Seri pemikiran Fareed Zakaria #38
Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden belakangan tampak begitu pro-aktif dalam sejumlah isu eksternal seperti kudeta Myanmar, kasus Jamal Khashoggi, hingga represi terhadap pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny. Lantas, upaya apa yang sebenarnya tengah dikejar Biden? Serta adakah dampaknya bagi Indonesia?
Tensi politik di Myanmar terus meningkat pasca kudeta militer satu bulan lalu. Protes warga Burma yang disambut kekerasan aparat dan berujung tewasnya 19 korban, juga kian menarik keprihatinan global.
Indikasi adanya pelanggaran terhadap demokrasi tetap membuat sejumlah negara dan bahkan organisasi multilateral seolah tak bisa berbuat banyak. Terutama ketika terbentur sejumlah kepentingan tertentu maupun terhalang prinsip non-intervensi.
Indonesia pun tak lepas dari semacam dilema yang sama, ketika melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi, hanya masih mampu sebatas mengutuk kekerasan yang terjadi sembari berupaya merumuskan upaya kolektif, salah satunya dengan menginisiasi dialog antar Menlu yang puncaknya ialah pertemuan level Menlu se-ASEAN pada hari ini.
Namun di belahan bumi berbeda, Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden tampak berusaha berbeda dan tampil lebih pro-aktif. Untuk merespons kudeta, tanpa basa-basi, Biden langsung memberikan sanksi dengan membekukan sekitar US$ 1 miliar aset yang terkait dan dikendalikan oleh militer Myanmar plus memutus akses finansial para jenderal negeri Seribu Pagoda.
Meskipun seolah belum terlalu signifikan, inisiatif semacam itu tergolong sangat tegas dan berani dibandingkan dengan aksi konkret yang sejauh ini nihil dilakukan oleh satu negara manapun.
Nyatanya, tak hanya pada konteks Myanmar, manuver pro-aktif politik luar negeri Biden juga tampak dari dua sampel lainnya, yakni pada kasus Jamal Khashoggi terkait dengan Arab Saudi dan kasus Alexei Navalny yang terkait dengan Rusia.
Baca juga: Arti Kudeta Myanmar Bagi Jokowi
Pada kasus Navalny, administrasi Biden juga disebut tengah menyiapkan seperangkat sanksi kepada Rusia atas penangkapan pemimpin oposisi tersebut, yang juga akan beriringan dengan “balasan” atas kasus peretasan SolarWind ke beberapa badan pemerintah federal AS tahun lalu.
Sementara pada kasus pembunuhan kolumnis The Washington Post, Jamal Khashoggi, Biden juga menerapkan langkah inisiatif serupa. Meski jamak disebut kurang bertaji karena tak menargetkan Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) yang namanya disebut dalam rilis laporan intelijen terbaru AS, Biden tetap memberikan sanksi finansial dan larangan perjalanan kepada para pelaku lapangan yang terlibat langsung di Konsulat Arab Saudi di Istanbul pada Oktober 2018 lalu.
Lantas, apa yang sesungguhnya sedang diupayakan Biden di balik manuvernya itu?
Urgensi Moral Authority
Walau dapat dikatakan sedikit naif di tengah realita geopolitik global dengan berbagai kepentingannya, menyebut manuver politik luar negeri AS di bawah Biden sebagai bagian dari upaya penegakan moral nilai-nilai demokrasi agaknya bukan sesuatu yang berlebihan.
Presiden Biden sendiri telah berjanji untuk memulihkan moral atuhority atau otoritas moral AS di dunia, setelah empat tahun ke belakang norma dan nilai itu “dihancurkan” oleh Donald Trump.
Fareed Zakaria dalam wawancaranya dengan Mary Louise Kelly dari media asal Washington D.C., NPR menyebut, secara ideal, AS memiliki moral authority yang berangkat dari fakta bahwa negeri Paman Sam adalah demokrasi konstitusional tertua di dunia, yang telah banyak bertahan dari berbagai tantangan ideologi, rezim, dan instabilitas eksternal lainnya. Plus, tantangan domestik atau dari dalam negeri sendiri yang dipantik oleh tingkah laku mantan Presiden Trump.
Dalam pidato kebijakan luar negeri pertamanya sejak dilantik, Presiden Biden juga mengisyaratkan urgensi pengembalian implementasi moral authority AS itu lewat penekanannya pada dua pilar kerangka diplomatik, yang juga ia kampanyekan. Pertama, soal pentingnya bekerja sama dengan sekutu untuk menghadapi tantangan yang semakin meningkat dari Tiongkok dan Rusia.
Kedua, keterlibatan global AS dalam pemerintahannya akan berakar pada nilai-nilai demokrasi Amerika yang paling dihargai selama ini: yakni membela kebebasan, memperjuangkan kesetaraan, menjunjung hak-hak universal, menghormati aturan hukum, dan memperlakukan setiap orang dengan bermartabat.
Baca juga: Jalan Demokrasi Para Jenderal (Bagian I)
Lewat berbagai torehan sejarah pula, justifikasi moral authority itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa AS menjadi hegemoni dunia. Oleh karenanya, Biden secara perlahan tampak berusaha benar-benar mengembalikan predikat dan reputasi itu pada AS, termasuk dengan secara aktif dan konkret bereaksi pada sejumlah intrik dan krisis politik luar negeri seperti yang terjadi di Myanmar, kasus Jamal Khashoggi dan Alexei Navalny.
Namun di sisi lain, manuver Biden seolah tampak kurang komprehensif dan efektif. Pada case sanksi terhadap junta Myanmar misalnya, disebut Andrew Samet di tulisannya yang berjudul Myanmar and Biden’s Broken-Down Car Dilemma, tidak akan membuat para jenderal di Myanmar “tersentak”, mengingat ada faktor Tiongkok di baliknya yang dekat dengan militer dan ada hubungan timbal balik positif di antara mereka.
Lalu pada kasus Khashoggi juga demikian, ketika Biden tak sepenuhnya tegas menyasar langsung sosok seperti MBS yang dalam laporan intelijen terbaru bahkan nama sang pangeran turut disebutkan. Hal itu dinilai akibat upaya merekonstruksi hubungan dengan Saudi yang lebih hati-hati demi menghadapi Iran.
Pada case Navalny dan peretasan Solarwind pun, AS berhadapan langsung dengan Rusia yang barang tentu, konfrontasi melalui sanksi secara gamblang bukanlah ide yang bagus.
Kendati demikian, Fareed Zakaria menyebut bahwa manuver spesifik berupa sanksi Biden secara tidak langsung pada sejumlah subjek yang bukan negara, sebagai langkah awal dan cara paling cerdas dan progresif bagi masa depan AS dengan tatanan lanskap politik dunia saat ini. Terlebih ketika berangkat dari justifikasi moral authority.
Dalam The Post American World, Zakaria sendiri telah menyebutkan bahwa kebangkitan negara-negara lain yang menantang tatanan dunia kreasi AS seperti Tiongkok, beserta dampak yang ditimbulkannya, telah mengubah peran dan signifikansi AS di kancah global.
Dari situ, AS disebut membutuhkan formula khusus untuk tetap relevan dalam blantika politik internasional, yang kemungkinan eksperimennya tengah dilakukan Biden saat ini, paling tidak dalam tiga sampel di atas.
Baca juga: Jalan Demokrasi Para Jenderal (Bagian II)
Karenanya, bukan tidak mungkin ke depannya Biden akan lebih sering menampilkan manuver serupa, yang meski tampak kurang sepenuhnya efektif, upaya itu sesungguhnya menggambarkan kalibrasi ulang relevansi, kepemimpinan, dan keteladanan moral AS secara perlahan di tataran global yang sebelumnya jamak dianggap “menghilang”.
Lalu dengan kecenderungan karakteristik itu, apakah dampaknya bagi Indonesia pada isu politik luar negeri kekinian?
Duet Solutif Pamungkas Krisis Myanmar?
Dengan tendensi moral authority yang sedang digalakkannya, AS di bawah Biden kiranya cukup potensial untuk menjadi pivot bagi pemecahan masalah atas berbagai isu politik luar negeri yang terjadi di kawasan, khususnya dalam isu Myanmar.
Indonesia dalam hal ini, melalui Menlu Retno Marsudi kiranya dapat menjadikan AS sebagai mitra efektif dalam pemecahan masalah Myanmar, di samping upaya lainnya. Negara +62 sendiri tampak menjadi yang cukup diharapkan dapat menjadi penengah yang solutif bagi krisis Myanmar.
Selain faktor pengalaman transisi dari rezim otoriter, serta merupakan natural leader ASEAN, Menlu Retno juga tampak begitu pro-aktif dengan menginisiasi pertemuan khusus dengan sejumlah Menlu negara-negara ASEAN, termasuk Menlu Myanmar yang diangkat militer, Wunna Maung Lwin.
Sebuah analisis dari Jonathan Head di BBC menyebut, dibutuhkan pendekatan taktis dalam merespons situasi Myanmar yang disebutnya sebagai diplomatic game yang rumit bagi sejumlah negara untuk menyikapinya, termasuk Indonesia.
Head menambahkan, keterlibatan negara tetangga, seperti Indonesia, mungkin akan menggugah para jenderal xenofobia di Myanmar, jika dikoordinasikan dengan baik dengan tekanan yang diterapkan oleh AS. Hal itu kemudian dinilai akan membuahkan hasil yang positif.
Oleh karenanya, kolaborasi dengan AS di bawah administrasi Biden saat ini kiranya cukup layak untuk dicoba Menlu Retno untuk “menekan” junta Myanmar ketika upaya kolaboratif dengan pihak lain seolah terbentur berbagai hal seperti kepentingan yang saling bersilang, adanya prinsip non-intervensi, hingga kecenderungan inherensi keterlibatan normatif.
Akan tetapi, meski benar nantinya akan berkolaborasi dengan AS, satu hal yang patut digarisbawahi ialah, memahami demarkasi keterlibatan diri juga dinilai tetap menjadi prioritas utama. Tentu agar tak terkesan menggurui serta menghindari konsekuensi yang justru kontraproduktif bagi nilai keadilan dan demokrasi itu sendiri. (J61)
Baca juga: Retno, Sengkarut Normalisasi Indonesia-Israel
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.