HomeNalar PolitikDilema BUMN, Populisme vs Korporatisme

Dilema BUMN, Populisme vs Korporatisme

Kebijakan pemerintah memerlukan BUMN dalam memberikan layanan yang tidak jarang bersifat populis dan merugikan perusahaan. Padahal sejatinya, BUMN adalah korporasi yang harus mencari untung.


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]emerintahan Jokowi-JK gencar melakukan berbagai perubahan secara masif. Dalam menjalankan perubahan tersebut keduanya banyak menggandeng BUMN agar kebijakan-kebijakan tersebut berjalan lancar.

Langkah pemerintah menggunakan BUMN untuk melancarkan kebijakannya nyatanya tidak mudah. Perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut harus menghadapi dilema antara menjalankan kebijakan pemerintah atau bertahan pada sifat korporatismenya.

BUMN menghadapi dilema antara menjalankan kebijakan populis pemerintah demi melayani kebutuhan publik atau mencari keuntungan, sebagaimana korporasi pada umumnya. Lalu manakah yang harus didahulukan?

Populisme vs Korporatisme

Sebagai korporasi, BUMN harus mencari untung sebesar-besarnya. Untung rugi menjadi indikator kinerja suatu perusahaan, termasuk BUMN. Jika suatu perusahaan termasuk BUMN mengalami kerugian yang cukup besar, maka hal ini dapat menjadi pertanda buruknya kinerja perusahaan tersebut.

Kewajiban untuk mencari untung sebesar-besarnya ini, merupakan tanggung jawab BUMN yang masuk dalam kategori perseroan.  Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang BUMN. Baik BUMN yang dikategorikan sebagai perseroan maupun perseroan terbuka,  memiliki tujuan utama mengejar keuntungan. Upaya mengejar keuntungan ini berguna untuk meningkatkan nilai perusahaan.

Meski wajib mencari untung, BUMN juga memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada publik. Kewajiban ini kerapkali disebut sebagai kewajiban pelayanan umum atau public service obligation (PSO). Berdasarkan UU BUMN, Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN.

Dilema BUMN, Populisme vs Korporatisme

Untuk memberikan tugas khusus tersebut, perusahaan harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS) atau persetujuan menteri BUMN. Dikarenakan pada BUMN yang berstatus Persero, 51 persen sahamnya dimiliki pemerintah, sehingga pemerintah dapat dengan mudah memberikan penugasan pada BUMN.

Dualisme tugas ini dihadapi oleh banyak BUMN. Di satu sisi, BUMN harus memperoleh untung tinggi agar mampu membayar deviden kepada pemerintah. Namun, di sisi lain, perusahaan negara  ini juga harus memberikan pelayanan publik sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Dalam beberapa kasus, kewajiban memberikan pelayanan publik yang ditugaskan pemerintah dapat membebani BUMN tersebut. Kebijakan pemerintah yang terus berubah-ubah secara drastis, seringkali juga tidak terlalu memperhatikan kondisi keuangan dan operasional BUMN.

Pada praktiknya, kewajiban untuk melayani publik ini kerapkali ditunggangi oleh kebijakan populis pemerintah. Pemerintah memiliki banyak kebijakan politik yang salah satunya bertujuan untuk menarik perhatian masyarakat. Beberapa kebijakan memang diperlukan, tetapi jika terlalu membebani BUMN maka kebijakan tersebut terlihat sebagai program populisme belaka.

Baca juga :  Prabowo, the Game-master President?

Hal ini misalnya terlihat pada kebijakan satu harga BBM di Papua. Di atas kertas, kebijakan ini dapat membantu dan menjamin terpenuhinya kebutuhan bahan bakar masyarakat dengan harga yang terjangkau. Apalagi, masyarakat Papua telah lama mengeluhkan mengenai tingginya harga BBM di wilayahnya, jika dibandingkan dengan di Pulau Jawa.

Meski baik, kebijakan ini dapat membebani perusahaan yang ditugasi untuk merealisasikan program tersebut. Pertamina sebagai BUMN yang diberikan mandat pelaksanaan program ini menaksir kebijakan satu harga BBM dapat merugikan perusahaannya hingga Rp 800 miliar. Ini disebabkan biaya logistik yang harus dikeluarkan untuk mengirim BBM ke berbagai wilayah di Papua.

Pertamina kemudian harus menanggung kerugian akibat berbagai penugasan yang diberikan. Jika ditotal, kebijakan BBM satu harga dan penugasan lain menyebabkan Pertamina rugi Rp 12 triliun di tahun 2017.Pemerintah memang bisa saja memberikan tambahan subsidi pada perusahaan yang ditugasi tersebut. Akan tetapi hal ini bisa menjadi beban jangka panjang. Jika beban ini tidak diperhitungkan dengan baik, maka cap populis terhadap kebijakan tersebut sangat mungkin benar.

Meski belum terbukti, kebijakan untuk membebani BUMN dengan berbagai tugas baru, bisa saja hanya menguntungkan pemerintah secara elektoral dan politik. Beragam kebijakan layanan publik yang serba murah bisa saja hanya meningkatkan popularitas pemerintah ketimbang menguntungkan BUMN sebagai sebuah perusahaan.

Pemerintah juga seharusnya berhati-hati sebelum memberikan penugasan kepada BUMN. Terutama, saat ini beberapa perusahaan pelat merah sedang dalam kondisi berbahaya akibat kondisi keuangannya yang terus menurun. Tercatat sekitar 24 BUMN yang disinyalir mengalami kerugian pada tahun 2017. Sementara itu, 9 perusahaan milik negara lainnya dinyatakan tidak sehat.

Jika BUMN terus merugi karena kebijakan pemerintah, maka fungsi perusahaan plat merah sebagai korporasi pencari untung menjadi terganggu. Rapor kinerja perusahaan tersebut menjadi buruk karena menanggung beban kerugian akibat program-program pemerintah.

Dilema BUMN, Populisme vs Korporatisme

BUMN yang memiliki kewajiban Public Service Obligation (PSO) memang didanai langsung oleh pemerintah lewat APBN. Akan tetapi kewajiban untuk melakukan PSO tersebut seringkali tidak berjalan lancar. Dana PSO yang diberikan pemerintah kerapkali sudah habis sebelum periode anggaran berakhir. Akhirnya, BUMN pun dihadapkan pada kemungkinan menaikkan harga layanan demi menutupi kekurangan anggaran tersebut.

Hal ini misalnya dapat dilihat pada kasus dana PSO PT Kereta Commuter Indonesia (KCI). Dana PSO diberikan untuk menjaga harga tiket tidak terlalu tinggi.

Kebijakan menaikan harga layanan tentu bukanlah hal yang populer di mata masyarakat. Pemerintah dapat mengalami tekanan politik dari masyarakat jika pada akhirnya harga layanan dari BUMN mengalami kenaikan.

Selain itu, BUMN kerapkali tidak leluasa untuk menaikkan harga layanan. Pemerintah dengan program-program populismenya tentu tidak rela popularitasnya turun akibat harga kebutuhan publik yang naik. Pada kasus BBM satu harga misalnya, pemerintah juga bersikeras bahwa BUMN harus memutar otak agar kebijakan tersebut dapat berjalan tanpa menimbulkan kerugian bagi BUMN bersangkutan.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Berpotensi Langgar UU

Langkah pemerintah yang seolah mengintervensi kinerja BUMN ini bisa saja menyebabkan pelanggaran Undang-undang. Pada UU BUMN misalnya, kewajiban mencari untung dilanggar jika pemerintah memaksakan pelaksanaan program tertentu pada BUMN tanpa  memperhatikan kondisi keuangan perusahaan tersebut. Selain itu, bisa saja terjadi pelanggaran terhadap UU Perseroan Terbatas.

Dalam UU BUMN, disebutkan bahwa BUMN memiliki kewajiban untuk membayar dividen kepada pemerintah selaku pemilik saham. Jika perusahaan yang dibebani program populis pelayanan publik mengalami kerugian, maka perusahaan tersebut tidak mampu membayar dividen. Kondisi ini bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap UU BUMN.

Meski memiliki kewenangan untuk memberikan penugasan PSO kepada BUMN, pemerintah seharusnya tetap memperhatikan bahwa BUMN sebagai sebuah korporasi harus memperhatikan untung dan rugi. Sebagaimana disebutkan dalam UU BUMN, maksud dan tujuan BUMN Persero adalah menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.

Dalam kadar tertentu, melayani kebijakan populis pemerintah untuk menyediakan layanan publik dengan harga murah berpotensi menurunkan kualitas layanan yang diberikan. Hal ini pun tidak sesuai dengan maksud dan tujuan BUMN Persero di dalam UU.

Ketika kualitas layanan menurun, maka BUMN bisa mengalami kesulitan untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain. Hal ini dialami oleh perusahaan-perusahaan yang mengalami kerugian atau dalam kondisi keuangan yang ‘sakit’.

Pada konteks ini, pengawasan DPR terhadap pemerintah dalam mengelola BUMN juga tidak dapat berjalan. Kondisi ini terjadi akibat terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 yang menghapuskan peran DPR dalam pengawasan BUMN.

Persoalan ini juga berpotensi menimbulkan bahaya jika terjadi perubahan peruntukan dana yang disuntikkan pemerintah kepada BUMN. DPR sebagai pemilik fungsi anggaran, seyogyanya memberikan persetujuan terlebih dahulu sebelum ada kebijakan yang akan melibatkan BUMN. Hal ini dimaksudkan agar uang negara yang dianggarkan tidak salah sasaran dan menyalahi kebutuhan publik.

Memberikan layanan publik yang terjangkau memang kewajiban pemerintah melalui BUMN. Namun, pemerintah jangan terjebak dalam kebijakan populisme yang pada akhirnya hanya membebani BUMN. Fungsi BUMN sebagai korporasi harus tetap diperhatikan, agar untung dapat tetap diraih. (H33/Berbagai Sumber)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...