Golkar (Golongan Karya) adalah partai yang sempat menjadi super rior di Indonesia pada rezim Orde Baru. Namun mengapa kedamaian seakan tidak berpihak kepada Partai Golkar?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]P[/dropcap]ermasalahan demi permasalahan seperti enggan untuk beranjak dari Partai berlambang beringin ini. Setelah ditinggal oleh Soeharto sebagai Ketua Umumnya, Golkar seakan kehilangan arah. Bahkan lebih parahnya pada tahun 2014 lalu Partai Golkar sempat terbelah menjadi dua kubu, yaitu kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono. Belum lama Partai Golkar tenang, ternyata permasalahan kembali datang, kekisruhan tersebut dikarenakan oleh dakwaan mega kasus e-KTP yang menyeret nama Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto yang diduga menerima aliran dana e-KTP. Terkait hal tersebut, Yorrys Raweyai, Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Partai Golkar menyebut bahwa Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto hampir pasti ditetapkan jadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus korupsi pengadaan e-KTP.
“Pasca-Munaslub Mei 2016 dengan memberikan dukungan ke Jokowi, elektabilitas Golkar itu dari waktu ke waktu naik signifikan. Tapi, dengan berbagai kejadian akhir-akhir ini, terutama kasus e-KTP, ini relatif stagnan dan menurun,”
– Kata Yorrys di Hotel Puri Denpasar, Jakarta Selatan.
Pernyataan Yorrys terkait keterlibatan Setya Novanto dilihat dari dikeluarkannya surat pencegahan Setya Novanto untuk bepergian ke luar negeri. Penyebutan peran Setya Novanto dalam salah satu persidangan perkara korupsi pengadaan e-KTP di Pengadilan Tipikor pun sudah menunjukan kuatnya keterlibatan Novanto di dalam perkara tersebut.
Menanggapi pernyataan Yorrys tersebut, ternyata internal Partai Golkar tidak setuju dengan Yorrys. Komentar pedas pun keluar dari dalam tubuh Partai Golkar untuk Yorrys. Ketua Bappilu Golkar Wilayah Timur Azis Samual mengatakan, pernyataan Yorrys sebagai sebuah bentuk insubordinasi atau pembangkangan terhadap prinsip loyalitas yang diatur partai.
Aziz pun mengatakan bahwa kader Golkar di wilayah timur sangat marah dan kecewa dengan Yorrys. Ia mengajak DPD I dan DPD II untuk mendesak DPP Partai Golkar untuk segera memanggil Yorrys dan memberikan sanksi yang tegas kepadanya.
“Kalau perlu dipecat sebagai kader Golkar karena sudah melanggar aturan garis partai,” tegas Azis.
Di tempat terpisah, Ketua Harian Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) Erwin Ricardo Silalahi menilai sikap Yorrys merupakan suatu pembangkangan terhadap partai. Erwin mendesak Yorrys untuk meberikan klarifikasi terkait pernyataannya di hadapan forum rapat harian dan pleno DPP Partai Golkar.
Mengetahui bahwa banyak yang tidak menyukai pernyataannya, Yorrys pun tidak menanggapinya dan tidak mau ambil pusing atas desakan tersebut. Yorrys menyebut kedua orang itu tidak mengerti cara berorganisasi. Dia menilai Aziz dan Erwin sekadar mencari sensasi dan menganggap Aziz serta Erwin itu sebagai anak kecil yang tidak mengerti apa-apa.
“Dia itu siapa. Mereka itu siapa? SOKSI yang mana, kan ada tiga. Dia kan bukan struktur, hanya ormas. Dan apakah melalui mekanisme apa? Dalam penyampaian press release itu harus ada mekanisme rapat, kalau gini pribadi. Anak-anak kecil yang konyol. Cuma untuk sensasi, lucu-lucuan saja” kata Yorrys.
Mengapa kedamaian seakan tidak berpihak kepada Partai Golkar? Mari kita flashback kembali, ke masa Partai Golkar didirikan.
Perjalanan Panjang Partai Beringin
Kisah partai ini berawal dari paruh pertama 1956 di mana Presiden Soekarno pada saat itu mungkin nyaris muak dengan partai politik. Soekarno meneriakkan gagasan negara satu partai yang di dalam parlemennya memiliki semacam golongan fungsional. Golongan yang disebut-sebut sebagai cikal bakal Golongan Karya (Golkar).
Pernyataan Soekarno didasari sebuah rumusan dalam UUD 1945 pasal 2 ayat 1 yang mengatakan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden. Dekrit yang mengamanatkan untuk membubarkan konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945, dan pembentukan MPRS ditambah dengan utusan-utusan daerah dan golongan serta pembentukan DPAS dalam tempo secepatnya. Era demokrasi liberal pun berakhir, kala itu tampuk kepemimpinan beralih ke demokrasi terpimpin.
Sejak saat itu golongan fungsional pun secara resmi memiliki akar hukum yang jelas. Sejak 1960 hingga 1965, Angkatan Darat lantas mengembangkan organisasi serupa Golkar yang sebenarnya digunakan sebagai senjata menandingi dominasi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Organisasi yang dibentuk di antaranya Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), dan Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO). SOKSI merupakan organisasi terkuat dengan massa yang masif. Pemimpinnya adalah seorang tokoh penggerak buruh di Sumatera Utara bernama Soehardiman.
Sejak kemenangan
Kemenangan Sekretariat Bersama Golkar ditenggarai oleh beberapa faktor salah satunya karena ada dukungan dari Orde Baru. Menurut Akbar Tanjung, tujuan pendirian Golkar itu sebenarnya linier dengan tujuan Soeharto. Salah satunya gerakan anti PKI dan anti Orde Lama. Hal tersebut terbukti dari dukungan ABRI terhadap Golkar, di mana saat itu ABRI dikuasai oleh Soeharto selaku Presiden Republik Indonesia.
Sejak saat itu Golkar menjadi kekuatan politik super power selama 32 tahun Soeharto memimpin Republik Indonesia. Golkar tentu meraih jabatan-jabatan, posisi-posisi politik, yang mendapat dukungan dari pemerintah Orde Baru, dukungan birokrasi militer dan birokrasi sipil, menjadikannya superior.
Golkar Partai Pencetak Koruptor
Perjalanan Partai Golkar selama beberapa dekade memang tak lepas dari pasang surut. Khususnya dari isu korupsi yang selalu menerpa partai berlambang pohon beringin ini. Satu persatu politisi Golkar terseret kasus korupsi, baik dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. Bahkan Soeharto dan para orang-orang terdekatnya di rezim Orde Baru juga melakukan berbagai macam korupsi yang bisa dibilang merugikan negara selama bertahun-tahun.
Pasca reformasi, Partai Golkar memang mengalami perubahan, seperti perubahan nama dari Golkar menjadi Partai Golkar. Meski pernah menjadi partai penguasa selama tiga dekade lebih, perolehan kursi di DPR tak lagi didominasi Golkar. Sudah dua kali pemilu sejak pemilu 2009 hingga 2014 jumlah perolehan kursi di DPR sudah diambil alih oleh PDIP dan Partai Demokrat.
Isu yang paling mencolok adalah terseretnya dua elite Golkar ke dalam arus korupsi. Pertama adalah mantan Ketua Umum Akbar Tanjung yang terlibat ke dalam kasus penyelewengan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar pada 4 September tahun 2002.
Oleh majelis hakim yang dipimpin Amiruddin Zakaria, Akbar Tanjung divonis selama tiga tahun penjara. Namun Akbar Tanjung melakukan banding terhadap keputusan hakim tersebut, dan pada akhirnya ia terbebas dari jerat hukum setelah kasasinya diterima Mahkamah Agung.
Kini Golkar pun diterpa ujian kembali setelah Setya Novanto, Ketua Umum Partai Golkar tersangkut dalam kasus dugaan korupsi penyelewengan dana kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Jika dilihat dari jejak rekamnya, Setya Novanto bisa dibilang selalu bebas dari jerat hukum. Karena bukan kali ini saja Setya Novanto terlibat skandal korupsi.
Jadi permasalahan di Partai Golkar lebih ke masalah kepentingan. Partai Golkar seakan bukan mendidik para kader yang mumpuni dalam menyelesaikan permasalahan negara, akan tetapi para kader Partai Golkar seakan dididik untuk bagaimana mengeruk kekayaan Republik Indonesia untuk kepentingan pribadi dan golongannya.
Kembalinya Sang Pangeran Cendana
Soeharto sebagai pemimpin Partai Golkar selama 32 tahun membawa pengaruh besar ke dalam tubuh Partai Golkar. Hingga keluarga dan kerabatnya yang biasa disebut “Keluarga Cendana” mendominasi kepengurusan di tubuh Partai Golkar.
Kini setelah sekian lama klan Keluarga Cendana absen dalam panggung politik Indonesia, sang anak kesayangan Soeharto yang bernama Hutomo Mandala Putra atau biasa dikenal dengan nama Tommy Soeharto menandai kembalinya klan Keluarga Cendana dengan mendirikan sebuah partai yang bernama Partai Berkaya. Partai yang disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan SK Menkumham Nomor: M.HH-20.AH.11.01 Tahun 2016.
Kembalinya Keluarga Cendana ke panggung politik nasional juga memperlihatkan bahwa oligarki tumbuh bersama demokrasi di Indonesia. Tommy Soeharto, yang kini muncul di panggung politik, bukan tak mungkin kelak, dalam Pemilu 2019 misalnya, menjadi salah satu calon “pemimpin nasional”.
Tommy Soeharto sebelumnya berniat mendamaikan konflik Partai Golkar. Namun niat baik dirinya tidak digubris oleh kader-kader lain. Dengan berdirinya Partai Berkarya, bukan tidak mungkin banyak kader Partai Golkar yang akan pindah ke partai tersebut. Terlebih karena kisruhnya kasus mega korupsi di mana Setya Novanto terjaring didalamnya.
Apakah ini menjadi sebuah pertanda bahwa Partai Golkar tidak bisa berlindung dari hukum lagi dan perlahan akan hancur berantakan? Atau dengan berdirinya Partai Berkarya ini akan meneruskan kembali kejayaan Partai Golkar seperti dahulu? Berikan pendapatmu. (A15)