Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 Desember mendatang terus mengundang kritik publik. Terlebih, penanganan pandemi Covid-19 yang dilakukan pemerintah belum juga menunjukkan hasil yang memuaskan. Wacana untuk tak menggunakan hak pilih pada Pilkada 2020 lantas mulai bermunculan. Apa kira-kira konsekuensi dari fenomena ini?
Keputusan pemerintah untuk melanjutkan proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 di tengah pandemi Covid-19 agaknya masih terus mengundang sentimen minor dari masyarakat. Mereka yang kontra menganggap pemerintah lebih mementingkan hajat sektoral sejumlah pihak dibanding kesehatan masyarakat secara umum.
Dorongan publik untuk menunda pelaksanaan Pilkada semakin mengalir deras setelah pendaftaran calon kepala daerah yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu lalu, menimbulkan kerumunan massa yang tak mempedulikan protokol kesehatan.
Meski mendapatkan sorotan tajam, namun tak dapat dipungkiri pemerintah dan parlemen memang berada dalam posisi yang dilematis dalam persoalan ini.
Di satu sisi, pelaksanaan pilkada yang tak dilakukan secara hati-hati memang berpotensi memperburuk penyebaran Covid-19. Namun di sisi lain, penundaan Pilkada di tengah ketidakpastian kapan pandemi akan berakhir memang memiliki konsekuensi politik yang cukup besar, apalagi Pilkada 2020 akan diselenggarakan di 270 daerah, yang terbanyak sepanjang sejarah kepemiluan Indonesia.
Kendati KPU telah merevisi Peraturan KPU (PKPU) pelaksanaan pilkada untuk menyesuaikan setiap tahapan dengan protokol kesehatan, akan tetapi pada kenyataannya aturan tersebut tetap memperbolehkan sejumlah kampanye dilakukan secara tatap muka.
Meski PKPU tersebut juga mengatur beberapa pembatasan-pembatasan, namun epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menilai Pilkada 2020 tetap berpotensi memperburuk pengendalian pandemi di Indonesia. Dia bahkan menyebut potensi penularan dalam gelaran pesta demokrasi ini bisa mencapai lebih dari 2 juta kasus.
Keraguan publik terhadap penyelenggaraan pilkada seolah semakin mendapatkan afirmasinya kala Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengakui keterbatasan kewenangan yang dimilikinya dalam menindak peserta pilkada yang melanggar protokol kesehatan. Tak ayal, wacana untuk tak menggunakan hak suara dalam Pilkada 2020 mulai bermunculan,termasuk dari sejumlah public figure, seperti Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi juga turut mengatakan bahwa potensi menurunnya jumlah partisipasi pemilih memang membayangi penyelenggaraan pilkada di tengah-tengah pandemi. Potensi tersebut bahkan disebut semakin membesar jelang pemungutan suara pilkada yang akan dilaksanakan kurang lebih dalam dua bulan ke depan.
Jika pada waktunya nanti partisipasi pemilih memang benar-benar tergerus, pertanyaannya, kira-kira apa konsekuensi dari fenomena tersebut terhadap dinamika politik tingkat daerah?
Krisis dan Kepercayaan
KPU menargetkan tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 sebesar 77,5 persen dari total pemilih yang terdaftar di 270 daerah. Target ini tak pernah berubah sejak penyelenggaraan Pilkada 2015.
Meski begitu, hingga pada pelaksanaan Pilkada 2018, target tersebut belum pernah tercapai. Bahkan, angka partisipasi kala itu justru mengalami penurunan tipis dari 74,2 persen pada Pilkada 2017 menjadi 73,24 persen.
Angka partisipasi pemilih pada Pilkada 2020 agaknya masih akan bernasib sama dengan pilkada-pilkada sebelumnya, atau bahkan lebih buruk. Situasi pandemi yang kian mengkhawatirkan, hingga desakan untuk penundaan pilkada, tak dapat dipungkiri menjadi faktor yang akan semakin menggerus partisipasi masyarakat dalam gelaran pesta demokrasi.
Jake Haselswerdt, seorang profesor dari Department of Political Science, the Truman School of Public Affairs, University of Missouri mencoba memetakan dampak perubahan sosial akibat pandemi Covid-19 terhadap dinamika pemilu di Amerika Serikat (AS).
Dalam tulisannya yang berjudul Voting in Crisis: The Likely Impact of Coronavirus on US Political Participation, dia mengatakan bahwa ketika hal-hal buruk menimpa masyarakat, mereka cenderung lebih jarang berpartisipasi dalam politik. Hal ini tak hanya berlaku dalam situasi buruk yang berdampak massal seperti krisis ekonomi, melainkan juga peristiwa-peristiwa yang berdampak secara personal seperti perceraian, kehamilan remaja, hingga hilangnya jaminan kesehatan masyarakat.
Keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik di tengah-tengah krisis disebabkan lantaran mereka harus mengalihkan segala sumber daya yang sebenarnya bisa digunakan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik untuk memenuhi kebutuhan dasar. Jake memaparkan pemikirannya itu untuk menjelaskan fenomena penurunan tingkat partisipasi publik dalam pemilu sebelumnya yang dilaksanakan di Negara Bagian Wisconsin, AS yang merosot cukup tajam dari sebelumnya 47 persen pada 2016 menjadi hanya 37 persen di 2020.
Meski begitu, teori yang dikemukakan Jake tersebut sepertinya tak berlaku di semua situasi. Kenyataannya sejumlah negara yang melaksanakan pemilu tetap mampu menaikkan angka partisipasi pemilih meski diselenggarakan di tengah-tengah pandemi.
Salah satu negara yang merasakan peningkatan tajam partisipasi publik dalam pemilu ialah Korea Selatan. Partisipasi pemilih dalam pemilu yang digelar April lalu ini mencapai 66,2 persen, tertinggi sejak 28 tahun terakhir.
Do Kyung Ryuk, JeongHyeon Oh dan Yewon Sung dalam riset mereka yang berjudul Elections During a Pandemic: South Korea Shows How to Safely Hold a National Election During The COVID-19 Crisis menyebut kunci utama kesuksesan Pemilu Korea Selatan adalah karena pemerintah berhasil meraih kepercayaan publik dalam hal penanganan pandemi. Menurutnya, kepercayaan terhadap sistem kesehatan dan tenaga medis mendorong masyarakat untuk tetap memberikan suaranya di tengah ancaman virus.
Kimmo Gronlunda dan Maija Setala kemudian membedakan antara kepercayaan dan kepuasan terhadap pemerintah. Dalam tulisan yang berjudul Political Trust, Satisfaction and Voter Turnout, mereka menilai kepercayaan bergantung pada pemenuhan harapan normatif warga negara, sedangkan kepuasan mengukur sikap masyarakat terhadap kebijakan yang dilakukan pemerintah.
Kepercayaan pada pemerintah kemudian memiliki korelasi yang linier dan jelas terhadap partisipasi pemilih. Sementara kepuasan tak memiliki hubungan yang begitu signifikan.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, lalu pertanyaannya bagaimana dengan situasi di Indonesia? Sudahkah pemerintah berhasil memenuhi harapan normatif masyarakat terhadap penanganan pandemi Covid-19?
Timbulkan Bias Kelas Sosial?
Bertambahnya kasus Covid-19 sepanjang 21-24 September yang selalu menyentuh angka 4 ribu kasus perharinya, mengindikasikan bahwa pemerintah belum berhasil memenuhi harapan normatif masyarakat terhadap penanganan pandemi.
Belum lagi, sejumlah persoalan, seperti isu perubahan definisi kematian hingga mundurnya Ketua Ikatan Ahli Urologi Indonesia, Prof. Akmal Taher dari jabatan Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 justru semakin menambah alasan bagi publik untuk menyatakan bahwa penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah memang masih jauh dari kata memuaskan.
Tanpa adanya kepercayaan publik, sepertinya agak sulit membayangkan bahwa Pilkada 2020 akan berjalan semulus pemilu di Korea Selatan. Sebaliknya, partisipasi pemilih dalam gelaran pesta demokrasi lokal itu justru berpotensi tergerus sebagaimana terjadi dalam kasus pemilu di Wisconsin.
Menurunnya tingkat partisipasi pemilih sudah barang tentu berpotensi menimbulkan anomali terhadap iklim politik ke depannya. Ilmuwan politik kelahiran Belanda, Arend Lijphart mengistilahkan anomali politik yang disebabkan oleh menurunnya tingkat partisipasi publik dengan adagium Democracy’s Unresolved Dilemma.
Dalam tulisannya, Arend menyebut bahwa rendahnya tingkat partisipasi pemilih akan menghasilkan bias kelas dalam hasil pemilu. Hal ini lantaran daya tanggap demokratis pejabat terpilih sangat bergantung pada tingkat partisipasi politik warga negara di tiap kelas sosial.
Lalu ketika partisipasi politik ini mengalami ketimpangan, para pemangku kebijakan terpilih cenderung menggunakan pengaruh politiknya untuk menguntungkan warga negara di kelas sosial yang lebih banyak berpartisipasi dalam pemilu. Dalam hal ini, keinginan seorang warga untuk berpartisipasi atau tidak berpartisipasi dalam pemilu ditentukan oleh pendidikan, pendapatan, usia dan terkadang jenis kelamin.
Singkatnya, Arend menyebut dalam situasi tersebut, para pemangku kebijakan terpilih nantinya akan cenderung menggunakan pengaruh politiknya untuk menguntungkan warga negara yang lebih istimewa, yaitu mereka yang berpenghasilan lebih tinggi, kekayaan lebih besar, dan pendidikan yang lebih baik.
Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan jika tingkat partisipasi pemilih menurun secara drastis, maka esensi pemilu untuk menghadirkan pemimpin bagi semua kalangan akan sulit diwujudkan. Sebaliknya, Pilkada 2020 justru berpotensi melahirkan pemimpin-pemimpin yang hanya mementingkan ego sektoralnya semata.
Namun, pada akhirnya, sekelumit analisis-analisis tersebut hanyalah asumsi teoritis yang belum tentu benar-benar akan terjadi. Namun setidaknya dapat disepakati bahwa kepercayaan publik terhadap penanganan pandemi merupakan salah satu kunci suksesnya pelaksanaan pesta demokrasi. Tentu kita tetap berharap Pilkada 2020 mendatang akan berjalan baik dari segi teknis pelaksanaan maupun substansi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.