatan politik tertentu.
Alih-alih ingin menundukkan Jokowi, capres dari PDIP tersebut justru keluar sebagai pemenang pada Pilpres 2014. Hal itu bisa dipahami karena masyarakat akan bersimpati kepada pihak-pihak yang dizalimi. Pada Pilpres 2014, Jokowi adalah pihak yang dizalimi dengan berbagai tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Dalam kasus Sandiaga, mungkin saja akan terjadi hal serupa. Kabar skandal kader Gerindra tersebut justru akan berbalik menguntungkan pasangan Prabowo-Sandi secara politik karena dianggap sebagai pihak terzalimi. Hal itu tentu saja akan mengundang simpati dari berbagai pihak.
Sebaliknya, secara politik kabar hoaks tersebut akan merugikan pasangan Jokowi-Ma’ruf karena akan dianggap sebagai dalang di balik kemunculan tuduhan tersebut. Pada titik ini, meski penyebaran hoaks lazim terjadi, strategi ini dapat menjadi bumerang bagi mereka yang melakukannya.
Kabar Skandal Sandiaga akan merugikan pasangan Jokowi-Ma’ruf karena akan dianggap sebagai dalang di balik kemunculan tuduhan tersebut Share on XSaat ini, kubu Prabowo-Sandi seperti Fadli Zon dan Dahnil Anzar terkesan menuduh lawan politik sebagai dalang dari pembuatan website tersebut. Walaupun tidak sebut secara tegas siapa pembuatnya, jelas bahwa rasa terzalimi tersebut akan mengarah ke kubu Jokowi karena Jokowi-Ma’ruf adalah satu-satunya lawan di Pilpres 2019.
Sekjen PSI Raja Juli Antoni pun membantah bahwa kubu Jokowi berada di balik pembuatan website tersebut. Bahkan ia curiga tanpa bermaksud menuduh, situs skandal Sandiaga itu dibuat oleh pendukung Prabowo-Sandi sendiri. Toni berkaca dari strategi Donald Trump saat ikut serta dalam pemilu Presiden AS.
Terlepas siapa pihak di balik pembuatan tersebut, idealnya, berita hoaks haruslah menjadi musuh bersama. Hal itu bisa dimulai dengan memutus pesan berantai berita-berita bohong. Semua pihak harus dewasa dalam berpolitik, sehingga Pilpres kali ini harus dipenuhi dengan pertarungan gagasan dan program, bukan justru pertarungan berita-berita bohong. (D38)