Postur politik luar negeri Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode kedua tercatat mengalami perubahan yang cukup besar. Ada anggapan hal tersebut karena andil Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Mengapa bisa demikian?
Indonesia adalah sebuah negara yang berdiri di atas perjuangan politik luar negeri. Tanpa adanya perjuangan dari Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Soedjatmoko, Charles Tambu, dan Soemitro Djojohadikusumo di pertemuan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1947, mungkin negara kita akan kembali masuk dalam kerangkeng pemerintahan Belanda.
Karena perjuangan-perjuangan diplomatis semacam ini, para diplomat Indonesia kerap mendapat pujian eksklusif, yang berbeda dari pahlawan-pahlawan Indonesia lainnya. Tidak jarang, diplomat-diplomat legendaris Indonesia mendapat predikat bak selebriti, contohnya seperti Ali Alatas, Adam Malik, dan Marty Natalegawa.
Tentunya, ekspektasi yang sedemikian tingginya terhadap para diplomat Indonesia masih tetap ada di tengah masyarakat Indonesia hingga saat ini, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun, berbeda dari masa-masa presiden sebelumnya, di mana kiprah politik luar negeri sangat diatribusikan kepada jabatan seorang Menteri Luar Negeri (Menlu), pencapaian diplomasi Indonesia di era Jokowi kerap diatribusikan kepada menteri-menteri dalam jabatan yang sebetulnya tidak secara spesifik berurusan dengan urusan politik luar negeri.
Salah satunya, pencapaian diplomasi Indonesia tersebut kerap diatribusikan kepada Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto.
Lantas, mengapa hal semacam ini bisa terjadi?
Politik Luar Negeri 2019-2024 “Dibentuk” Prabowo?
Ada satu artikel menarik di laman The Diplomat yang ditulis oleh Noto Suoneto, yang berjudul How Prabowo Subianto Has Helped Shape Indonesia’s Foreign Policy. Di dalamnya, Noto melempar pendapat yang cukup menarik bahwa Prabowo adalah orang yang sangat bertanggung jawab dalam membentuk postur politik luar negeri Indonesia di periode kedua Presiden Jokowi.
Noto awalnya menyoroti aktivitas diplomasi di era pertama Jokowi, di mana secara umum sudah dipahami bahwa Jokowi lebih fokus pada interaksi luar negeri yang memiliki manfaat langsung kepada perdagangan dan investasi Indonesia. Berbeda seperti era Susilo Bambang Yudhoyno (SBY) yang kerap berusaha mengambil peran lebih untuk perdamaian dunia dan kawasan.
Namun, ketika periode kedua, utamanya setelah Prabowo masuk sebagai Menhan, sikap diplomasi Indonesia tercatat mengalami perubahan yang cukup besar.
Pertama, Indonesia tampak lebih aktif memberikan pernyataan resmi terhadap sebuah fenomena politik internasional, contohnya seperti Perang Rusia-Ukraina, di mana Prabowo (dengan terkenalnya dan kontroversialnya) menawarkan proposal perdamaian.
Dan kedua, Indonesia terlihat lebih berani memperkuat postur pertahanannya. Hal ini dicontohkan dengan pengumuman Prabowo yang membeli 42 jet tempur Rafale dari Prancis. Padahal, dalam pemerintahan sebelumnya, Indonesia tidak terlihat memiliki arah diplomasi pertahanan yang serupa.
Kiprah diplomasi Prabowo ini menurut pandangan Noto, salah satunya adalah karena Prabowo tampak diberi kepercayaan lebih oleh Jokowi untuk membenahi citra internasional Indonesia
Kalau kita ingin mencari tahu alasannya, mungkin kita bisa mengaitkannya dengan gaya diplomasi Prabowo sendiri. Cornelius Bjola dalam tulisannya Diplomatic Leadership in Times of International Crisis, menyebutkan bahwa ada tiga tipe diplomat, yakni maverick diplomat, congregator diplomat, dan pragmatist diplomat.
The maverick adalah pemimpin yang memiliki ambisi yang kuat dan selalu ingin negaranya unggul, the congregator adalah diplomat yang selalu ingin membangun konsensus dan menjembatani perbedaan, dan the pragmatist adalah diplomat yang mengejar hubungan mutual asal menguntungkan.
Dan seperti yang pernah dibahas dalam artikel PinterPolitik berjudul Prabowo Adalah “Maverick” Sesungguhnya?, Prabowo sepertinya jatuh dalam kategori diplomat berpredikat the maverick, ini karena Prabowo sangat dikenal selalu melempar ambisinya soal kebesaran Indonesia di dalam beberapa pidato. Diplomat the maverick seperti ini dipandang lebih berani bermanuver dalam politik internasional demi memperkuat posisi negaranya.
Nah, bisa jadi, Jokowi pun mungkin melihat karakteristik diplomat yang sama dalam kepribadian Prabowo. Karena itu, Prabowo terlihat memiliki kebebasan dalam berdiplomasi yang mungkin tidak terlihat dibanding Menlu Retno Marsudi, atau Menhan sebelumnya, Ryamizard Ryacudu.
Lantas, pertanyaan lanjutannya adalah, mengapa Jokowi berpandangan demikian di tengah posisinya yang sebetulnya memiliki seorang Menlu Retno?
Retno Tidak Bisa “Sekeras” Prabowo?
Kembali membahas tiga tipe diplomat yang diungkapkan Cornelius Bjola, kalau kita ingin mengklasifikasikan Menlu Retno, besar kemungkinannya ia jatuh dalam kategori the congregator. Diplomat dengan kategori ini selalu mengedepankan kompromi dan penjembatanan antar pihak yang terlibat dalam konflik agar perdamaian sebisa mungkin bisa dipertahankan.
Karakteristik ini sesungguhnya bisa kita lihat di diri Retno, contohnya dari penggunaan pendekatan diplomasi diam-diam yang dilakukannya ketika mengurus pertemuan G20 di Indonesia pada 2022 silam. Kala itu, Retno mengklaim melakukan aksi diplomasi besar-besaran agar bisa memastikan seluruh anggota G20 ikut dalam pertemuan 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia tersebut.
Walau karakteristik the congregator ini tidak dipungkiri adalah sesuatu yang baik, keefektivan seorang diplomat tentu juga sangat bergantung dengan kondisi politik internasional yang sedang berlaku. Terkait hal itu, zeitgeist atau roh zaman politik internasional saat ini sebetulnya sedang mengarah ke keperluan seorang diplomat yang bisa dengan tegas memantapkan posisi negaranya dalam tensi geopolitik yang kian meningkat.
Kita bisa lihat sendiri, di awal 2024 ini saja, dunia masih dihadapi oleh dua perang besar yang belum selesai, yakni antara Ukraina dengan Rusia, dan Israel dan Palestina. Tentunya, bila dampak perang-perang tersebut semakin meluas, Indonesia bakal kena dampaknya.
Atas dasar itu, mungkin memang ada rasionalitas yang cukup kuat di balik “penunjukkan” Prabowo sebagai salah satu diplomat andalan Jokowi, di luar Menlu Retno, karena sifat maverick Prabowo bisa jadi lebih tepat diaplikasikan untuk menanggapi kondisi dunia yang panas seperti sekarang. (D74)