Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menceritakan bahwa dirinya sempat diremehkan salah satu pejabat Arab Saudi sebelum melakukan pertemuan dengan Pangeran Mohammed bin Salman. Lantas, mengapa itu bisa terjadi?
Sebagai orang spesial dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan kembali dipercaya mengurus aspek esensial kenegaraan.
Kali ini, Luhut menjadi utusan untuk membuka komunikasi diplomatik awal dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) sebelum kunjungan resmi Presiden Jokowi nantinya.
Lawatan selama tiga hari itu disebut mendiskusikan sejumlah hal, mulai dari rencana penambahan kuota haji, restorasi mangrove, hingga investasi di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Namun, ada kisah menarik sepulangnya Luhut dari kunjungan itu. Sebelum bertemu putra mahkota Kerajaan Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman, dia mengaku sempat diremehkan oleh Penasihat Keamanan Nasional Musaed bin Mohammed Al-Aiban.
Curhat itu sendiri disampaikan Luhut dalam acara Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia LagawiFest 2022 yang bertempat di Lampung, Kamis pekan lalu.
Kepala Staf Kepresidenan Indonesia pertama itu merasakan ada nada minor saat Al-Aiban seolah menganggap dirinya hanya sebagai representasi eksportir tenaga kerja.
Luhut bercerita bahwa dirinya cukup dibuat gusar dengan hal tersebut. Dia kemudian memberikan penjelasan kepada Al-Aiban terkait sejumlah progres yang telah dicapai Indonesia.
Serangkaian data mulai dari tingkat pengangguran, penanganan Covid-19, ekspor, hingga investasi asing langsung (FDI) ditunjukkan Luhut kepada sosok yang juga menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Arab Saudi itu.
Kendati demikian, satu pertanyaan kiranya masih mengganjal, yakni mengapa gestur meremehkan itu sampai dialami oleh Luhut?
Riwayat Perbudakan Saudi?
Kata kunci “eksportir tenaga kerja” kiranya dapat menjadi titik tolak mengapa kesan dianggap sebelah mata dirasakan Luhut dalam lawatannya ke Arab Saudi. Ya, praktik atau “budaya perbudakan modern” di negara-negara Timur Tengah – termasuk Arab Saudi – kiranya masih eksis hingga kini.
Terdapat sebuah sistem yang dikenal dengan Nizham Al-Kafala, yakni pengaturan ketenagakerjaan di mana negara memberikan sang majikan kontrol penuh pada para pekerja non-terampil yang bekerja padanya. Para pekerja itu sendiri kebanyakan berasal dari luar negeri seperti negara-negara Afrika, Asia Selatan, hingga Indonesia.
Sistem itu membuat keterikatan pekerja kepada pemberi kerja begitu rumit. Mulai dari keleluasaan menyita paspor serta dokumen keimigrasian, pengaturan durasi kerja, hingga izin keperluan pribadi yang acapkali tidak terjamin.
Perbudakan tradisional di tanah Arab memiliki sejarah yang cukup panjang. Bahkan, frasa “memerdekakan budak” tercantum di dalam kitab suci umat Islam, Al-Qur’an yang diturunkan melalui Nabi Muhammad pada abad ke-6.
Praktik perbudakan dengan mekanisme yang tak manusiawi kemudian terjadi pada pertengahan abad ke-19 kala terdapat momentum melonjaknya permintaan kurma dan mutiara alami.
Akibatnya, kebutuhan tenaga kerja turut meningkat dan para pedagang Arab ketika itu menyiasatinya dengan menculik orang-orang dari bagian timur laut benua Afrika untuk kemudian diperdagangkan sebagai tenaga kerja kasar di Teluk.
Praktik itu tetap bertahan hingga dekade 60-an sebelum negara-negara Arab mulai melarang perdagangan budak. Arab Saudi sendiri secara resmi melakukan pelarangan tersebut pada tahun 1962.
Meskipun Raja Salman telah menggagas upaya perbaikan sistem kafala pada awal 2021 lalu, kondisi sosio-kultural masyarakat secara umum kiranya masih belum dapat terbuka mengenai masa lalu mereka dalam praktik perdagangan budak hingga kini.
Peneliti independen sejarah Teluk, Abdulrahman Alebrahim mengatakan bahwa topik perbudakan sangat tidak disukai, bahkan ketika dibahas secara akademis dan dalam kerangka keadilan serta kesetaraan sosial.
Perbudakan juga menjadi topik tabu di masyarakat Arab dan ada kecenderungan bahwa sangat mudah bagi seseorang di sana untuk tidak menghargai pekerja kasar.
Secara khusus, Arab Saudi merupakan negara lima besar tujuan tenaga kerja asal Indonesia, terutama para pekerja non-terampil.
Aspek historis dan sosio-kultural di atas agaknya membuat pelabelan sebagaimana dijelaskan George Herbert Mead dan Howard S. Becker dalam buku berjudul Labeling Theory: Social Constructionism, Social Stigma, Deinstitutionalisation menemui relevansinya, termasuk dalam konteks Al-Aiban dan Luhut.
Namun, apakah itu menjadi faktor tunggal musabab nada meremehkan yang dirasakan Luhut?
Pendelegasian Luhut Keliru?
Pertemuan Luhut dan Pangeran Salman kiranya lebih menitikberatkan pada rencana investasi IKN yang sebelumnya telah diproyeksikan Luhut pada Mei lalu, dibandingkan dua agenda komplementer lain yakni kuota haji dan restorasi mangrove.
Meskipun dalam kunjungan itu didampingi oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf, pendelegasian Luhut sebagai utusan khusus dan representasi sentral Indonesia dalam agenda itu agaknya kurang tepat, terutama ketika berbicara diplomasi politik Timur Tengah.
Henry M. Wriston dalam The Special Envoy menjelaskan signifikansi seorang utusan khusus sebagai perwakilan yang dikirim oleh suatu negara ke negara lain untuk tugas serta fokus spesifik.
Tidak seperti misi diplomatik permanen, utusan khusus haruslah didelegasikan kepada mereka yang dapat menciptakan keintiman secara personal sebelum membawanya pada tujuan diplomasi politik, termasuk kerja sama tertentu seperti investasi.
Wriston menyebut hal itu bergantung pada karakteristik negara dituju serta misi seperti apa yang sedang ingin dicapai.
Dengan kata lain, sebelum menerima dan memberikan respons atas lawatan diplomatik seorang utusan, sebuah negara akan melakukan analisa dan memberikan penilaian terlebih dahulu terhadap sang utusan khusus yang mana dapat tercermin dari impresi yang diberikan.
Selain itu, sebagai Penasihat Keamanan Nasional, Al-Aiban kemungkinan besar telah memetakan segala hal tentang Luhut hingga ke variabel-variabel spesifik seperti reputasi Luhut di kancah politik domestik maupun citranya di mata publik Tanah Air, sebelum pertemuan kedua belah pihak berlangsung.
Luhut pun tentu memiliki perbedaan, misalnya, dengan Alwi Shihab yang kini memiliki posisi resmi sebagai utusan khusus Presiden Jokowi untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja sama Islam (OKI).
Alwi sendiri dinilai memiliki reputasi mumpuni sebagai penyambung lidah terbaik pemerintah Indonesia dalam diplomasi politik dengan negara-negara Timur Tengah.
Hal itu dimilikinya sejak menjabat sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur hingga terus dipertahankannya saat menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Lalu, apa yang dapat dimaknai jika Luhut sekiranya menjadi utusan yang keliru?
Ancam IKN?
Meski Luhut membawa nuansa optimisme bahwa UEA dan Arab Saudi akan jadi investor di IKN, hal itu agaknya tak lantas menjamin semuanya akan berjalan sesuai rencana. Apalagi, terdapat preseden sebelumnya yang bahkan membuat Presiden Jokowi kecewa atas ekspektasinya, terlebih khusus kepada Arab Saudi.
Setelah menjamu Raja Salman pada Maret 2017 silam, Presiden Jokowi mengungkapkan kekecewaannya karena nilai investasi yang ditanamkan Saudi di Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Tiongkok.
Padahal, ketika itu mantan Gubernur DKI Jakarta itu telah memberikan gestur istimewa dengan memayungi sang Raja di Istana Bogor saat kondisi hujan.
Akan tetapi, “politik payung” agaknya jauh dari kata signifikan untuk dijadikan pertimbangan dalam investasi Arab Saudi. Tentu ada kalkulasi komprehensif untuk menjawab sejauh mana suatu negara menanamkan modalnya di negara lain.
Pada konteks IKN, Gerardo del Cerro Santamaria dalam Megaprojects, Development and Competitiveness mengatakan bahwa mega-project atau proyek besar belakangan memang telah menjadi tren retorika politik internasional.
Namun, hal itu kerap kali berhenti dan sebatas menjadi retorika. Hal ini seperti yang dikemukakan Bent Flyvbjerg dalam Underestimating Costs in Public Works Projects: Error or Lie?, yang menyebut bahwa mega-project hanya panggung kontemporer dan kampanye di tataran politik internasional.
Hal itu dikarenakan para politisi dan birokrat kerap fokus pada upaya mendapat dukungan politik semata, sementara komitmen dan pelaksanaan pembangunannya sendiri tak jarang terabaikan.
Terdapat beberapa sampel konkret dari postulat tersebut seperti Pelabuhan Hambanthota di Sri Lanka, Ibu Kota Baru Naypyidaw di Myanmar, sampai Forest City di Malaysia.
Tak hanya itu, variabel konkret lain seperti reputasi suatu negara bagi investor, kepastian hukum, serta risiko krisis dan inflasi menjadi sederet hal yang menjadi pertimbangan serius.
Situasi yang masih sulit pasca pandemi Covid-19, ditambah dampak konflik Rusia-Ukraina juga boleh jadi tak lepas dari perhitungan apakah investasi Arab Saudi akan berkontribusi bagi pembangunan IKN.
Plus, rezim yang dipastikan akan segera berganti menambah variabel ketidakpastian politik ke depannya. Tak terkecuali dalam hal kendali Luhut dalam proyek ambisius IKN.
Lalu, apakah Arab Saudi akan benar-benar menanamkan modalnya di IKN Nusantara setelah serangkaian intrik dan interpretasi di atas? Menarik untuk dinantikan. (J61)