Site icon PinterPolitik.com

Dilema Reshuffle Akhir Pemerintahan Jokowi?

Dilema Reshuffle Akhir Pemerintahan Jokowi?

Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin sedang memimpin Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Merdeka, Jakarta. (Foto: kominfo.go.id)

Setelah muncul survei tentang ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja menteri kabinet Jokowi, respons pun mulai datang dari Istana untuk lakukan kocok ulang atau reshuffle kabinet. Pengamat menilai Presiden tersandera antara efektivitas dan politik akomodasi dalam memilih menteri. Apakah di periode kedua Jokowi masih tersandera dengan gaya politik akomodatif?


PinterPolitik.com

Layaknya seorang manajer tim sepak bola, Presiden harus cermat menentukan pilihan strategi dan pergantian pemain untuk mendapatkan kemenangan. Terlebih lagi, jika kondisi pertandingan sangat tidak menguntungkan tim, pilihan strategi yang tepat akan membalikkan kondisi permainan. Hal serupa mungkin tengah dialami oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena banyak kritik yang menilai kinerja menteri di periode kedua tidak memuaskan.

Sebut saja hasil survei Charta Politika Indonesia yang menggambarkan kinerja kabinet Jokowi di periode kedua bersama Ma’ruf Amin turun ketimbang kinerja kabinet di periode pertama. Dalam surveinya, sebanyak 51,7 persen responden menilai kinerja kabinet periode 2014-2019 lebih baik. Sementara hanya 36,5 persen melihat kinerja kabinet periode kedua lebih baik. Sisanya 11,8 persen tak menjawab.

Bukan hanya itu, Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, mengatakan bahwa mayoritas responden setuju bila Jokowi melakukan kocok ulang atau reshuffle kabinet saat ini. Ia mengatakan bahwa sudah cukup lama Jokowi belum melakukan kocok ulang kabinet. Terakhir, Jokowi melakukan reshuffle pada Desember 2020 lalu.

Senada dengan data survei di atas, Saiful Anam, Direktur Pusat Riset Politik Hukum dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), mengatakan Jokowi perlu segera melakukan perombakan kabinet supaya kerja pemerintahan di periode keduanya bisa meninggalkan bekas yang positif. Reshuffle menteri Kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Jokowi masih ditunggu-tunggu oleh masyarakat.

Saiful Anam melanjutkan, bahwa belakangan isu reshuffle memang bergeser dari sekadar soal kinerja, tetapi dikaitkan dengan masuknya Partai Amanat Nasional (PAN) ke dalam koalisi pemerintah, yang mana dirasa akan mendapat jatah kursi menteri kabinet.

Jika memang ada pertimbangan politik akomodatif, maka narasi itu bisa saja menjadi persepsi negatif publik terhadap Jokowi karena memiliki kesan “politik dagang sapi” kepada barisan pendukungnya. Dalam benak publik, reshuffle seharusnya sebagai sebuah instrumen yang harus dijalani Presiden untuk bisa memperbaiki kinerja pemerintahannya yang tersisa kurang dari tiga tahun.

Lantas, apakah reshuffle tidak kunjung dilakukan Jokowi lantaran masih mempertimbangkan komposisi menteri bagi partai koalisi?

Baca juga: Mencari Menteri ‘M’ Reshuffle Jokowi

Dilema Efektivitas dan Akomodasi

Jika merujuk pada argumentasi Anam yang disinggung di atas, tentang periode kedua Jokowi dapat meninggalkan bekas yang positif, ini memperlihatkan, meski reshuffle kabinet adalah hak prerogatif presiden, namun perlu menekankan soal prinsip tata kelola dan efektivitas pemerintahan yang harus dijalankan. Dalam pandangan manajerial, pemerintahan yang efektif adalah tujuan seorang pemimpin.

Chester Barnard dalam bukunya The Functions of the Executive, menggambarkan sebuah teori organisasi dalam rangka merangsang orang lain untuk melihat perbedaan antara motif pribadi dan organisasi. Barnard menjelaskan dikotomi antara efektif dengan efisien. Menurut Barnard, efektivitas berkaitan dengan pencapaian tujuan, dan efisiensi adalah sejauh mana motif-motif individu dapat terpuaskan.

Jika Jokowi tidak memilih efektivitas pemerintah, maka akan mendapat respons yang negatif dari masyarakat. Dalam hal ini, pertukaran atau pengurangan menteri dari kalangan parpol dilakukan hanya untuk menjaga efisiensi yang bersandar pada stabilitas koalisi pemerintah.

Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, menyarankan agar sebaiknya Presiden melakukan reshuffle terhadap sejumlah menteri yang dianggap memiliki masalah terkait integritas, kapasitas, dan kompetensi.

Tiga hal yang disebut oleh Burhanuddin itu, semacam Key Performance Indicator (KPI). Dengan adanya KPI, diharapkan perombakan kabinet tidak menjadi politik dagang sapi.

Namun sayangnya, menurut berbagai pihak, selama ini reshuffle dinilai jadi ajang tawar-menawar antara beberapa partai politik dalam menyusun kabinet. Jika benar demikian, ini menegaskan politik akomodasi begitu kental di perpolitikan Indonesia.

Secara umum, politik akomodasi dapat didefinisikan sebagai sebuah strategi politik seorang pemimpin dalam merangkul tiap orang yang dianggap punya kekuatan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas pemerintahan tetap terjaga.

Dalam konteks ini, sayangnya pemilihan menteri bukan disandarkan pada perkara kebutuhan, tapi semata bagi-bagi kue kekuasaan agar semua orang dan kelompok yang mendukungnya terpuaskan.

Jika demikian, maka dalam kasus reshuffle yang tak kunjung terjadi, mungkin Presiden Jokowi sedang bimbang untuk menentukan sikap antara menjaga kinerja pemerintahan dengan menyandarkan keputusan pergantian menteri berdasarkan prinsip efektivitas. Atau bisa juga, Presiden Jokowi lebih mempertimbangkan stabilitas politik, yaitu dengan cara mengakomodasi kepentingan partai politik sebagai acuan pergantian para menterinya nanti.

Namun, benarkah Presiden Jokowi tengah dilema saat ini? Atau ada alasan lain belum terjadinya reshuffle?

Baca juga: Ada Biden di Reshuffle Jokowi?

Kembalinya Saham Politik Jokowi

Untuk menjawab ini, kita perlu memahami terlebih dahulu, bahwa politik bukan hanya tentang kekuasaan tetapi juga distribusi kekuasaan. Ini merupakan postulat politik yang seolah digunakan oleh Jokowi saat memegang kekuasaan sebagai Presiden. Jokowi tidak hanya dapat merebut kekuasaan, melainkan dapat mendistribusikannya kepada aktor lain, sehingga politik yang dilakukan dapat kita tafsirkan sebagai politik distributif.

Layaknya sebuah permainan saham, pada periode pertama, saham Jokowi sudah didistribusikan kepada kelompok lain yang kemudian bergabung dalam koalisi, tentunya dengan dalih keseimbangan politik pemerintahannya. Tapi periode kedua ini, saham politik Jokowi tampaknya telah kembali diambil sepenuhnya.

Pada periode kedua kepemimpinannya, Jokowi terlihat lebih percaya diri. Setelah melewati fase krusial pertarungan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang membawa politik nasional ke titik krusial, situasinya saat ini terlihat mulai terkendali. Hal ini adalah simbol pengembalian kembali saham politik Jokowi.

Baca juga: Misteri Rabu dan Reshuffle Jokowi

Tidak hanya pada aspek hubungan dengan partai politik, aspek hubungan dengan militer juga mengalami perubahan. Menurut Evan A. Laksmana dalam tulisannya Civil-Military Relations under Jokowi: Between Military Corporate Interests and Presidential Handholding, di periode kedua ini, Presiden Jokowi sudah memiliki pengaruh dan pengalaman yang cukup untuk mengelola hubungan dengan militer.

Menurut Evan, ini kontras dengan di periode pertama. Karena belum memiliki pengalaman untuk mengelola hubungan dengan militer, di periode pertama mantan Wali Kota Solo itu mengandalkan purnawirawan berpengaruh seperti Luhut, Moeldoko, Wiranto, dan Hendropriyono.

Senada, Stephen Wright dalam tulisannya Indonesia: Army’s influence sparks fear for democracy, dengan mengutip pernyataan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo, menyebut Presiden Jokowi kurang percaya diri tanpa tentara di sisinya pada periode pertama.

Kemudian terdapat kecenderungan kepercayaan diri Presiden Jokowi di periode kedua didasari karena sudah tidak memiliki beban politik di periode kedua kepemimpinannya. Jokowi tidak terbebani untuk terpilih lagi maupun beban untuk mendapatkan dukungan masyarakat.

Sehingga memungkinkan Jokowi leluasa dalam mengambil keputusan sesuai dengan keinginannya. Hal ini menandai sebuah narasi baru dalam melihat karakter Jokowi dalam mengambil keputusan politik. Alih-alih akan mempertimbangkan politik akomodasi, seperti yang diperkirakan para pengamat, Jokowi dengan kepercayaan diri di periode kedua, akan merasa penting untuk menjadikan dasar  efektivitas dalam memilih menteri di reshuffle.

Hal ini positif, karena dengan kembalinya saham politik Jokowi, akan menjadi semacam upaya untuk memberikan warisan politik di masa akhir kepemimpinannya. Pada akhirnya, masyarakat pula yang akan mendapatkan dampak dari kinerja pemerintahan yang efektif. Begitu harapan kita semua. (I76)

Baca juga: Ditegur Jokowi, Mungkinkah Luhut Di-reshuffle?


Exit mobile version