Jokowi menawarkan Indonesia sebagai rumah bagi proses perdamaian antar negara yang yang berkonflik. Kapan sikap diplomatik itu disebut reaktif atau insiatif?
PinterPolitik.com
[dropcap]I[/dropcap]ndonesia tak mau ketinggalan merespon perdamaian antara Korea Utara dan Korea Selatan yang sempat menghebohkan dunia internasional. Presiden Jokowi ingin menjadi juru damai sekaligus ‘rumah’ bagi pertemuan antara Korea Utara dan Amerika Serikat yang lekat diisi dengan hujatan satu sama lain.
Niat tersebut diucapkannya saat bertemu An Kwang II selaku Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Rakyat Demokratik Korea Utara, di Istana Merdeka pada Senin (30/4) lalu. Tak cuma itu, mantan Walikota Solo tersebut juga mengajak Korea Utara dan Korea Selatan ikut berpartisipasi dalam gelaran Asian Games yang akan berlangsung Agustus mendatang di Jakarta dan Palembang.
Respon Presiden Jokowi terhadap peristiwa yang terjadi dalam dunia internasional tak hanya kali ini saja terjadi. Sebelumnya, pria asal Surakarta, Jawa Tengah tersebut pernah mengajukan Indonesia sebagai penengah dalam konflik yang terjadi antara Qatar dengan Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UAE), dan Mesir terkait tuduhan aliran dana terorisme Qatar, selaku negara terkaya di Jazirah Arab. Inisiatif tersebut langsung ditanggapi dengan apresiasi oleh Qatar, namun hingga kini kelangsungannya tak terdengar lagi.
Selain itu, Presiden Jokowi pernah pula menawarkan diri sebagai penengah dalam konflik yang terjadi antara Tiongkok dengan Vietnam dan Filipina mengenai perbatasan daerah Laut Tiongkok Selatan.
Tak hanya menyodorkan diri sebagai penengah dalam sebuah konflik, Presiden Jokowi juga pernah mengeluarkan sejumlah sikap, seperti mengecam langsung pernyataan Trump soal Ibukota Yerusalem, lantas terbang menemui Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Maroko. Selain itu, dirinya juga tak bereaksi lama melakukan pertolongan atas tragedi kemanusiaan yang terjadi pada suku Rohingya di Myanmar, serta mengunjungi Afghanistan di awal tahun 2018 saat keadaan keamanan serta politik negara tersebut belum sepenuhnya stabil dan masih berbahaya. Kunjungan di Afganistan tersebut, malah memunculkan sebuah julukan ‘diplomasi peci hitam’ sebagai penanda betapa ikonik keberadaan sang Presiden di Afganistan.
Bila meneropong langkah diplomasi Jokowi, terdapat dua kutub yang seakan bertolak belakang. Di satu sisi, sang Presiden mampu menjadi seorang ‘inisiator’ dan di sisi lain, ia terlihat menjadi ‘reaktif’.
‘Inisiatif’ secara ‘sederhana’ dalam KBBI punya arti sebagai upaya atau tindakan mula-mula yang dijalankan oleh seseorang. Sementara dalam dunia berpolitik (politic behavorial), inisiatif diselaraskan pula dengan sikap seorang pemimpin (leader) yang mampu mengarahkan pengaruh dan/atau meletakkan kelompok yang tercerai dalam kebersamaan. Teori yang dikeluarkan oleh Alfred de Grazia ini juga memberi contoh bagaimana Robinson Crusoe, tokoh fiksi penjelajah dunia, menjadi sedikit contoh dari seseorang yang digambarkan punya ‘bakat’ inisiatif dalam teorinya.
Sementara kata ‘reaktif’ yang cenderung memiliki nuansa kata lebih negatif, punya pengertian tersendiri. Bila merunut kembali pada KBBI, makna kata reaktif punya arti sebagai langsung tanggap dan bereaksi atas sesuatu yang timbul atau muncul.
Dalam politik, makna reaktif punya arti lebih dalam lagi. John Lukacks, sejarawan Amerika sepuh berusia 94 tahun, memaparkan bahwa sikap reaktif dalam politik menjadi pandangan dan sikap untuk kembali pada status quo ante (keadaan sosial-politik) dengan menjunjung otoritas.
Bila menilik pengertian dari teori yang dipaparkan oleh de Grazia dan Lukacks, seputar sikap politik inisiatif dan reaktif, ke manakah kecondongan sikap diplomasi Jokowi? Dalam kasus Korea Utara dan Korea Selatan, apakah dirinya bisa dikatakan mengambil tongkat inisiatif dan bisa menyatukan kelompok yang tercerai, Korut dan Korsel, seperti halnya Crusoe berkawan dengan Man Friday di tanah yang baru didatanginya?
Terbebani Peringkat Perdamaian
Kata ‘reaktif’ memang jarang mampir menggambarkan personalitas Jokowi. Sebaliknya, selama ini sang Presiden lebih lekat dikenal sebagai sosok yang penuh perhitungan serta lihai memainkan simbol. Hal ini bisa terlihat dari bagaimana lempar melempar ungkapan dan makna yang terjadi antara dirinya dengan mantan Presiden SBY beberapa waktu lalu.
Tetapi bukan berarti Jokowi tak lepas dari sebutan ‘reaktif’. Ia pernah disebut reaktif saat menanggapi keberadaan kaus #2019GantiPresiden dalam acara Konvensi Nasional Galang Kemajuan di Ballroom Puri Begawan pada Sabtu (7/4/2018). Pengamat politik Ubaidillah Badrun merespon bahwa apa yang dikatakan oleh Jokowi merupakan bentuk kekhawatiran sekaligus reaktif.
Jokowi juga dapat ‘serangan’ saat memutuskan untuk membebaskan dua jurnalis asal Prancis, Jean Escudie dan Pierre Longchamp, karena menyalahi izin tinggal di Indonesia. Saat itu, kedua warga Prancis yang berprofesi sebagai jurnalis internasional ditahan di Papua. Penahanan itu membuat dunia internasional berang sehingga Jokowi dianggap ‘reaktif’ karena langsung membebaskannya.
Di tengah sebutan ‘reaktif’ yang mendera, di bawah pemerintahan Jokowi, sikap diplomasi Indonesia di bawah Jokowi menempati peringkat pemelihara kedamaian PBB di posisi ke-10. Peringkat ini memang dinilai PBB dari kontribusi pasukan perdamaian Indonesia ke Misi Pemeliharaan PBB. Hal ini dinilai sebagai wujud pelaksanaan mandat Konstitusi yang mengamanatkan Indonesia untuk ikut melaksanakan ‘ketertiban dunia’.
Peringkat ke-10 yang diberikan oleh PBB atas dasar memelihara perdamaian dunia, bisa disebut sebagai bentuk inisiatif yang dilakukan oleh Jokowi, sebab baru dibawah pemerintahannya Indonesia bisa mencapai peringkat 10 besar dunia. Walau posisi ke-10 dari PBB tersebut adalah bentuk lain dari banyaknya personil TNI dan Polri yang dikirim ke medan perang, bagaimana pun nama Indonesia menjadi harum di dunia internasional karenanya.
Langkah inisiatif Presiden Jokowi yang paling kentara dilakukan dengan mangadakan forum multilateral dan regional, seperti pada perhimpunan bangsa skala ASEAN. Di forum tersebut, Jokowi membawa relevansi untuk tetap netral dalam konflik Laut Tiongkok Selatan yang menimpa Tiongkok dengan Vietnam dan Filipina.
Menilik apa yang dilakukan oleh Jokowi, ternyata langkah berdiplomasinya tak bisa digeneralisir dengan label reaktif atau inisiatif semata. Kontribusi pada PBB dan menengahi konflik Tiongkok dalam Laut Tiongkok Selatan, Presiden Jokowi dapat dikatakan melakukan inisiatif dan berhasil menancapkan pengaruhnya, walau belum betul-betul bisa berkawan dan menghasilkan keuntungan politis yang signifikan, seperti halnya saat Crusoe berteman dengan Man Friday, tokoh yang menyelamatkan Crusoe dari kematian.
Lantas, bagaimana dalam kasus Korea Utara? Apakah Jokowi bisa disebut sebagai seorang inisiator?
Jokowi Bukan Inisiator?
Jalan panjang perdamaian antara Korea Utara dan Selatan sudah berjalan beberapa dekade silam. Indonesia punya peran banyak di sana, sebab di masa pemerintahan Bung Karno, Indonesia memiliki kedekatan ideologis dengan Korea Utara. Hubungan dengan Korea Selatan pun baik-baik saja.
Selain Bung Karno, pemimpin Indoneisa yang punya kedekatan baik dengan kedua negara tersebut adalah Megawati Soekarnoputeri. Saat dirinya menjabat sebagai presiden di tahun 2002, Megawati terlihat mendatangi negara komunis tersebut dan mengaku mendapat sambutan yang luar biasa hangat dan menyenangkan. Megawati juga nyaman duduk bersama Presiden Korea Selatan saat itu, Kim Dae Jun membicarakan perdamaian dengan Korea Utara. Bisa dikatakan, Megawati bisa menggenggam dua Korea saat itu.
Sementara, bila dibandingkan dengan Jokowi, dirinya tak terlalu banyak berinteraksi dengan Korea Utara dan Korea Selatan seputar deneutralisasi nuklir dan perdamaian. Berbeda dengan Soekarno dan Megawati, Jokowi tak pernah terlihat dan tercatat berada di tengah posisi mendamaikan keduanya sejak duduk menjadi Presiden.
Saat Jokowi baru terpilih menjadi Presiden di tahun 2014, Menlu Korea Utara, Rin Soo Young, secara khusus menyampaikan selamat dan mengundangnya datang ke Korea Utara. Tak hanya itu, di tahun berikutnya, Kim Jong Un, bahkan menyampaikan salam kepada Jokowi. Namun, respon tak terlalu terdengar dari sang Presiden, sebaliknya yang santer terlihat adalah bagaimana Jokowi selama ini mengecam ancaman rudal Korea Utara.
Sikap Jokowi tersebut barangkali punya korelasi kuat soal stigma komunisme dan tuduhan-tuduhan PKI yang menghampirinya. Menanggapi Korea Utara yang memegang ideologi Komunisme, tentu makin meramaikan desas-desus PKI yang terus dihubungkan dengannya.
Dengan demikian, respon Jokowi terhadap perdamaian Korea Utara dan Korea Selatan, masuk ke dalam penggambaran Lukacks, di mana Jokowi hanya mengamankan status quo ante (kekuasaan sosial-politik). Ia tak mau status qio ante-nya terganggu dan sikap reaktifnya, bisa melindungi pula otoritas dirinya sebagai pemimpin.
Berhadapan dengan perdamaian Korea Utara dan Selatan, serta Amerika Serikat, pada akhirnya membuat sikap diplomasiJokowi sama halnya saat menghadapi polemik politik di negara Timur Tengah, yakni reaktif. (A27)